Bakasana (pose bangau/ burung)

image

Bakasana (pose bangau/ burung)

  1. Jongkok/ squat
  2. Satukan tangan di depan dada
  3. Tangan di lantai, aktifkan tiger claw
  4. Kencangkan kaki dan bokong
  5. Jinjit, bawa tubuh ke depan sampai siku di atas pergelangan tangan
  6. Tetap kencangkan kaki dan bokong
  7. Opsi 1, tetap di sini
  8. Opsi 2, tekuk kaki kiri, turunkan lagi ke lantai, tekuk kaki kanan, turunkan
  9. Opsi 3, bawa tubuh makin ke depan dan angkat kedua kaki
  10. Tekan kedua tangan ke lantai, angkat pinggul ke atas (root to rise)

Pose Capung (Dragonfly Pose)

image

Vinyasa krama pose capung (dragonfly pose):

  1. Duduk jongkok di atas tumit kiri, kaki jinjit,  jari tangan di atas lantai
  2. Silangkan kaki kanan di atas paha kiri
  3. Perhatikan telapak kaki kanan tidak boleh melampaui paha kiri
  4. Duduk jongkok di atas tumit kiri
  5. Tangan kiri dan kanan di lantai, putar tubuh ke arah kiri
  6. Aktifkan tiger claw
  7. Lengan kanan atas berada di tengah telapak kaki kanan
  8. Kencangkan bokong dan kedua kaki, panjangkan punggung ke depan (root to extend)
  9. Jinjit kaki kiri sampai siku berada di atas pergelangan tangan
  10. Cari titik seimbangnya dan angkat kaki kiri dari lantai
  11. Kaki kanan terus tekan/ injak ke lengan atas
  12. Luruskan kaki kiri ke samping
  13. Tetap tekan kaki kanan ke bawah untuk memanjangkan kaki kiri ke samping (opposite action)

Perbedaan Guru Yoga dari Instruktur Yoga

image

Mengajar yoga tampak mudah. Tinggal beri perintah ini itu, seseorang bisa dibayar lumayan tinggi. Tunggu, apakah betul demikian? Tidak juga.

Ini saya alami sendiri. Saat seorang guru yang biasa mengajar tidak ada, saya didaulat mengajar secara spontan di depan peserta lain padahal jelas-jelas saya tak berpengalaman untuk itu. Suara saya tak lantang. Instruksi saya tak jelas. Saya dianggap bisa mengajar hanya karena saya bisa melakukan asana-asana menantang lebih baik daripada yang lain. Konyol memang.

Sejak itulah saya sadar, profesi guru yoga tidaklah mudah. Dan pantas jika ia harus dibayar sedemikian tinggi karena dibutuhkan pengalaman, pengetahuan dan jam terbang yang begitu tinggi untuk bisa mengajar dengan baik dan kompeten. Sebaik apapun memperagakan asana, seseorang tetap belum dapat menjadi guru yang baik karena ia belum melakukan latihan dan persiapan yang matang.

Istilah “instruktur yoga” dan “guru yoga” mungkin terdengar sama, dan membawa makna serupa. Tetapi jangan salah, keduanya memiliki makna yang berbeda. Pengertian instruktur merujuk pada seseorang yang memberikan perintah atau instruksi bagi orang lain. Kedalamannya tentu berbeda dibandingkan dengan “guru yoga” yang tidak hanya sekadar memberikan instruksi tetapi juga memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam bidang yoga.

Seorang guru yoga juga mengetahui benar apa yang ia lakukan saat mengajar. Ia tahu letak tulang ekor dan bisa membantu murid menemukan letak tulang ekor sehingga merasakannya saat berlatih untuk menambah kesadaran (awareness), tidak hanya memberikan perintah “masukkan tulang ekor” atau “scoop your tailbone” berulang kali sepanjang kelas. Atau saat harus melakukan ujayyi breathing, atau pernafasan ujayyi, yang lazim dilakukan di saat melakukan asana. Seorang guru mampu menjelaskan pada murid dengan baik dan jelas bagaimana melakukan ujayyi breathing, yaitu dengan mencontohkan menghembuskan sebagian nafas melalui rongga mulut seperti saat ingin membuat kaca berembun dengan nafas keluar kita, hanya saja dalam ujayyi breathing, mulut harus terkatup rapat.

Guru yoga yang kompeten juga memiliki pengetahuan tentang asana, dan filosofinya. Ia memahami bahasa Sanskrit yang sering digunakan dalam yoga. Tidak hanya bisa menghafal dan memamerkannya saat mengajar di depan murid tetapi juga harus bisa menjelaskan maknanya. Inilah yang disebut guru yoga yang benar-benar berwawasan yoga.

Membuat Storyboarding untuk Penulis

wpid-IMG_20120913_195628.jpg

Menulis buku tidak semudah yang dibayangkan orang. Banyak sekali detil-detil yang harus dipersiapkan agar buku yang ditulis memenuhi tujuan penulisannya. Bagi pemula seperti saya misalnya, saran apapun untuk memperbaiki gaya dan cara penulisan yang selama ini sudah digunakan sangatlah perlu, bahkan wajib. Berpuas diri dengan pujian yang datang dari orang awam boleh saja tetapi jangan terlalu lama dan menyeret ke stagnansi yang akhirnya bisa mematikan peningkatan kualitas diri.

