Bajuri – Banjir Tujuh Belas Januari 2013

pak dirman (2)Inilah salah satu musibah terbesar yang pernah saya saksikan selama 3 tahun mengais rupiah di ibukota. Pagi tadi memang seakan semua air di langit tertumpah begitu saja ke tanah Jakarta yang telah banyak tertutup beton dan aspal. Beberapa hari belakangan memang sudah berhembus kabar banjir di berbagai titik. Begitu biasa. Sudah langganan. Telinga kami bahkan sudah kebas mendengar kabar banjir.

Tetapi Kamis pagi ini memang luar biasa. Terbangun sejak subuh karena titik-titik hujan yang deras dan hawa dingin yang merasuk melewati jendela kamar yang saya selalu buka karena lebih baik membiarkannya terbuka daripada menyalakan kipas angin (toh tidak ada nyamuk di sini).

Saya pun agak bermalas-malasan menjejakkan kaki ke lantai yang dingin dari tempat tidur yang lebih hangat. Ah, seandainya saya bisa bekerja dari kos saja hari ini. Walaupun sebenarnya saya bisa, saya tak berdaya melawan birokrasi 8.30-5.30 yang ditetapkan manajemen kantor. Saya seret badan ini menuju kamar mandi, solat, dan kembali tidur lagi hingga setengah 8 pagi.

Saya tak takut terlambat meski terbangun jam 8 sekalipun karena kantor hanya 200-300 meter dari pintu kos. Dan sekaligus juga menunggu curahan air hujan di luar sana mereda.

Namun saya salah besar. Bahkan hingga pukul 8 pagi lebih, air hujan tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Kecepatan turunnya masih konstan. Sederas di saat subuh tadi. Benar-benar mencengangkan.

Saya pun nekat berhujan-hujan karena jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8.20. Sepuluh menit lagi saya harus masuk menempelkan jari ini ke mesin pendeteksi sidik jari di dekat pos sekuriti dan bekerja seperti biasa. Ketak-ketik di laptop, nge-tweet, update status di Facebook.

Derasnya hujan memang agak menghambat kecepatan saya melangkah. Maklum, saya harus berhati-hati agar celana tak kotor jika nanti dipakai solat dzuhur dan terlebih lagi ada aset pribadi di tas punggung. Jika basah dan tak bisa dipakai bekerja lagi, saya bisa menangis darah 7 hari 7 malam.

Saya pun masuk ke lorong kantor tergopoh-gopoh. Sepi. Hanya office boy dan girl serta sekuriti. Mana orang kantor? Sejurus saya berpikir mencari jawaban, “Haha… Kasihan! Mereka pasti terlambat karena macet karena hujan.”

Mendekati toilet, saya pun ingin masuk untuk membersihkan kaki yang basah terkena air kubangan di sepanjang jalan menuju kantor. Nafas tercekat sekitar 1-2 detik melihat seorang rekan kantor berdiri di dekat pintu, mengangkat celana panjangnya tepat di bawah pengering tangan, dan ia hanya mengenakan celana dalam. Terkejut saya masuk, ia pun setengah berteriak, “Ohhh, tutup tutup!!!”

Selama beberapa detik saya mematung karena absurditas dalam ruang toilet ini. Is it for real? Teriakannya menyadarkan saya untuk menutup pintu toilet karena beberapa langkah dari pintu toilet, lewat seorang office girl, yang tentu saja kawan saya tidak ijinkan untuk melihat dirinya dalam kondisi separuh basah dan ‘memilukan’ sembari mengeringkan celana.

Hasrat membersihkan kaki dari lumpur yang melekat pun sirna sudah. Setelah mengumpulkan kembali akal sehat yang tercerai berai karena masih syok dengan kenekatan teman saya satu ini, saya pun membiarkannya menikmati sisa proses pengeringan itu sendiri. Sebuah momen yang sangat private, gumam saya.

Masuk lebih dalam ke kantor, makin saya sadari hampir seluruh orang di kantor ini terlambat masuk. Apa yang terjadi? Seburuk inikah?

Di lantai bawah, saya hanya melihat seorang sekuriti mencetak laporan hariannya. Menaiki tangga ke ruang kerja saya, tak tampak satu batang hidung pun di sekitar saya. Ruang itu lengang.

Laptop pun saya buka dan di news feed Facebook, saya temukan banyak sekali status keluhan dan foto-foto unggahan teman tentang banjir di Jakarta pagi itu. Kebetulan banjir memang tidak hanya di kota ini, tetapi bahkan di kota asal saya juga. Tetapi Jakarta menjadi sorotan. Bukan karena statusnya sebagai ibukota saja, tetapi juga karena skala keparahannya yang membuat orang berdecak kagum pasrah. Sama sekali tidak ada jalan keluar. Semua terperangkap dalam banjir, tak peduli secanggih apapun perangkat GPS yang mereka miliki.

