Oleh: Yudhi Widdyantoro *
Lima tahun terakhir kegandrungan orang Jakarta untuk beryoga menunjukkan grafik yang meningkat. Kalau mau dirunut, perhatian orang pada yoga sudah mulai terlihat ketika krisis ekonomi nasional pada akhir 90-an yang juga berdampak pada sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan. Sakit menjadi sangat mahal. Orang pun mulai berpaling pada sehat alami, antara lain dengan beryoga.
Kondisi ini dipupuk oleh para mahasiswa Indonesia di luar negeri, khususnya AS, yang sudah merasakan manfaat yoga dan “menularkannya” ke tanah air. Banyak pula orang Indonesia yang cukupngeh dan terbuka pada perkembangan gaya hidup mondial, turut menjadi amunisi bagi ledakan yoga di kota-kota besar Indonesia. Belum lagi riuhnya publikasi di media soal para pesohor Hollywood berlatih yoga. Sebut saja Madonna, Cyndy Crowford, Sarah Jessica Parker, Britney Spears, sampai Sting sebagai trendsetter beryoga. Di Indonesia, polanya mirip-mirip. Para pesohor Indonesia, selebriti, dan golongan menengah atas, adalah orang-orang yang sangat peduli pada citra diri atau image. Dengan perjuangan ekstra keras, mereka berusaha untuk mendapatkan tubuh permai dan penampilan yang aduhai, termasuk ramai-ramai berlatih yoga. Dan, demam yoga pun menular.
Hingga kini, banyak terdapat yoga center dengan beragam konsep ‘jualan’ pula. Dari asongan sampai hypermarket. Ada yang menjual hanya satu ‘dagangan’ saja (yaitu yoga), ada yang bermacam-macam ‘komoditi’, yaitu memfasilitasi beragam aliran atau style yoga. Ada juga yang mengkhususkan mengajar satu style dengan ketat memegang tradisi, lebih mirip seperti agen tunggal pemegang merek (ATPM). Di tempat lain lagi, yoga bisa menjadi sangat compact, dimodifikasi dengan olah fisik lain dengan iringan musik yang dinamis.
Yoga yang menentramkan
Menarik juga mengamati setiap center menjalankan kegiatannya. Tapi, karena ada juga persaingan yang cenderung mengarah menjadi urusan pribadi, penulis sebagai pecinta dan praktisi yoga, menyayangkan hal ini.
Mungkin juga karena secara kelembagaan belum ada aliansi atau asosiasi yang mewadahi yoga dari berbagai tradisi atau style di Jakarta, seperti yang dilakukan di negara maju. Gairah orang Amerika untuk beryoga memang telah melampaui kebutuhan exercise atau kesehatan fisik. Yoga sudah menjadi gaya hidup. Asosiasi yoga dari berbagai tradisi: Iyengar, Ashtanga, dan sebagainya dibentuk di hampir setiap negara bagian. Ada pula International Yoga Alliance (IYA). Mereka membuat standar sampai kurikulum penyelenggaraan teacher training. Harus diakui, bahwa dalam membuat sistematika, mengemas dan kemudian ‘memasarkannya’, orang Amerika sangat piawai.
Memang, pendidikan yoga berhubungan erat dengan pengembangan kepribadian manusia dan menyangkut unsur spiritualitas. Karenanya tidak dapat disamakan dengan produk massal mesin pabrikan. Menilik fakta bahwa profesi pengajar yoga sudah menjadi semacam karier, mungkin perlu juga dipikirkan penjenjangan kepengajaran di sini.
Dan, karena menyangkut wilayah bisnis, perlu ada semacam komisi pengawas persaingan usaha, agar tidak saling sengketa. Pada titik ini, yoga tampaknya perlu dibuat sekuler. Perlu juga mendemistifikasi kehebatan guru, karena sehebat-hebatnya guru dia juga manusia. Bagi penulis, secara pribadi, mungkin diperlukan sikap yang humble, kerendahan hati. Apalagi selama ini merasa, materi yang diajarkan ke kelas hanyalah hasil daur ulang atau mengcopy dari guru-guru yang lebih senior. Jadi persis seperti mengikuti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, atau seperti dikatakan BKS. Iyengar (Light on Yoga, 1966): “Gentleness of mind is an attribute of a yogi”, karena “power without humility breeds arrogance and tyranny.”
* Pengecer jasa Yoga