Membuat storyboard sendiri belum pernah saya lakukan selama ini. Saya hanya mengalir begitu saja saat menulis. Namun demikian, lama kelamaan saya menyadari pentingnya menulis dengan mempersiapkan storyboarding terlebih dahulu. Sekarang saya tak terlalu membutuhkannya karena artikel-artikel yang saya tulis hanyalah pendek-pendek saja dan bahkan lebih banyak yang tinggal terjemahkan, sadur dan parafrase. Saya pikir kini saatnya saya harus belajar menulis tulisan-tulisan yang lebih panjang, lebih bersumber dari pemikiran saya sendiri meskipun itu harus membutuhkan lebih banyak waktu. Harus diakui bahwa menulis sebuah tulisan yang analitis, memeras otak, runtut dan lebih banyak bersumber dari pendapat pribadi merupakan kepuasan tersendiri, terlebih jika disukai lebih banyak orang. Mungkin karena itulah saya kurang puas dengan dunia penulisan online yang cenderung instan dan cepat, yang hanya berpatokan pada jumlah hits dan kunjungan pengguna Internet. Kini saya mulai memikirkan bagaimana memperbaiki gaya penulisan yang sudah terbiasa dengan gaya yang demikian instan, bahkan hampir-hampir tanpa berpikir. Sudah semestinya saya harus demikian, jika tidak saya yang merugi karena tidak membuat kemajuan apapun di bidang yang saya tekuni sebagai mata pencaharian ini.

Sebenarnya istilah storyboarding ini sudah saya dengar beberapa kali dalam berbagai uraian metode penulisan tetapi belum pernah saya baca secara serius apalagi saya terapkan dalam kegiatan menulis sehari-hari karena sekali lagi saya memang tidak punya waktu sebanyak itu di tempat bekerja saya yang sekarang.

Lalu saya iseng saja mencari berbagai video tutorial di YouTube tentang kepenulisan, dan saya menemukan video “Your Book Starts Here” yang di dalamnya berisi penjelasan menarik dari penulis Mary Carroll Moore mengenai storyboarding.

Sebagai seorang penulis konten online, saya memang tidak pernah sekalipun harus menghadapi tantangan berarti saat harus menembus ijin editor, karena editor saya hanya satu orang saja dan itu pun ia harus bagi waktu dengan situs lain. Jadi bisa Anda bayangkan bagaimana tingkat akurasi hasil editing  atau penyuntingan naskah artikel web kami. Itulah yang menjadi kelemahan terbesar dunia kepenulisan online, kurangnya editor yang bisa diandalkan untuk menghasilkan naskah yang benar-benar berkualitas maksimal! Semuanya harus berpacu dengan waktu.

Ini sama sekali lain dengan dunia kepenulisan ‘konvensional’ yang lebih banyak menggunakan tenaga editor untuk menyempurnakan naskah yang sudah dihasilkan penulis. Pembaca pun lebih puas dan nikmat karena hasilnya lebih rapi, berkualitas, bebas salah eja alias typo yang mengganggu, dan sebagainya. Walaupun sebagian kesalahan ini cukup ‘remeh’ kesannya tetapi di situlah letak profesionalisme seorang penulis, editor dan penerbitnya. Semua saling berkaitan. Perfection lies in details.

Menurut Moore, seorang penulis seperti dirinya sangat beruntung untuk bekerjasama atau pernah menyaksikan bagaimana sebuah tim editor bekerja menyempurnakan naskah awal menjadi sebuah manuskrip yang siap dicetak dan dijual. Editor mengemban peran yang sangat penting karena mereka merapikan naskah agar isinya lebih mudah dipahami pembaca kelak.

Moore mengatakan pentingnya pengaturan dan penyusunan ‘islands’ dalam menulis naskah buku. Apa yang dimaksud dengan ‘islands’ ini? Islands ialah poin-poin yang acak yang nantinya  menyusun buku, yang nantinya bisa dirangkai menjadi sebuah kesatuan yang masuk akal dan enak dinikmati pembaca. Jika bisa diterjemahkan dengan bebas, ‘islands’ dapat dipadankan dengan ‘pulau-pulau ide’.

Pertama-tama yang harus dilakukan sebelum menyusun storyboard ialah melakukan curah gagasan (brainstorming). Di sini kita cukup menuangkan segala gagasan yang melintas dalam pikiran dalam sebuah daftar topik. Nantinya ini bisa digunakan sebagai dasar menentukan ‘islands’. Tulis berbagai macam poin yang menurut kita bisa dibahas dalam sebuah buku tanpa harus berpikir terlalu banyak. Catat saja. Urusan mengurutkan dan membuatnya lebih runtut, enak dibaca adalah urusan kemudian. Moore menyarankan mebuat sekitar 25 islands dalam brainstorming untuk penulisan sebuah buku. Tentunya ini sangat bergantung pada banyak faktor, tidaklah harus 25. Daftar islands ini akan menjadi panduan dalam menulis buku selanjutnya.

