” A translator is a writer who fails.” Siapapun bisa setuju atau menolak kebenaran kutipan tadi. Ini negeri (pseudo) demokrasi. Semua orang (seharusnya) bisa dan boleh mengutarakan pendapatnya selama tidak melanggar hak orang lain juga. Menurutku (egoku besar juga ya) , kutipan tadi cukup valid. Setidaknya dalam kasusku sendiri. Menjadi seorang penulis (dan penulis ulang) konten dan admin jejaring sosial yang seolah tak pernah ada hari libur itu adalah hal yang kusukai karena luasnya ruang berkreasi dengan kata,gambar, dan semua jenis konten yang mungkin disebarkan di sana. Tapi entah kenapa rasanya tak berdaya saat harus mengejar kuantitas dan mengesampingkan kualitas. I still and always feel like a jerk every time I post things not my pure hardwork. Dan kemampuan menerjemahkan justru mempermudahku untuk meninggalkan kesusahpayahan berpikir mandiri dan berkreasi dengan dunia kata-kata. Ini kurang baik. Aku menjadi merasa seperti pengekor. I want to create high quality contents , and share them around the web. Viral atau tidak itu urusan belakangan. Entah dengan Anda semua, saat menerjemahkan rasanya pikiran ini terbimbing dan terkungkung dalam ide dan pemikiran penulis teks sumber. I want to break free! Write like no one else reads! Tak perlu editor. Tak perlu komentator. You like it or not, just read. Mungkin di blog ini saja aku bisa begini. Dan mungkin karena itulah blog ini tetap sepi pengunjung. Tak apalah.
Leave a Reply