Jika ada yang tak saya sukai di masa kanak-kanak tetapi begitu saya sukai sekarang dan saya lakukan tanpa paksaan sama sekali dari orang lain dan bahkan diri sendiri mungkin yang paling utama adalah berolahraga fisik.
Saya sangat amat tidak suka yang satu ini. Saya tak suka sepakbola apalagi setelah seorang pemain sepakbola kampung menedang bolanya ke muka saya sampai kepala pening dan berkunang-kungan hingga keesokan harinya. Saya tidak pernah bisa memaafkan kebodohan menjadi penonton sepakbola di barisan paling depan. Sejak itu, mendengar kata sepakbola saja saya sudah mulas. Padahal sepanjang SD, SMP, dan SMA, olahraga yang biasa dilakukan anak laki-laki adalah yang satu ini. Dan saya pun harus pasrah dengan kesewenang-wenangan otoritas sekolah alias guru olahraga yang cuma menyediakan lapangan olahraga bola di lingkungan sekolah. Entah itu, sepakbola, voli, basket. I hate balls!
Tak ada banyak pilihan olahraga saat itu. Dan tak banyak waktu untuk berolahraga karena saya menganggap olahraga hanya buang-buang waktu. Toh hanya membakar cadangan lemak yang harus saya simpan dan gunakan dengan sehemat mungkin. Belum saya sadari bahwa badan manusia memang diciptakan untuk bergerak.
Saya juga, seperti banyak orang lain, pernah mengalami sebuah gaya hidup mengerikan selama 8 bulan yang minim olahraga. Tak banyak keluar ruangan dan sepanjang hari berkutat dengan komputer hingga mata saya lelah luar biasa. Semua bagian badan serasa menjerit. Kesehatan fisik, dan mental serta psikologis rasanya merosot. Saya tak mau terjebak dalam gaya hidup seperti itu lagi.
Dan sore ini adalah tepat dua hari sebelum medical check up tahunan kantor. Seperti biasa, saya dan teman-teman kantor mengobrol santai di musolla. Ya, obrolan sore di musolla kantor ini sering didominasi obrolan keluhan kesehatan dan topik ini makin intens saja menjelang hari H pelaksanaan pemeriksaan kesehatan.
Seperti biasa saya memulai sedikit peregangan dengan asana-asana yang mudah dan beranjak ke jenis yang lebih menantang. Saya sudah biasa melakukan yoga di sini, di musolla kantor setelah solat. Bukan sebuah sesi yoga versi penuh ala studio yoga mewah di Kemang atau fitness center nan mahal tetapi cukup untuk membuat tubuh kembali segar dan bersemangat, di saat jam-jam kritis waktu rasa lesu menyerang badan yang sudah lelah karena bekerja dari pagi.
Seorang teman, sebut saja D, yang plafon asuransi kesehatannya baru saja ‘jebol’ karena digunakan membayar perawatan rumah sakitnya pasca Lebaran kemarin, mengajak berkompetisi begtu melihat saya memperagakan chaturanga yang mirip dengan push-up. Kami pun adu push-up. Perlu diketahui, tubuh saya cuma seberat separuh (lebih sedikit) dari tubuhnya yang (konon menurut pengakuannya sendiri) menembus angka 80 kg. Ok lah kalo begitu, kami pun mulai beradu kuat dalam push-up. Saya menang dengan skor 12 plus ditambah satu lagi repetisi dengan menahan posisi di tengah dengan lengan menekuk (bukan dengan tangan lurus alias plank, atau tengkurap di lantai). Begitu juga saat sit-up saya menang meski saya akui saya memerlukan alas lebih tebal agar punggung dan pinggul yang sudah minim lapisan lemak ini tidak beradu fisik dengan lapisan lantai yang bertikar bambu.
Akhirnya ia menemukan satu kompetisi yang membuat saya bertekuk lutut: panco. Dengan lengannya yang sebenarnya tak terlalu berotot (hanya menang lemak) itu ia menggunakan berat tubuh bagian atasnya untuk mengalahkan saya yang berlengan ramping ini.
Teman yang lain, sebut saja G, yang juga di sana menyaksikan kami berlomba turut tergoda mempraktikkan olahraga favoritnya aikido. Tubuh G lebih jumbo lagi dari D. Ia memperagakan cara mengunci yang biasa dilakukan dalam aikido dan cara memilin pergelangan tangan lawan agar lawan terbanting dengan tenaga minimal. Katanya dengan kelenturan persendian yang saya miliki berkat yoga, kuncian pergelangan tangan itu tak terlalu membuat saya kesakitan meski akhirnya bisa membuat patah tanpa sadar.
G juga perkenalkan sebuah gerakan khas akikido untuk pemanasan yang tampaknya bertujuan juga untuk membuat tubuh terlatih untuk lebih gesit dan responsif saat menghadapi lawan. Gerakannya sederhana saja, kedua kaki ditekuk dan berguling ke belakang dengan punggung menyentuh lantai lalu berguling ke depan kembali langsung ke posisi berdiri. Bisa ditebak meski oleh orang ber-IQ pas-pasan sekalipun, saya menjadi pemenangnya. Itulah keuntungan memiliki tubuh ringan dan perut yang ramping. Saat harus berguling ke depan untuk bangkit, saya tak harus menggunakan tangan untuk menyangga badan agar bisa berdiri tegak. Gerakan saya lebih mulus dan tak terasa ada beban. Lain dengan kedua teman yang lebih berbobot ini. Perut yang sudah membuncit membuat bangkit dari posisi jongkok ke berdiri menjadi lebih menantang.
Olahraga seperti inilah yang bisa membuat pekerja kantoran seperti kami masih bisa waras dalam berbagai aspek. Berolahraga seperti ini juga membuat kami sempat mengenali tubuh dan jiwa kami sendiri. Tak jarang kami merasakan nyeri dan pegal di sana-sini setelah kami menggerakkan badan dan bernapas serta rehat sejenak. Pekerjaan yang terus memburu membuat kami tak sempat merasakan setiap keluhan tubuh dan jiwa. Bahkan walaupun kami sudah tahu dan mendengar keluhan itu, kami pun sering memilih untuk mengabaikannya agar tetap bisa selesaikan pekerjaan yang terus mengalir tiada henti dan menunda menemukan dan mengatasi akar masalah yang belum juga ditemukan dan dicabut. Ini memang menjadi bom waktu tapi begitulah sifat manusia pada umumnya. Menunda hingga detik terakhir.
Leave a Reply