Dengan mata masih terpaku di layar laptop, saya mencari berita untuk memastikan banjir ini. Dan memang benar, Jakarta terkepung banjir. Itulah headline di berbagai media online yang menjadi topik utama hari itu.

Seorang teman, Upu, berhasil masuk ke kantor. Celananya agak basah kuyup (untung ia tak terpikir menggunakan trik pengeringan celana tadi). Air mukanya menunjukkan beratnya perjuangan untuk mencapai daerah Mega Kuningan di tengah peradaban ini dari tempat tinggalnya di Cireundeu, suatu wilayah yang hanya pernah saya lihat di Google Maps. Langkahnya makin berat dan gontai saat menjejaki anak tangga terakhir. Ingin saya merayakan kedatangannya dengan memasang pita “FINISH” di anak tangga, menebarkan perfetti warna-warni dan sebuah keset “WELCOME” di bawahnya untuk membersihkan sandalnya yang kotor dan basah. Akhirnya saya tak jadi sendirian bekerja di kantor!

Meski kami berdua masuk kantor, dengan kondisi seperti ini, mana bisa kami fokus pada pekerjaan? Sebentar sebentar kami memeriksa artikel berita terkini di web. Upu terus menerus memandangi streaming video yang secara real time menampilkan kondisi jalan-jalan protokol Jakarta dengan memeras otak untuk menjawab pertanyaan,”Rute mana yang lebih aman dan ‘kering’ saat pulang nanti???”

Dan yang paling menyakitkan bagi karyawan rajin seperti kami adalah pengumuman diliburkannya kegiatan kantor padahal kami sudah sampai di kantor, duduk manis di meja kerja dengan kaki membiru kedinginan. Pengumuman dari HRD itu muncul sekitar pukul 11 siang.

Perjuangan yang sia-sia…? Tidak juga, karena dari sinilah saya bisa membawa kisah ini untuk Anda.

Jangan terlena. Penderitaan belum berakhir, bung!

Esoknya, hari Jumat tanggal 18 Januari 2013, lebih banyak orang masuk kantor. Akan tetapi, listrik pun terkena imbas. Selama hampir 3 tahun tinggal di sini, baru kali ini saya menyaksikan wilayah pusat perniagaan Jakarta mengalami pemutusan aliran listrik secara sengaja. PLN memang memutuskan aliran listrik untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di wilayah-wilayah yang terkena banjir.

Genset harus dipanaskan. Dan karena itu, kami harus menunggu beberapa saat… yang ternyata menjadi beberapa jam. Ah, sangat menyenangkan karena dengan matinya listrik, wi-fi alias koneksi komputer nirkabel pun mati, yang artinya liburan bagi kami pekerja web ini.  Surga dunia!

Lalu sekonyong-konyong ayah ibu, keluarga dan teman menanyakan kabar saya. “Masih aman? Kena banjir tidak?” Dengan nada mantap sembari menjaga kerendahan hati dan tetap bersyukur, saya jawab sembari menyilangkan jari,” Alhamdulillah tenang saja, di sini masih aman. Kalau di sini banjir, Jakarta banjir semua.” Padahal di dalam hati, saya juga bertanya, “Sampai berapa lama bisa tetap aman?”

Ah sudahlah. Saya pun pulang ke kos. Ingin istirahat karena rasanya hari itu begitu panjang karena mendengar banjir di sana-sini, yang bahkan sampai menenggelamkan Bundaran Hotel Indonesia dan seorang turis mancanegara sempat bersantai di rakit di tengah luapan air bah di kawasan tersebut. Fotonya termuat dalam sebuah berita headline media massa terkemuka.

‘Kesempurnaan’ hari itu terwujud saat saya menemukan listrik di kos diputus PLN.  Sore itu kos gelap gulita. Ibu kos mengeluh semua pakaian tidak bisa disetrika. Dan yang terburuk, bak penampungan air untuk mandi dan mencuci benar-benar habis. Pompa air butuh listrik untuk memenuhinya kembali. Celaka 13!!!

Kami -segenap penghuni kos- bertahan dalam kegelapan. Dan yang saya sukai adalah kegelapan seperti ini justru menyatukan kami. Ponsel mati karena tidak bisa dicas. TV mati. Akhirnya kami ‘terpaksa’ mengobrol di beranda kos, keluar dari ruangan kamar masing-masing. Semua merasa lebih akrab. Benar juga. Kebersamaan lebih terasa di kegelapan, tanpa intervensi teknologi.



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: