Suatu Pagi di Cikini tentang Jakarta yang Lupa Jati Diri


image

Saya selalu menemukan keasyikan tersendiri saat mengamati hal-hal dari masa lalu. Misalnya dalam menikmati karya sastra, saya pernah begitu terkesima dengan karya Remy Silado “Cha Bau Khan”. Novelnya berlatar belakang Jakarta dan Semarang di era awal abad ke-20 saat masa kolonial Belanda.  Novel setebal ratusan halaman itu habis saya baca dalam 1-2 hari saja karena plotnya yang begitu ‘mengalir’. Dan yang paling menarik ialah bagaimana setiap kata di dalamnya membawa saya menuju ke kehidupan orang-orang di masa lalu, bagaimana mereka berkata, berpikir, dan berperilaku. Ada semacam ikatan emosional pula saat sebuah nama tempat disebut di dalam kisah novel itu. Jakarta, Semarang bahkan kota kelahiran saya Kudus disebut di sana. Ini membuat saya ‘tenggelam’ dalam cerita, yang membawa saya ke masa itu bak sebuah mesin waktu ala Doraemon.

Itulah yang saya rasakan hari ini di Cikini, sebuah kawasan yang menjadi salah satu pusat keramaian di Jakarta yang masih mempertahankan identitas khasnya sebagai bagian Jakarta tempo dulu. Di sinilah saya diajak oleh seorang teman yang secara kebetulan bertemu di acara yoga di Car Free Day hari ini bernama Janti (baca: Yanti) yang berparas ayu yang sekilas menurut mata saya memiliki darah campuran. “Janti orang Jawa kok,” sanggah seorang teman saya yang lebih mengenalnya. Ah bisa jadi saya salah menilai, seperti seseorang yang bersikukuh saya memiliki darah keturunan India, hanya karena mata saya yang lebar, muka lonjong dan bertubuh kurus serta berkulit sawo matang. Kemungkinan besar dia terlalu banyak membaca teks-teks yoga yang di dalamnya menampilkan foto-foto pria India dengan ketrampilan melipat tubuh yang mencengangkan.

Janti mengajak kami naik taksi dari kawasan Bundaran Hotel Indonesia yang penuh kemeriahan. Di antara begitu banyak taksi di luar zona CFD, ia menghentikan sebuah taksi Silver Bird yang melintas. Saya menghela nafas dalam sebelum masuk, karena saya terbiasa memakai jasa Blue Bird, ‘edisi terjangkau’ dari Silver Bird yang sebenarnya berwarna hitam, bukan perak. Sebuah pemberian nama yang menyesatkan memang. Dan seperti itulah kebanyakan nama-nama di Indonesia, contohnya nasi pindang yang sebenarnya tidak ada unsur ikan pindang sama sekali, lalu taoge goreng yang kecambahnya tidak digoreng tetapi direbus, dan Dewan Perwakilan Rakyat yang pada dasarnya hampir selalu tidak pernah mewakili rakyat. Yah, itu cerita lain yang bisa dibahas kapan-kapan.
image

Janti dan satu teman lain Jacklyn mengatakan ini baru pertama kalinya mereka keluar dan menikmati suasana CFD di Sudirman dan Thamrin yang rutin diadakan setiap hari Minggu teakhir di setiap bulan. “Padahal tinggal di Jakarta tapi belum pernah ke Car Free Day. Katrok yah,” canda Janti.

Taksi pun berhenti dan kami turun  di sebuah deretan bangunan tua khas peninggalan Belanda di jalan Cikini, Jakarta Pusat. Sebagian besar masih terawat baik.

Ia mengajak kami masuk ke dalam sebuah kafe yang berkonsep kedai jaman dulu. Makanan dan minuman tradisional dan kuno ala Indonesia dijual di sini, dari kue cucur, lemper, lepet, sangkulun atau ongol-ongol, nasi uduk, putu mayang, getuk, kacang bogor, biskuit kembang, sunpia,  hingga timus.

Saya ambil satu bungkus nasi uduk yang dibungkus dengan daun pisang. Dan untuk mendampinginya, saya pesan satu gelas kunyit asam suhu ruang. Si pelayan agak kebingungan, dan saya perjelas lagi, maksud saya tidak panas dan tidak dingin.

Saat Janti kembali ke kedai, ia menyapa 2 orang temannya di dalam dan mengajak mereka menemui kami. Mereka memperkenalkan diri sebagai Dharmawan Handonowarih dan Rico.

