Salah satu faktor terjadinya kesalahan berbahasa Indonesia ialah pengaruh bahasa asing pada bahasa Indonesia dalam berbagai aspek. Menurut seorang profesor yang juga pakar bahasa Indonesia di sebuah universitas di Australia, sebagian pengguna bahasa Indonesia akhir-akhir ini amat dipengaruhi bahasa Inggris. Salah satunya adalah penggunaan kata “adalah” yang kadang tidak perlu tetapi dipaksakan untuk ada karena dianggap sebagai keharusan untuk bisa sesuai dengan pola kalimat bahasa Inggris yang mewajibkan adanya verba “be”. Misalnya, “I am a man” diterjemahkan sebagai “Saya adalah laki-laki”, padahal dalam bahasa Indonesia yang wajar kata “adalah” bisa dihilangkan. Dengan kata lain, tidak ada yang salah untuk menerjemahkannya menjadi “Saya laki-laki”. Hal ini memang tidak salah tetapi tidak wajar dalam bahasa Indonesia.
Hal lain yang profesor tersebut soroti pula ialah penggunaan kata “di mana” yang sering digunakan sebagai konjungsi (kata sambung) , bukan sebagai kata tanya (yang menjadi fungsi yang sepatutnya). Ini menunjukkan pengaruh penggunaan konjungsi “where” dan “which”. Parahnya lagi, penulisan “di mana” sebagai konjungsi (yang tidak disarankan) juga mengalami dua variasi: “di mana” dan “dimana”. Yang kedua jelas-jelas salah.
Menurut Ivan Lanin, sebagai penyunting yang berpatokan pada tata bahasa yang sudah tertulis di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) IV dan EyD (Ejaan yang Disempurnakan), kata “di mana” harus dihindari. Alasannya ialah kata “di mana” dalam bahasa Indonesia tidak dikenal sebagai konjungsi tetapi sebagai kata tanya.
Misal:
- Di mana buku saya? (Penggunaan yang benar karena “di mana” digunakan sebagai kata tanya)
- Ia meninggalkan kota di mana ia lahir. (Penggunaan yang salah karena “di mana” digunakan sebagai konjungsi)
Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kalimat yang menggunakan “di mana” sebagai konjungsi? Menurut Sofia Mansoor, ada dua opsi yang bisa dipilih. Pertama ialah dengan menggantinya dengan kata “tempat”. Dengan demikian, kalimat (2) bisa diperbaiki menjadi “Ia meninggalkan kota tempat ia lahir.” Kedua ialah dengan merombak kalimat tersebut menjadi lebih wajar dan berterima dalam kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Seorang rekan peserta pelatihan lain juga sempat menanyakan bahwa ia mengamati banyaknya penggunaan “di mana” justru bukan sebagai konjungsi yang menerangkan tempat atau lokasi. Saya sendiri juga sempat membenarkan dalam hati karena pertanyaannya itu belum sempat dibahas tuntas oleh Sofia Mansoor dan Ivan Lanin. Contohnya mudah saja, kita bisa temui penggunaan “di mana” yang tidak berfungsi sebagai konjungsi dalam berbagai pidato impromptu para pejabat. Kita bisa amati seorang pejabat yang ditanyai oleh nyamuk pers dalam berbagai kesempatan. Kemungkinan besar ia akan menggunakan kata “di mana” bukan sebagai konjungsi tetapi menurut saya hanya sebagai kata untuk mengisi jeda saat berbicara sehingga terkesan lebih lancar. Dalam bahasa Inggris kita bisa sebut sebagai “filler”. “Filler” ini tidak memiliki makna tetapi hanya untuk memberikan kesempatan bagi si pembicara untuk berpikir mengenai kata yang akan ia ucapkan berikutnya. Tidak mutlak salah mungkin tetapi penggunaan “filler” ini membuat kalimat kita kurang efisien dan ringkas. Lagipula “filler” adalah sesuatu yang mungkin masih bisa dimaklumi dalam taraf tertentu dalam ragam percakapan, tetapi tidak begitu mudah ditolerir dalam ragam tulisan.
(URL Gambar: http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSrlTIj2XW2eps42CzT2SbK7eYGf9rGod6-H2L6Kjr4nn7jrV6bueJexj6GKg)
Leave a Reply