Perlunya Menahan Diri Mengatakan “Cari di Google Aja!”

Salah satu tanda sejauh mana sebuah produk teknologi merasuk dalam kehidupan manusia ialah mengamati penggunaan terminologi produk yang bersangkutan dalam percakapan sehari-hari. Kita bisa ambil contoh “Google” dan “email”. Keduanya tak akan bisa dijumpai di kamus-kamus bahasa terbitan dekade 1980-an tetapi di kamus bahasa kontemporer terbitan pertengahan 1990-an dan abad 21 ini keduanya dipastikan ada. Ini saya temukan di kamus Oxford saya semasa kuliah. Kata “email” sudah tercantum di dalamnya. Namun “Google” belum. Dan kini seiring perkembangan masyarakat penggunanya, kata benda atau nomina “Google” bisa digunakan juga sebagai verba: “google”, yang artinya kurang lebih “mencari informasi di Internet dengan bantuan mesin pencari Google”. Begitulah bahasa berkembang mengikuti perubahan manusia. Dan karena manusia juga turut dipengaruhi ciptaannya sendiri yakni teknologi, akhirnya bahasa juga tak bisa menghindari pengaruh perkembangan teknologi.

Malam ini baru saja saya menyadari kemudahan teknologi membuat sebagian dari kita justru lebih cuek, tak acuh pada lingkungan,bahkan pada lingkungan sosial virtual kita sendiri. Benar! Saya hampir saja mengomentari status seorang teman Facebook yang bertanya tentang lambang kimia glukosa dengan “Cari aja di Google.” Dan sebuah pesan pendek dari sepupu masuk menanyakan makna sederet kata dalam bahasa asing. Saya hampir tega membalas “Pakai Google Translate napa!”
Saat pertama membaca status teman di Facebook saya secara otomatis berpikir, kalau dia bisa menuliskan status di sana berarti ponselnya terhubung dengan Internet dan mengapa ia tidak menuju Google saja untuk bertanya itu. Konyol untuk bertanya mengenai materi pelajaran kimia di jejaring pertemanan yang ia sendiri tahu lebih banyak dihuni mahasiswa bahasa Inggris (karena ia pun demikian). Tentu saja susah mendapat jawaban.
Sementara kasus sepupu saya, respon pertama dalam benak adalah:” Lah kan bapakmu punya BlackBerry. Pake buat cari di Google kan bisa!”
Tiba-tiba saya merasa seperti orang paling kejam dan egois sedunia. Dan muncul rasa syukur dalam hati karena masih ada orang yang mau bertanya pada saya karena dengan demikian mereka menganggap saya ada dan bermakna.

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.