Apa yang sangat krusial dalam storyboarding ialah struktur 3 babak (3-act structure) yang memberikan sebuah buku permulaan, isi dan akhir yang jelas. Mengapa struktur ini perlu? Karena sebuah buku (terutama fiksi) bagi pembaca berperan sebagai alat untuk melampiaskan dan melepaskan emosi, atau yang disebut dengan emotional catharsis. Maknanya hampir sama dengan pembersihan jiwa seseorang dengan membuatnya lebih lega, kaya dengan pengalaman kehidupan yang diberikan dalam buku. Meski demikian, buku-buku non-fiksi pun tetap perlu menggunakan struktur 3 babak ini. Bahkan untuk berbagai genre karya lain seperti memoar, struktur 3 babak ini dapat diterapkan.

Struktur 3 babak ini jika digambarkan dalam sebuah diagram akan berbentuk seperti huruf W. Untuk itu pilihlah 5 islands paling menonjol dalam daftar yang sudah dibuat sebelumnya. Babak 1 berada di puncak pertama dinamai “Triggering Event” atau Peristiwa Pemicu. Di sini diceritakan peristiwa luar yang memulai tindakan/ aksi. Tanpa peristiwa pemicu ini, seluruh isi buku tidak bisa dimulai untuk dipaparkan. Moore mencontohkan triggering event bisa berupa kelahiran atau kematian, munculnya sebuah rahasia yang harus diungkap, dimulainya sebuah perjalanan, dan sebagainya.

W diagram stroyboardDari triggering event, kita mengarah turun. Ini dinamakan “setting up a problem” (penyajian masalah) yang akan menjadi bagian untuk menambah ketegangan dalam cerita. Setelah turun hingga ke dasar, kita akan temukan “first turning point” atau titik balik pertama dalam cerita. Inilah bagian atau poin pertama. Dari titik balik di bawah, arah cerita kembali ke atas saat cerita mulai menunjukkan perkembangan yang positif, maksudnya terjadi peristiwa yang sesuai dengan kehendak para pembaca seperti mulai ditemukannya petunjuk tentang pelaku kejahatan, atau sebuah harapan baru muncul atau ide baru yang lebih baik mulai terdeteksi.

Bagian berikutnya dalam diagram W ialah naiknya alur cerita yang disebut sebagai babak ke 2 yang dinamai “recovering from the problem” (pulih dari masalah). Harapan atau ide baru memberikan momentum positif.

Sampailah kita ke puncak kedua dalam diagram W yang disebut sebagai babak ke-2 dalam cerita. Moore menyebutnya sebagai “the pop moment”, yang di dalamnya memuat klimaks. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam klimaks, masalah akan makin membesar hingga tidak terbendung lagi dan akhirnya meledak. Ibarat bom, inilah waktu meledaknya bom waktu yang sudah disulut sumbunya dari awal cerita.

Dari puncak kedua, alur kisah menurun kembali karena masalah terus memburuk dan belum ditemukan jalan keluar. Terjadilah peristiwa pemicu kedua yang menunjukkan makin peliknya masalah atau konflik. Inilah bagian yang disebut Moore sebagai “deepening of the problem”, atau makin parahnya masalah/ konflik.

Berikutnya, alur kisah sampai di titik balik kedua. Titik terendah kedua ini disebut “second turning point”.  Biasanya setelah penulis menceritakan bagaimana parahnya konflik, rumitnya masalah sehingga semua jalan tampak sudah tertutup, tak ada lagi harapan, semua solusi yang mungkin sudah dicoba dan masih gagal pula, kebuntuan seakan menghadang dan skenario terburuk dipaparkan. Namun, akhirnya muncul sebuah titik harapan baru di titik balik kedua ini. Titik balik ini naik ke atas untuk menunjukkan perubahan arah cerita yang positif atau sesuai kehendak pembaca yang bisa diwujudkan dalam bentuk munculnya harapan baru, bantuan yang tak disangka-sangka, atau perubahan dalam diri karakter cerita. Pada gilirannya, semua ini akan membentuk pemahaman baru atau pencerahan yang menjadi solusi konflik. Dalam buku-buku fiksi, sebelum bagian penutup disajikan, umumnya dijelaskan sebuah momen pencerahan yang Moore sebut sebagai “Oh my God point”. Dalam genre misteri, ini disebut sebagai titik krisis (crisis point), yakni naiknya intensitas konflik yang mengarah ke solusi.

Struktur storyboard W ini akhirnya ditutup dengan babak ketiga yang berupa bagian akhir yang di dalamnya terjadi penyelesaian konflik atau pemberian solusi.

Moore menjelaskan penulis harus bisa jeli mengkelompokkan peristiwa-peristiwa yang negatif dan positif untuk dimasukkan dalam diagram W tersebut. Peristiwa negatif lazim dimasukkan dalam bagian diagram yang menurun, sementara peristiwa positif di bagian yang naik.

