
Penat sekali hari ini. Tetapi kepenatan saya ini diiringi perasaan puas, gembira yang tidak terukur. Dari pelatihan Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) yang diselenggarakan dari pagi hingga sore tadi ada banyak sekali pengetahuan, pengalaman dan relasi yang saya dapatkan. Tak hanya itu, saya juga dapatkan “ketakutan” baru. Apa itu? Simak saja sampai tuntas.
Lokasi pelatihan berada di Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin. Pemilihan lokasi yang cukup bagus karena tak terlalu jauh dari kos di Satrio. Saya juga sudah tahu letak Taman Ismail Marzuki tempat PDS H. B. Jassin berada. Jadi saya bisa agak lega karena tak perlu bertanya sana sini mengenai rute. Lagipula GPS sudah sangat membantu!
Ini pertama kali saya berkunjung ke Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin. Memang saya sudah pernah mendengarnya beberapa kali tetapi selama hampir dua tahun tinggal di ibukota tak pernah menyempatkan diri mengunjunginya. Jujur saja, saya pikir itu tempat yang membosankan.
Satu pengakuan lagi dari saya, yaitu bahwa saya juga hanya mengenal satu orang pembicara saja di acara pelatihan tersebut. Begitu butanya saya dengan dunia pergaulan penerjemah profesional, sampai saya hanya mengenali Ivan Lanin yang tersohor berkat di antaranya penghargaan Klik Hati dari Merc, Wikipedia, dan kamus daring Kateglo. Sementara dua pembicara lainnya (Sofia Mansoor dan Hendarto Setiadi) tidak saya kenali sama sekali. Ditambah lagi sebelumnya saya pernah beberapa kali bertanya dengan Ivan melalui Twitter dan membaca blognya. Tak heran saya lebih mengenalnya dibanding Sofia Mansoor dan Hendarto Setiadi yang justru lebih ‘senior’. Sayangnya, Hendarto Setiadi mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan menuju Jakarta dari rumahnya di Bogor. Jadi saya masih tidak bisa menyaksikan wajahnya. Semoga lekas pulih.
Sekitar pukul 8.30 saya pun sampai di TIM (Taman Ismail Marzuki). Saya dengan agak susah payah menemukan PDS H. B. Jassin yang berada di belakang Planetarium yang pagi tadi tampak agak sesak dengan anak-anak sekolah dasar.
Di sebuah ruang di lantai dua yang didominasi warna biru itu Pusat Dokumentasi Sastra rupanya berada. Tak sebesar yang saya pikirkan semula. Entah apakah memang itu hanya sebagian kecil bangunan PDS atau bukan, saya tak memahami persis. Yang terlintas dalam benak cuma: “Pemerintah negeri ini kurang peduli dengan dunia sastranya sendiri”. Ya, namanya juga “pusat”. Saya pikir bisa lebih representatif dari itu. Ataukah saya yang terkecoh dengan kata “pusat”?
Pertama masuk ruangan, saya pun mendaftar dan menuliskan data diri di meja pendaftaran yang digawangi mbak Lila. Sangat menyenangkan rasanya disambut dengan hangat olehnya dan kemudian saya juga diperkenalkan dengan pak Eddie (D. Rahadi Notowidigdo). Rupanya beliau yang menjabat posisi Ketum HPI sekarang. Rambutnya seperti Hatta Rajasa, masih lebat tetapi putih merata. Berkacamata dengan minus atau plus yang sudah tinggi (What a confirmed translator). Entah dengan Hatta, tetapi pak Eddie adalah seorang yang sangat kebapakan dan suka berbagi, setidaknya sepanjang pengamatan saya sepanjang hari tadi. Di Twitter, saya pun tergerak untuk berkomentar: “Pak Edi ini ketua Himpunan Penerjemah Indonesia tapi rendah hatinya bukan main. Tdk mau memperkenalkan diri sbg ketua.”
Dan mengenai Twitter (dan Facebook juga), sepanjang pelatihan saya entah mengapa ingin sekali membagikan butir-butir (begitu diksi yang digunakan Ivan selama pelatihan) penting dari paparan para pembicara. Saya berseloroh saat membalas twit terimakasih Ivan setelah pelatihan selesai petang tadi: “Sama2. Naluri seorang ‘pecandu’ jejaring sosial“.
Sebenarnya selain berniat untuk membagikan pengetahuan yang saya dapatkan selama pelatihan tadi, berbagi di jejaring sosial juga membuat saya lebih mudah mengingat garis besar materi yang disampaikan. Berikut adalah semua twit yang saya labeli dengan tagar #PP (Pelatihan Penyuntingan) di akun Twitter saya sepanjang hari tadi.
1. Banyak peserta yang sudah berpengalaman di sini. Narasumber Sofia Mansoor bahkan sudah menerjemahkan dari 1980. So long!
Satu persatu peserta di awal pelatihan memperkenalkan dirinya masing-masing. Latar belakang profesi juga cukup beragam. Tak cuma penerjemah in-house dan lepas saja ternyata. Seperti saya yang sebenarnya juga web content writer. Beberapa peserta berasal dari sekolah, perusahaan, dan sebagainya. Dan mayoritas peserta ternyata wanita.
2. “Bahasa itu konsensus. Yang penting pesannya tersampaikan”- @ivanlanin
Konsensus berasal dari kata “consensus” , yang bermakna “general agreement”, “kesepakatan umum”. Dan inilah yang membuat bahasa menjadi begitu mengasyikkan bagi saya untuk terus dipelajari karena ada kalanya konsensus itu perlu ‘ditentang’ atau dibiarkan berkembang.
3. Pelajaran dasar penerjemah dan penyunting profesional: berbahasa Indonesia yang baik dan tertib. That’s even trickier!
Inilah yang saya maksud di awal tadi dengan ‘ketakutan’ baru. Seorang penerjemah, penyunting atau editor dan penulis perlu memahami dasar-dasar kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan tertib. Ia perlu semua itu untuk melakukan tugasnya dengan baik. Pada saat yang sama, ia juga harus siap saat dikritisi mengenai hasil pekerjaannya. Dan di sinilah pentingnya menjaga ego. Itu terlihat jelas dalam diri penerjemah sesenior pak Eddie yang justru makin rendah hati seiring tingginya jam terbang. Kritik bisa ditelan dengan kepala dingin dan ego yang terkendali saat tadi ditertawakan seisi ruangan karena salah membaca “…spesies orang tua” (padahal seharusnya “… spesies orang utan” ). Sementara ada peserta lain yang belum terlalu tinggi jam terbangnya bahkan terbilang hijau malah makin mati-matian mempertahankan preferensinya saat dikritisi dan diberi masukan oleh peserta lain yang memiliki pengalaman lebih banyak darinya.
Namun, ego yang terkendali ini sebaiknya tidak diterapkan saat kita sebagai penerjemah menerima tawaran proyek yang kurang layak. Pak Eddie, dari hasil mencuri dengar percakapannya selama makan siang dengan peserta di sebelah saya, menyarankan untuk tidak sekali-kali menurunkan tarif hanya karena ingin memiliki pemasukan. Beliau beralasan, saat Anda memberikan tarif jasa penerjemahan yang berada di bawah kisaran normal, mungkin akan ada banyak klien yang datang tetapi Anda hanya akan kelelahan dan bekerja kurang maksimal. Pesannya, “Lebih baik memiliki sedikit klien dengan imbalan yang pantas daripada lebih banyak klien dengan imbalan yang kurang layak”. Dan itulah yang menurut beliau membedakan penerjemah profesional seperti anggota HPI dari penerjemah pemula.
4. Ternyata “slide” itu padanan bahasa Indonesianya “salindia” .. Ha?? Odd.
Leave a Reply