Tak sengaja kemarin pagi (5/1/ 2012) aku menonton social media pundit-nya Indonesia, Nukman Luthfie (@Nukman), berbicara di salah satu segmen “8-11” Metro TV. Pas banget, kelihatannya bahasannya asyik dan relevan dengan kerjaan sehari-hari jadi langsung aja direkam. Simak aja ya penjelasan beliau tentang prospek kerjaan di social media yang naga-naganya makin mencorong di tahun 2012 ini.
Syarat menjadi buzzer menurut Nukman Luthfie:
- Frekuensi tweet lebih tinggi dari pengguna biasa: ngetweet lebih sering akan membuat follower juga lebih banyak. Misalnya orang dengan frekuensi tweet sekitar 125 tweet per hari akan berpeluang lebih banyak mendapatkan follower lebih tinggi.
- Jumlah follower sekitar 5000: Bahkan orang dengan follower yang hanya sekitar 1000, sebenarnya sudah termasuk di atas rata-rata karena umumnya hanya follower pengguna Twitter standar ialah 200-an. Kemampuan ngetweet bagus sudah bisa dikatakan dimiliki oleh mereka yang berfollower 1000-an. Angka follower 5000 ditetapkan sebagai standar bagi seorang buzzer yang mumpuni karena statistik menyatakan bahwa mereka yang memiliki follower 5000 ini memiliki frekuensi tweet yang jauh di atas rata-rata. Ini berkorelasi dengan jumlah follower yang tinggi.
- Influence besar: tak cukup aktif, buzzer idealnya memiliki influence besar yang spesifik. Bukan makro, tapi khusus. Ada yang di bidang otomotif, ada yang di gadget. Tiap buzzer harus punya positioning seperti itu. Tanpa itu, perusahaan akan sulit mendekati. Perusahaan-perusahaan yang pasarnya spesifik akan memilih buzzer yang spesifik pula. Memang bisa saja memilih buzzer yang makro dengan jumlah follower banyak, meski belum tentu punya influence besar.
- Segmentasi: seperti sudah dibahas tadi, buzzer harus spesifik. Makin tersegmentasi, makin bagus dan berpeluang untuk didekati perusahaan yang relevan dengan bidang yang ia geluti.
Bagaimana memiliki follower banyak dengan cara alami? Nukman menjelaskan ada beberapa kiat penting (kecuali membeli pengikut !):
- Memiliki atau pernah memiliki hubungan personal: misalnya sudah pernah bertemu atau kopi darat (tak hanya di twitter). Bisa juga berupa teman atau saudara dekat.
- Memiliki konten yang menarik: biasanya ini berupa ilmu atau informasi yang kita punya karena orang biasanya akan mengikuti tweet seseorang yang berisi informasi yang ia inginkan. Mungkin di Facebook , lebih karena pertemanan, tapi Twitter karena informasi yang diberikan. Misalnya jika orang ingin mendapatkan informasi tentang entrepreneurship, orang cenderung akan menyarankan untuk mengikuti akun-akun yang sering menyebarkan informasi tentang entrepreneurship. Begitu juga jika ingin belajar marketing, maka orang akan cenderung disarankan untuk mengikuti akun-akun yang sudah dikenal luas piawai dalam marketing.
- Miliki satu atau beberapa follower yang berpengaruh dengan follower banyak: saat ada orang yang pengaruhnya besar dan pengikutnya banyak kemudian follow akun yang followernya lebih sedikit tetapi kontennya menarik, ia akan berpeluang untuk mengumumkan pada followernya dengan me-retweet sesekali. Retweet dari akun dengan pengaruh besar dan jumlah follower banyak ini akan membantu akun yang lebih kecil jumlah followernya tetapi memiliki konten yang menarik untuk mengantongi jumlah folllower lebih banyak lagi. Konten menjadi kunci!
Nukman juga menyinggung fenomena twitwar yang sering dijumpai di ranah Twitter. “Mendapatkan follower dari akun yang berpengaruh dengan jumlah pengikut banyak memang sulit , dan karena itulah sebagian orang ngawur dengan mengajak berantem sama orang-orang yang followernya banyak. Ini trik supaya di-retweet,” seloroh Nukman. Akan tetapi trik seperti itu kotor, lanjut Nukman.
Profesi seperti ini memang sudah ada dan cukup menjanjikan tetapi juga membutuhkan ketrampilan tersendiri. Nukman berkomentar,” Orangnya juga belum banyak makanya yang dapat juga masih itu-itu saja.” Dan karena keterbatasan tenaga itulah, brand juga kesulitan untuk menjaring orang-orang dengan kemampuan ini padahal permintaan banyak sekali. Kebutuhan untuk menumbuhkan orang-orang dengan kepiawaian social media di perusahaan-perusahaan. Uniknya, perusahaan-perusahaan ini menjaring tenaga di pasar lepas (freelancer) tapi setelah freelancer social media ini ditawari untuk menjadi karyawan tetap perusahaan bersangkutan, mereka menolak karena gajinya sudah besar. Mereka lebih suka independen.
Leave a Reply