Selain itu, penulis juga tidak perlu harus mengikuti garis lurus dalam diagram W. Misalnya, dicontohkan oleh Moore, dalam bagian kisah yang menurun, seorang penulis bisa berkreasi dengan membuat jalan cerita sedikit naik turun, tidak lurus turun begitu saja. Dengan demikian, dinamika cerita menjadi lebih terasa. Tetapi arahnya secara garis besar tetaplah menurun terus.

Jika storyboard yang sudah kita susun susah payah tersebut malah membuat pikiran kita buntu, kata Moore, jangan putus asa dan coba kembali melakukan brainstorming topik dan buat daftar islands seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.

Islands atau pulau-pulau ide itu menurut Moore harus dikembangkan menjadi ‘benua’, yang artinya berkembang menjadi lebih besar dan berbobot. Menurut saya, cara membuatnya lebih berbobot, lebih riil, lebih mempesona ialah dengan memberikannya detil-detil yang banyak dan relevan yang hanya bisa diperoleh dengan berbagai proses riset yang mendalam. Banyak penulis  yang mengabaikan riset (entah itu wawancara, telaah pustaka, survei lapangan) karena ‘kejar setoran’. Dan inilah yang membuat kualitas karya mereka kurang memenuhi harapan pembaca.

Tak hanya sampai di situ, storyboard yang telah disusun pun perlu direvisi kembali jika dipandang tidak bisa mengakomodasi aspirasi Anda sebagai penulis. Dengan kata lain, penulis bisa mengubah isi storyboard yang dirasa perlu pengembangan atau perbaikan. Perbaikan sah-sah saja dilakukan, kata Moore. Ia melakukan storyboard pertama sebagai draft kasar, kemudian meninjau ulang untuk memastikan telah benar-benar baik dan akhirnya menyempurnakannya. Penyesuaian storyboard diperlukan seiring dengan berkembangnya perjalanan pemikiran penulis mengenai penulisan bukunya.

Dan sekali lagi, storyboard ini bermanfaat untuk membuat penulis tetap terarah saat mengembangkan cerita dengan tetap setia pada tema besar, voice (sudut pandang) dan pacing (kecepatan bercerita). Jangan abaikan dilema yang menjadi jiwa dalam cerita. Pastikan dilemanya cukup signifikan untuk membuat kisah lebih dramatis.

Gardens by the Bay: Keindahan Alam Artifisial ala Singapura

Mengunjungi “Gardens by the Bay”, kata seorang teman, sama saja mengunjungi tempat-tempat wisata alam di tanah air.  Punya kita bahkan lebih alami dan menakjubkan! Saya terkekeh mendengar kelakarnya yang memang ada benarnya juga. Lihat saja, di bagian depan kami sudah disambut beragam jenis tanaman yang ditanam di hamparan tanah yang sebenarnya beberapa tahun sebelumnya hanyalah pantai yang kemudian direklamasi dengan tanah (yang diduga keras berasal dari Indonesia). Semua tanaman ini mungkin bisa dijumpai di tanah air kita, bahkan kita lebih kaya lagi karena semua itu tercipta dengan alami membentuk ekosistem yang di dalamnya dilengkapi fauna-fauna khas yang Singapura hanya bisa impor. Tapi kita tak perlu mengimpor, hanya merawatnya.

Itulah perbedaan Indonesia dan Singapura. Indonesia yang sudah berlimpah ruah sumber daya dan potensi alamnya menganggap enteng karunia yang diberikan dan bersikap  masa bodoh, bahkan lebih banyak merusaknya sendiri untuk kepentingan jangka pendek. Sementara Singapura yang menyadari kekurangannya terus memperbaiki diri semaksimal mungkin dan merawat karunia yang lebih sedikit itu dengan lebih bijak dan hati-hati, serta lebih tergerak untuk berbuat lebih baik, lebih segala-galanya dari Indonesia yang kaya raya ini.

“Discover a world of wonders at Bay South Garden”, begitu tulisan dengan fontasi indah dan artistik di brosur yang saya ambil di pintu depan. Pengunjung disediakan sarana angkutan mirip mini shuttle bus Taman Mini Indonesia Indah untuk mengelilingi taman dengan lebih hemat tenaga. Maklum, hari itu suhunya cukup tinggi dan pepohonan di taman raya ini belum serindang pepohonan kuno di Kebun Raya Bogor yang sudah menjulang puluhan meter.

