Apa yang terlintas di benak Anda saat disebutkan kata “yoga”? Sehat, langsing, lentur, atau lembut? Jarang mungkin yang mengatakan kuat, berotot, atau semacamnya? Sukar memang untuk menunjukkan bahwa yoga tidak cuma untuk para wanita.
Sebenarnya isu ini juga sudah terpikir sejak dulu mulai berlatih. Saat saya berlatih tidak banyak teman pria yang demikian rutin mengikuti latihan. Ada memang beberapa yang hadir, tetapi perlahan menghilang. Sementara yang bertahan bisa dihitung dengan jari-jari di satu tangan.
Pertanyaan ini kembali mengusik setelah saya membaca artikel tulisan Mary Austin di Kykernel.com yang menanyakan pertanyaan yang sama persis meski settingnya berbeda: “Why is yoga more popular among women in the U.S.?” Dan menurut pengamatan saya, memang lebih banyak pegiat yoga wanita (yogini) daripada pegiat yoga pria (yogi). Di sejumlah kelas yoga di studio di sejumlah negara, seperti di Hong Kong, Jepang, dan sebagainya, biasanya peserta pria hanyalah minoritas. Bisa jadi mereka adalah pasangan atau teman pria yang diajak oleh peserta wanita yang sudah lebih dulu masuk dan menekuni yoga.
Hipotesis saya ini juga dikukuhkan oleh Austin, yang mengatakan, “Often urged by their wives, men have started coming to class“. Jadi kisah para pria yang bersentuhan dengan dunia yoga karena mulanya dipaksa pasangannya bukan hanya terjadi di sekitar saya saja. Di tempat saya berlatih, memang terlihat beberapa pria yang masuk dan ikut karena istri, pacar atau teman wanita mereka ingin mereka menemani dan ikut berolahraga dan sehat bersama mereka.
Mungkin ada yang salah hingga tercipta sebuah citra feminin seperti ini pada dunia yoga. Yoga bukan dunianya wanita. Bahkan sebenarnya di negeri asalnya, India, mereka yang piawai beryoga dari jaman kuno bukanlah para wanita yang selalu diasumsikan lebih lentur. Para yogi justru lebih mendominasi dahulu kala. Patanjali, sosok yogi yang juga orang bijak, adalah pria tulen. Dan dari karyanya yang sistematis mengenai yoga dan konsep ashtanga (8 tangga) dalam yoga ini makin banyak orang yang bisa mengenal dan mempelajari serta mempraktikkan yoga.
Yang patut dikritisi kemudian ialah pengemasan yoga itu setelah dunia Barat mengenalnya di pertengahan abad ke 20. Kira-kira dekade 1960-an, B. K. S. Iyengar memperkenalkan yoga ke masyarakat Barat. Yoga yang berasal dari Timur pun dianggap sebagai praktik yang eksotis dan perlu lebih banyak digali dan dipraktikkan. Untuk menarik lebih banyak penggemar untuk memasuki kelas yoga, akhirnya dibuatlah pakaian-pakaian serta aksesoris yoga yang semenarik mungkin. Muncullah kemudian mat yoga yang warna-warni, celana yoga yang ketat.
Yoga di benak banyak orang juga masih dikenal sebagai olahraga meditatif belaka. Ada benarnya tetapi tidak seluruhnya demikian. Yoga lebih kompleks dari sekadar bermeditasi, atau memperagakan asana alias pose-pose yang terlihat ‘menyakitkan’ karena membutuhkan kelenturan dan kekuatan. Saya sendiri hampir selalu menemukan orang awam di sekitar saya yang mengira bahwa ikut yoga adalah membuang waktu dengan duduk bersila dalam posisi lotus. Tak bisa disalahkan juga karena itu yang mereka baca dan lihat di media mainstream.
Yang patut diperhatikan ialah bahwa para guru dan instruktur yoga malah umumnya berjenis kelamin pria. Guru saya yang pertama juga kebetulan pria, meskipun kemudian terjadi rotasi temporer yang menghadirkan pengajar wanita yang kualitasnya juga tak kalah bagus. Namun, tetap saja guru pertama saya yang pria ini lebih terasa mantap, mungkin juga karena pengalaman dan pengetahuan yang sudah mendalam.
Sebagian pria merasa terintimidasi saat masuk kelas yoga jaman sekarang karena dominasi para wanita di dalamnya. Apa pasal? Karena mereka merasa kalah lentur. Padahal dalam yoga, kelenturan bukan segalanya. Kekuatan otot juga diperlukan! Lagipula, kelenturan bisa dilatih.
Praktisi dan guru yoga Devi Asmarani mengatakan dalam bukunya “Yoga untuk Semua” bahwa kaum Adam tak perlu menolak melakukan yoga karena sebenarnya banyak manfaat yang bisa dituai. Dengan banyaknya pria yang suka olahraga angkat beban dan berintensitas tinggi, yoga makin dibutuhkan karena peregangan dalam yoga penting untuk memelihara otot agar tidak memendek karena berulang kali dipakai angkat beban. Intinya yoga menyeimbangkan tubuh kita, apapun jenis kelamin kita.
Austin juga menyebut istilah “broga” yang berakar pada kata “brother” dan “yoga”. Bisa dikatakan ini merupakan gaya baru dalam beryoga karena digagas untuk mengajak lebih banyak pria melakukan yoga. Dan uniknya, kelas broga ini ditujukan hanya untuk pria. Robert Sidotti yang turut mendirikan aliran broga ini berpendapat makin banyak dijumpai pria pertengahan 30-an yang merasa kurang bugar tetapi enggan mengikuti kelas yoga yang didominasi perempuan. Kondisi ini melatarbelakangi munculnya broga, yang menurut Sidotti , gerakannya telah didesain khusus untuk badan kaum pria yang lebih suka fokus pada kekuatan alias strength.
Jadi, apakah masih segan beryoga, tuan-tuan?
(Juga dipublikasikan di Kompasiana.com)
Leave a Reply