Percakapan pun mengalir kemudian di sofa berwarna merah menyala dan berangka kayu jati asli yang begitu nyaman di bokong. “Taman di Jakarta kebanyakan semen-semen ya,” ujar Dharmawan. “Iya, sayang sekali,” timpal Jacklyn. “Pilihan tanamannya juga stek,” keluh Dharmawan yang tampak rapi dengan kemeja meski di hari Minggu yang santai. Maklum, ia salah satu pemilik kedai unik ini.

Yudhi, pendiri Yoga Gembira di Taman Suropati, mengemukakan visinya untuk membuat setiap taman di Jakarta lebih hidup dengan salah satu caranya menggelar latihan yoga bersama sehingga sense of belonging mereka terbangun dengan sendirinya. “Dulu saat memulai kami dicurigai,” kata Yudhi.

Saya pikir seperti itulah saat kita semua ingin memulai sesuatu yang baru dan lebih baik. Pertama-tama publik akan bersikap skeptis, penuh kecurigaan dan sering pesimisme timbul. Semua ide yang baik dan baru harus menempuh tahap diragukan dan disepelekan bahkan dilawan hingga kelak ia benar-benar diakui lebih luas.

Keprihatinan dengan kondisi taman-taman kota menyeruak dalam obrolan santai kami yang diiringi musik keroncong yang memperkental atmosfer kedai ini. Dengan suasana yang mirip susunan ruang tamu dan ruang keluarga di rumah-rumah jaman Belanda yang langit-langitnya tinggi dan sirkulasi udaranya begitu lancar, Dharmawan mengajak kami menilik keadaan Taman Suropati sebelum seperti sekarang, “Taman Suropati lebih sejuk dulu. Sekarang karena ledakan penduduk Jakarta, dan makin murahnya harga kendaraan bermotor, dan diperbolehkannya kendaraan parkir di sekitarnya, akhirnya lebih panas,” ia bertutur.

“Taman di Menteng itu banyak lho. Taman kecil-kecil seperti Taman Sukabumi, Taman Kodok, Taman Lawang. Kalau taman di Jakarta Pusat seperti Taman Sari hanya banyak penjualnya. Ada juga Taman Chairil Anwar di Guntur yang di tengah pemukiman. Dulu ada ibu-ibu penjual nasi uduk enak di situ tetapi kini dibangun kantin-kantin kecil. Begitu juga Taman Daha, dulu bagus tapi semenjak diurus Pemda DKI jadi ga karuan,” kata Dharmawan yang tinggal di sebuah rumah di Ciledug yang ia desain dengan banyak ventilasi dan pohon di halaman depan rumah ala rumah tropis garapan arsitek Belanda. Tampak sekali wawasannya yang luas dan mendalam mengenai bangunan-bangunan kuno dan taman-taman di seluruh penjuru ibukota. Saya yang jauh lebih muda dan baru mengenal Jakarta lebih dekat selama 3 tahun terakhir belajar banyak darinya. Seketika saya memutar sebuah film dokumenter bisu hitam putih di benak saya, mencoba memvisualisasikan apa yang ia gambarkan.

Kondisi inilah yang masih dialami oleh sebagian warga Jakarta yang ingin memulai perubahan positif seperti komunitas Yoga Gembira. Sementara komunitas kami ingin Jakarta memiliki ruang terbuka hijau yang lebih luas dan terberdayakan serta masyarakat Jakarta yang lebih sehat fisik dan mental, Dharmawan, Rico dan Janti lebih memfokuskan diri pada pelestarian peninggalan sejarah Jakarta tempo dulu yang masih tersisa, seperti bangunan yang mereka sedang tempati sekarang sebagai kedai.

Tak hanya berhenti di situ, mereka juga ingin menggerakkan  kepedulian masyarakat terhadap kelestarian bemo, yang sudah diberhentikan pengoperasiannya karena dianggap sangat mencemari udara dan  menimbulkan kebisingan alias polusi suara.

Komunitas sejarah yang ada sekarang, kritik Dharmawan, hanya peduli pada romantisisme saja. “Mereka tidak mengedepankan kepedulian pada peninggalan bersejarahnya. Sekarang kan tinggal yang hancur-hancur kan,” timpalnya. Betul juga. Kalau hanya sisi nostalgianya yang disuguhkan, suatu saat apa yang mau diandalkan kalau warisannya sendiri sudah hancur termakan jaman?