Setelah mobil dijalankan, penjelasan tentang semua bagian taman pun keluar dari rekaman yang diputar secara otomatis oleh si petugas. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk mengelilingi taman ini dengan mobil tersebut. Bisa dikatakan sangat kecil. Bandingkan jika kita mengelilingi Kebun Raya Bogor! Tak akan cukup waktu 15 menit itu untuk menerangkan semua isinya.
image

Hanya saja, Singapura memang profesional sekali dalam mengelola semua tempat wisatanya, termasuk Gardens by the Bay ini.  Semuanya bersih, rapi, terorganisir baik. Rekaman yang diputar pun bukan sembarang rekaman karena suaranya adalah suara pria yang mantap dan jelas dengan aksen Inggris Raya dan pengucapannya yang sempurna. Sesuai standar RP alias Received Pronunciation (Pengucapan yang Berterima) yang berlaku secara resmi di negeri ratu Elizabeth ke II. Semua papan penunjuk arah dan keterangan pun dicetak dalam 4 bahasa yang mewakili masing-masing ras yang dominan di sana: China, Melayu, Tamil, dan Kaukasia (Barat).

Taman ini menjadi tempat tumbuh berbagai jenis tanaman yang diklaim berasal dari 4 penjuru dunia, kecuali Antartika yang beku. Di bagian awal perjalanan, disuguhkan Heritage Gardens yang tak terlihat begitu menarik karena hanya menunjukkan bagaimana  tanaman memainkan peran dalam kehidupan dan budaya kelompok etnis utama di negeri singa ini. Ada taman khas Melayu, China, Tamil, dan Barat.

Di konservatorium raksasa, pengunjung bisa mengamati spesies langka nan eksotis. Ada juga taman vertikal alias Supertrees yang menjulang seperti pohon raksasa. Taman vertikal ini berupa bangunan mirip pohon yang di seluruh permukaannya tertutup pot tanaman, dan kita bisa menikmati pemandangan dari ketinggian 22 meter di OCBC Skyway. Di malam hari, Supertrees siap unjuk kebolehan dengan pertunjukan suara dan cahaya yang dilakukan rutin tiap jam 7.45 dan 8.45 malam. Semua suara dan  cahaya itu ditenagai oleh tenaga surya yang dikumpulkan Supertrees sepanjang pagi, siang dan sore hari.

Lain lagi di Flower Dome, yang memamerkan pohon zaitun berusia ribuan tahun dan pohon baobab yang bagi saya terlihat seperti botol dari kejauhan dengan dedaunan mirip kapuk.

Yang menarik ialah pengelola taman menyediakan akses gratis ke taman yang ada di sisi luar Bay South tetapi saat masuk ke Cooled Conservatories (semacam rumah kaca luar biasa besar dengan bentuk seperti pastel) dan OCBC Skyway, pengunjung baru dipungut bayaran.  Pemerintah Singapura dan pengelola memahami bahwa warga Singapura tanpa kenal status ekonomi juga memerlukan ruang terbuka hijau untuk menikmati hidup, sekadar menghirup udara segar dan berjalan-jalan santai di akhir minggu. Sebuah perbedaan yang cukup signifikan karena di Kebun Raya Bogor atau Ragunan misalnya, mana bisa kita masuk gratis kecuali menggelar tikar di halaman depan yang penuh orang mengantri? Bukan ingin menghakimi bangsa sendiri tetapi bagaimana bisa Singapura yang penduduknya sudah berpendapatan lebih tinggi saja masih bersedia memberikan fasilitas gratis sementara kita yang jelas-jelas masih banyak yang tidak mampu malah dipungut bayaran? Ah, mungkin karena jika diperbolehkan gratis masuk, orang akan seenaknya berpesta pora dan menggunakan fasilitas dengan begitu bebas sampai puas dan tak peduli barang sedikit pun saat fasilitas rusak atau sampah teronggok setelah kedatangan mereka. Bisa jadi rakyat juga harus memperbaiki diri dulu sebelum berharap banyak pada pemerintah mereka.

Teman saya tadi masih masygul dan bernada sinis mengucapkan, “Muak juga kalau dengar ada orang memuji-muji Singapura terus. Padahal sebenarnya Singapura yang layak dikasihani lho.  Air terjun dan taman buatan kayak gini aja dijual. Di kita mah banyak.” Saya tersenyum simpul setengah mengiyakan.

Akan tetapi dalam hati saya setengah lagi menyangkal, “Benar, kasihan Singapura… tetapi lebih kasihan lagi Indonesia.”

Bukan “The Hard Truth on How to Keep Indonesia Mediocre”

English: Susilo Bambang Yudhoyono, president o...
Susilo Bambang Yudhoyono, president of Indonesia. (Photo credit: Wikipedia)

Jujur, awalnya saya mau memberikan judul “The Hard Truth on How to Keep Indonesia Mediocre” pada tulisan ini. Anda boleh setuju, atau tidak. Baca saja sampai habis, baru berpendapat.

Percakapan politik makin santer saja akhir-akhir ini. Dan saya bukan tipe orang yang suka berbincang tentang politik, apalagi politik Indonesia menjelang Pemilihan Presiden seperti sekarang.

Bukan, saya bukan anti politik. Tetapi saya lebih menyukai politik yang ‘santun’ (meski definisi santun sangat kabur di sini). Politik selalu kotor, tak peduli di mana pun itu dan kapan pun. Itu fakta yang harus kita terima dan memang kita tak berdaya mengubahnya. Tak ada namanya politik bersih di muka bumi. Masa bodoh lah tentang kotor tidaknya politik, atau santun tidaknya politik kita, karena itu urusan para politisi. Saya tak mau ikut campur. Terserah mereka.

Namun, sekotor-kotornya politik itu, jangan sampai mencegah dan menghambat rakyat banyak untuk mendapatkan hak-hak mereka. Seorang politisi bolehlah mau beristri sebanyak apapun, menumpuk harta, asal semua itu bukan dari hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, dan dia sadar kalau tugasnya gagal, ia harus mundur. Dan satu lagi yang paling penting, ia harus bisa memisahkan tugas negara sebagai negarawan dan tugas partai politik sebagai politisi. Semua boleh saja, asal tahu konteks dan prioritas.

Sebagai pemilih saya juga termasuk swing voter yang apatis. Saya terus terang memilih Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan kemarin, dan melihat apa yang terjadi sekarang, saya mempertimbangkan dengan bijak untuk mengambil sikap netral saja nanti. Golongan putih mungkin yang terbaik karena memilih yang terbaik itu tidak masuk akal. Lebih masuk akal untuk mengatakan pemilih harus memilih mana yang lebih ‘parah’ dari semua yang parah. Ya, ketidakpercayaan saya memang separah itu.

 

The same old song alias lagu lama

Mendengar pembicaraan di sana-sini tentang Pilpres 2014, gelagat pola yang sama akan terulang kembali memang sudah terbaca jelas. Amerika Serikat dan sekutu terdekatnya di Asia Tenggara Singapura masih akan menjadi pihak yang amat menentukan presiden negeri boneka ini. Terkejut? Tidak. Karena jika negeri ini mau memberontak dan keluar dari pola nyaman yang ada, risikonya memang tinggi. Dan itulah ‘kepribadian’ Indonesia bukan? Santai dan manja, sangat menikmati hidup di tengah limpahan sumber daya alam dan manusia.

Konsolidasi politik terus menggeliat. Prabowo tampaknya akan menjadi bintang baru (dari asal yang masih juga sama: Cendana). Tak hanya berkampanye di baliho di berbagai daerah, ia juga tampil sangat sering di Facebook, televisi, dan sebagainya. Bahkan saya temukan TKI di Hongkong yang dengan bangga mengenakan kaos Gerindra. Sayangnya, kekurangan Prabowo ialah kehidupan keluarganya yang kurang mendukung. Status duda bisa menjadi batu sandungan tersendiri.

Kalau mau protes, kita bisa saja ingin keluar dan berdaulat sendiri dalam perhelatan politik bangsa ini, tetapi persoalan riilnya ialah orang Indonesia terutama yang memilih nanti adalah mereka yang memiliki memory span yang pendek. Daya tampung ingatan mereka tak cukup besar untuk mengingat dosa-dosa politik kandidat yang ada. Orang-orang muda Generasi Y seperti saya misalnya mungkin tidak demikian tetapi bagi pemilih generasi baby boomers yang mengalami jaman keemasan Suharto dan Orde Baru-nya, timbul semacam perasaan nostalgik tersendiri dan kerinduan yang mendalam untuk kembali. Bukan karena apatisme atau pesimisme, tetapi karena perubahan menuju yang lebih baik itu pun belum tentu yang mereka harapkan, dan karena mereka harus berkorban meninggalkan zona nyaman dan tradisi lama yang sukar diubah karena begitu kuatnya mengajar dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Itulah ambiguitas orang Indonesia, berkata ingin maju tetapi tidak mau berubah dan mengubah diri dan orang-orang sekitarnya. Hipokrit? Mungkin saya juga salah satunya.

Indonesia memang sudah ‘didesain’ sedemikian rupa untuk tetap menjadi negara terbelakang, begitu kata seorang rekan. Ya, bukan pernyataan yang menggemparkan memang. Sudah rahasia umum bahwa seorang presiden di negeri ini harus orang yang beragama Islam dan berasal dari suku Jawa. “Kalau bukan orang Jawa dan muslim, jangan mimpi jadi presiden,”  katanya dengan nada menampar.

Nama Gita Wiryawan dan Dahlan Iskan juga muncul. Gita, seperti kita ketahui dari latar belakang pendidikannya, sudah tak perlu diragukan lagi akan direstui AS. Dahlan mungkin akan menjadi kuda hitam yang bertugas membuat pilpres bertambah seru, atau mungkin bisa melejit menjadi pemenang. Sangat prematur untuk membuat prediksi seperti itu.

 

Kebangkitan social media

Pengamat lain mengklaim kecerdasan para pemilih makin tinggi nanti. Dan social media atau jejaring sosial akan menjadi saluran baru untuk meraup simpati pemilih. Di pilpres yang lalu (2009), social media di Indonesia memang belum begitu marak dalam bidang politik meskipun dalam tahun yang sama Facebook mulai merebut hati pengguna Friendster yang mulai kehilangan pesona. Saya masih ingat bahwa di tahun 2009 juga, saya membuat akun Facebook saya dan mulai secara aktif berjejaring di sana melalui ponsel. Sementara Twitter masih belum banyak dilirik politisi. Mungkin karena Twitter harus menggunakan bahasa yang ringkas dan padat (140 karakter) sementara Facebook tidak. Tentu kurang cocok untuk politisi Indonesia yang terkenal suka berpanjang-panjang kata dalam berucap di depan publik. Twitter kurang mengakomodasi ‘hobi’ membual mereka.