Ia menyorot ketidakberdayaan pemerintah dalam melindungi peninggalan bersejarah. Semuanya tampak secara nyata dan jelas di muka umum, bangunan-bangunan kuno ditelantarkan hingga runtuh sedikit demi sedikit. Kita tahu tetapi sama juga tidak berdayanya, menurut saya. Beberapa di antaranya ialah sebuah gedung art deco sebelah Hotel Omni Batavia di Kali Besar ambruk. Sementara itu, ada juga gudang arsip yang makin memprihatinkan dan akhirnya dihancurkan sama sekali untuk dibuat ruko.

Sering kebijakan pemerintah juga sama sekali tidak mendukung upaya pelestarian peninggalan sejarah. Seperti apa yang dialami oleh Kafe Batavia yang mengalami penurunan pelanggan dan sempat ditawarkan untuk dijual di harian The Jakarta Post karena begitu frustrasinya sang pemilik dengan kondisi jalan di sekitar kafenya yang diubah-ubah oleh pembuat kebijakan sehingga konsumen pun lari. Banyaknya penjual asongan juga membuat suasana bertambah tidak kondusif. Citra kafe yang seharusnya baik menjadi miring karena daerah sekitarnya kurang mendukung. “Harusnya orang ke sana pakai nabung-nabung dulu karena restorannya yang mahal dan bagus tetapi karena sekitarnya begitu, sayang sekali,” katanya.

Padahal para turis itu juga mau melihat jati diri Jakarta, seperti apa Jakarta dulu. Itulah yang membuat Jakarta menjadi Jakarta. Sejarah yang membentuk Jakarta hingga seperti sekarang. Jejak-jejak seperti itu perlu dipertahankan. Janganlah dimusnahkan.

Salah satu elemen sejarah yang pernah melekat di riwayat perkembangan Jakarta ialah bemo. Kendaraan yang bentuk aslinya bahkan saya tidak kenali ini produk Daihatsu yang banyak digunakan di ibukota  hingga dilarang pemerintah DKI tahun 1996.

Pak Sukinong yang turut diundang ke kedai dan sempat berkenalan dengan kami  ialah salah satu sopir yang mengalami masa keemasan bemo. Kini dengan tekad membangkitkan kembali bemo dengan memodifikasinya menjadi kendaraan bertenaga listrik yang ramah lingkungan, Rico dan kawan-kawan menggandeng pak Kinong untuk menyempurnakan bemo listrik yang baru menjalani uji coba. Diharapkan dengan diperkenalkannya bemo listrik nanti, atmosfer historis Jakarta akan sedikit banyak kembali dan tetap mempertahankan kepedulian pada lingkungan. Suaranya jauh lebih halus dari bajaj, mesinnya lebih hemat biaya pemeliharaan.

Jacklyn sempat mempertanyakan aspek ramah lingkungan bemo listrik yang ia anggap boros energi. “Karena Jakarta menggunakan pembangkit listrik tenaga uap, kendaraan listrik lebih ramah lingkungan daripada penggunaan di daerah lain yang masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil,” Rico berargumen. Untuk beroperasi sepanjang 40 km, bemo listrik membutuhkan Rp 22.000.

Untuk lebih meyakinkan hipotesisnya itu, seorang kawan Rico mengkonversi mesin mobil Hyundai Atoz-nya menjadi mesin mobil listrik yang serupa dengan apa yang dipakai bemo listrik. Hasilnya, klaim Rico, sangat menghemat anggaran pembelian bahan bakar. Untuk antar jemput anak, kini ia hanya mengeluarkan Rp 15.000 padahal sebelumnya ia menghabiskan Rp 500 ribu seminggu untuk beli bensin.

Berdasarkan pengakuan pak Kinong, keinginannya turut membantu kemunculan bemo listrik ini ialah agar pemerintah memiliki kepedulian lebih tinggi. “Karena selama ini kita…. Udah, polisi aja tutup mata tiap kita lewat,” ucapnya sambil menghela nafas. “Cuma ya masih bisa untuk mencari nafkah”, tambahnya.  Selama ini masih banyak yang memiliki bemo tetapi kebanyakan tak punya surat resminya. Kontribusi pak Kinong juga diharapkan bisa membuat bemo listrik nanti memiliki tampilan semirip bemo jaman dulu, minus kebisingan dan asap pekatnya. “Supaya budaya bemonya gak ilang,” kata pria yang tinggal di daerah Karet ini.

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.