Namun demikian, social media diprediksi hanya akan efektif untuk daerah pemilihan yang warga dan infrastruktur teknologi informasinya sudah maju seperti DKI Jakarta. Tentu kita masih ingat bagaimana pertarungan sengit Jokowi dan Ahok yang menggunakan social media dengan kubu incumbent yang menggunakan media konvensional. Jokowi-Ahok menang. Masih diragukan apakah social media juga akan bekerja memihak mereka yang lebih unggul menggunakan jejaring sosial dan web secara umum untuk berinteraksi dengan para konstituen tanpa halangan birokrasi yang berarti.

Yoga Membuat Nafas Anda Lebih Panjang

bakasana variationEntah itu berarti dengan beryoga, hidup kita jadi lebih panjang? Sangat asyik berdebat tentang hal itu tetapi terlalu banyak faktor X yang bermain dalam menentukan usia seseorang dan satu pembahasan singkat tidak bisa mengkomodasi itu semua. Yang hanya kita temukan hanyalah debat kusir tanpa ujung.

Tetapi yang satu ini benar adanya. Jika Anda seorang penggemar yoga alias yogi/ yogini, Anda akan menemukan fakta mengejutkan bahwa efisiensi Anda dalam bernafas lebih tinggi daripada orang kebanyakan.

Ini bukan hipotesis atau teori omong kosong belaka yang saya karang di kepala. Seorang teman, Shanti namanya, pernah mengatakan betapa bergunanya latihan yoga yang ia lakukan selama ini dalam membantunya bernafas lebih efisien di dalam air yang notabene sepenuhnya bersandar pada persediaan udara bersih di tabung oksigen yang dibawa di punggung penyelam.

Menurut pengalamannya diving di Bali 2 kali dan di Gili 3 kali, ia sampai pada sebuah kesimpulan: “Sisa udara bersih yang dimiliki yogi/ yogini 2 kali lebih banyak daripada sisa udara para penyelam lain yang bukan yogi/ yogini alias tidak pernah beryoga”.

Dalam satu kali sesi menyelam, Shanti menceritakan seorang penyelam lain dari luar negeri sudah kehabisan udara saat baru di tengah-tengah perjalanan, waktu para penyelam lain masih asyik-asyiknya menelusuri alam bawah permukaan laut. Seorang dive master berbangga diri jumlah memproklamirkan sisa udaranya yang masih 60 (entah apa satuan ukurannya, karena saya sendiri belum pernah menyelam). Sementara itu, Shanti berhasil menyisakan 120. Sang dive master terperangah, mengira Shanti salah membaca tetapi justru ia yang salah.

Indonesia Needs No Politicians But More Statesmen

English: Senior Minister Lee Kuan Yew of Singa...
Senior Minister Lee Kuan Yew of Singapore, being escorted by United States Secretary of Defense Donald H. Rumsfeld through an honour cordon and into the Pentagon. (Photo credit: Wikipedia)

Crap! It’s like soap operas are not enough. Indonesia news these days and one year ahead has been and will be a disgusting pool of information on morally rotten politicians and may-God-burn-them-in-the-bowel-of-hell type of corrupt public officials and their not so surprisingly disgraceful deeds.

I don’t CARE. Seriously, I do NOT.

While a flock of journalists around me chattered about the nausea-inducing politicians, I abandoned them for a read on a real statesman from the neighboring island state, Singapore. Lee Kuan Yew as presented in “Hard Truths to Keep Singapore Going” has stated so many mind-blowing pieces of truths, hard cold facts to swallow. An inspiring book everyone has to read, I suppose, especially if you’re not a narrow-minded person.

So what does the book have to do with us Indonesians? It – to some extent – teaches me that so long as we have too many politicians in Indonesia, this nation will find it hard to move forward and make progress rapidly catching up the other more developed and more prosperous ones.

But wait, what’s a statesman? And how are these statesmen different from politicians? They look and sound similar. They’re housed in the same building most of the time. They work and adopt more or less similar way of life. Close with the powerful authority and hence influential enough to the rest of the nation.

A statesman, as I look up in my e-dictionary, can be roughly defined as “a man who is a respected leader in national or international affairs”. A statesmen should be astute and sagacious, looking and behaving like a sage or hermit full of wisdom in his nearly bald head.

A politician, however, is merely a person actively engaged and involved in party politics. Even more evil definition exists, a politician may be a schemer who tries to gain advantage in an organization in sly or underhanded ways. I’m not surprised though.

The two are closely linked – even intermingled with each other – I would say, but the huge gap between a politician and a statesman lies in the profound and visionary understanding of managing a nation.

In my own understanding of statesmen, I can safely say that Soekarno and Hatta are two of them. Soeharto? He is a personality with too many facets, and thus require more complicated judgment. If I really have to decide though, Soeharto is half way there but not quite impressive.

Lee Kuan Yew is very much different. He is a dictator perhaps to some people, just like Soeharto. In terms of visions, he has got what it takes to be a statesman. Maybe he gets too rich compared to the average people of Singapore but if that means significant real improvement in the nation’s squality of life, why not? And if he manages and runs the nation like a professional and get paid after that like a CEO and turning the richest and the one in the company, why not? Because he deserves that and above all, his achievements are there to see. Lee’s policies are criticized badly here and there by his own people but he has strong reasons for any of the steps taken. There are consequences to follow but it seems he has gotten everything taken care of.

Once again, it is of course unfair on so many levels to compare these two entities (Indonesia and Singaporean leadership). The two countries are different and unique.

 

Are There Any Solutions for Mediocre Writers? Commitment!

They stalk my blog, read my Facebook walls, see my tweets, and they think I am skillful at arranging words, and thus such a good writer I need to publish a book. Yet how could I end up being like a failure?

First thing first, I need to be really objective about myself. Am I that good? I am quite sceptical about this but yeah, maybe I am and I will be if I write much better. One thing I myself have doubt about is the commitment to this writing job. I mean, real writing job because so far I am not really a writer. I am more like a translator (and that makes me wonder if a translator is truly a failed writer trying desperately making money with his/ her lingustic competency?) I don’t want to be like a fellow writer who just surf the web, copy and paste here and there to produce a book in almost an instant. Wait, doesn’t she even bother quoting and mentioning the sources in a correct manner? I am not sure. Hopefully, she does. She does…

Second, maybe my approach is not that professional. Believe it or not, so far I have applied the just-write-it approach in my writing pieces, if they deserve to be called so. I have no particular method. I just flow with the train of thoughts. I never use any main points, guidelines, or schemes. And I don’t even proofread my own compositions. Yes, I sound like an amateurish. Sometimes I think that is my own style, but the other times I know I ought to fix this soon.

Three, there is so little time to read and do thorough research but obviously too much workload. I love deadlines but then you have to know that to me doing work under pressure breaks me down.  And this lack of time amount is just impossible to prolong in the world where quantity is above all.

Fighting against the Fear by Dealing with It Head to Head

If there is someone who is really bad at dealing with fear, that must be me. I hate challenging with fear and I literally have no guts to do that, other than being in a position where I have no other possible options but just jump with eyes completely closed. I just do it and I don’t think further because the more I think, the more I cringe.

People always know that I have lofty dreams like going abroad, seeing different cultures,  foreign peoples and writing books or at the very least write my own short stories but until now I have not tried once. I keep postponing. Why? Maybe it is because I think I am not ready for the rejections. They are as painful as being slapped and dragged with no attire on in public. I hate being rejected as I feel like I am a real pariah, who needs to be exiled and unwanted by all means.

So is it why I should wait till the last minute? So I run out of choices and time so I can allow myself to be pushed by everyone around me to take a single baby step towards my own dreams.

Melawan Status Quo

“We in the press, by our power, can actually undermine leadership.” – Christiane Amanpour Jurnalis baik yang media lama dan baru mungkin bukan satu-satunya entitas yang paling kuat pengaruhnya di tengah masyarakat modern dan beradab. Mereka juga bukan orang-orang yang super kaya dengan aset kekayaan yang mencengangkan publik tetapi dalam hal pengaruh, mereka tidak kalah kuatnya dibandingkan pejabat pemerintah dan sosok pemimpin seperti Joko Widodo, kalangan pebisnis yang menguasai sektor ekonomi, akademisi yang cendekia dan lain-lain. Dan bagi siapapun tidak ada yang lebih menghancurkan dari publisitas negatif yang dilakukan jurnalis. Apalagi di era yang mengagungkan citra.

Posted from WordPress for Android

Getting Rich from Writing

image

“If you want to get rich from writing, write the sort of thing that’s read by persons who move their lips when they’ree reading to themselves.”- Don Marquis

 

Once I was asked by Guna, a close friend of mine at work, “I want to write but don’t know how to start.” And another request is from a fellow yogi who happened to find it difficult to pour her thoughts into words. A piece of advice I gave them is surprisingly like this. Just write like you talk or explain things to someone else, I advised. It may sound hassle free for pros but yeah I think that is how good way of writing is explained. It is not a one-size-fits-all rule but mostly applies in any cases. And Don Marquis quite hit the bull’s eye when he stated that. Writing should be flowing in such a natural way like we talk, chat, converse. It should convey the most complex ideas with the simplest structures and lexicon. Often times that is how I begin writing in fact. I listen to private chats. I overhear heart to heart conversations. I intercepted small talks between coworkers, family members, employers and employees, and …voila! I am suddenly inundated with materials to get written. So when you start with listening a lot, you will find it easier to write naturally, which to most readers is more appealing than any other methods. Are you ready to listen and write now?

Posted from WordPress for Android