Membuat Storyboarding untuk Penulis

wpid-IMG_20120913_195628.jpg

Menulis buku tidak semudah yang dibayangkan orang. Banyak sekali detil-detil yang harus dipersiapkan agar buku yang ditulis memenuhi tujuan penulisannya. Bagi pemula seperti saya misalnya, saran apapun untuk memperbaiki gaya dan cara penulisan yang selama ini sudah digunakan sangatlah perlu, bahkan wajib. Berpuas diri dengan pujian yang datang dari orang awam boleh saja tetapi jangan terlalu lama dan menyeret ke stagnansi yang akhirnya bisa mematikan peningkatan kualitas diri.

Membuat storyboard sendiri belum pernah saya lakukan selama ini. Saya hanya mengalir begitu saja saat menulis. Namun demikian, lama kelamaan saya menyadari pentingnya menulis dengan mempersiapkan storyboarding terlebih dahulu. Sekarang saya tak terlalu membutuhkannya karena artikel-artikel yang saya tulis hanyalah pendek-pendek saja dan bahkan lebih banyak yang tinggal terjemahkan, sadur dan parafrase. Saya pikir kini saatnya saya harus belajar menulis tulisan-tulisan yang lebih panjang, lebih bersumber dari pemikiran saya sendiri meskipun itu harus membutuhkan lebih banyak waktu. Harus diakui bahwa menulis sebuah tulisan yang analitis, memeras otak, runtut dan lebih banyak bersumber dari pendapat pribadi merupakan kepuasan tersendiri, terlebih jika disukai lebih banyak orang. Mungkin karena itulah saya kurang puas dengan dunia penulisan online yang cenderung instan dan cepat, yang hanya berpatokan pada jumlah hits dan kunjungan pengguna Internet. Kini saya mulai memikirkan bagaimana memperbaiki gaya penulisan yang sudah terbiasa dengan gaya yang demikian instan, bahkan hampir-hampir tanpa berpikir. Sudah semestinya saya harus demikian, jika tidak saya yang merugi karena tidak membuat kemajuan apapun di bidang yang saya tekuni sebagai mata pencaharian ini.

Sebenarnya istilah storyboarding ini sudah saya dengar beberapa kali dalam berbagai uraian metode penulisan tetapi belum pernah saya baca secara serius apalagi saya terapkan dalam kegiatan menulis sehari-hari karena sekali lagi saya memang tidak punya waktu sebanyak itu di tempat bekerja saya yang sekarang.

Lalu saya iseng saja mencari berbagai video tutorial di YouTube tentang kepenulisan, dan saya menemukan video “Your Book Starts Here” yang di dalamnya berisi penjelasan menarik dari penulis Mary Carroll Moore mengenai storyboarding.

Sebagai seorang penulis konten online, saya memang tidak pernah sekalipun harus menghadapi tantangan berarti saat harus menembus ijin editor, karena editor saya hanya satu orang saja dan itu pun ia harus bagi waktu dengan situs lain. Jadi bisa Anda bayangkan bagaimana tingkat akurasi hasil editing  atau penyuntingan naskah artikel web kami. Itulah yang menjadi kelemahan terbesar dunia kepenulisan online, kurangnya editor yang bisa diandalkan untuk menghasilkan naskah yang benar-benar berkualitas maksimal! Semuanya harus berpacu dengan waktu.

Ini sama sekali lain dengan dunia kepenulisan ‘konvensional’ yang lebih banyak menggunakan tenaga editor untuk menyempurnakan naskah yang sudah dihasilkan penulis. Pembaca pun lebih puas dan nikmat karena hasilnya lebih rapi, berkualitas, bebas salah eja alias typo yang mengganggu, dan sebagainya. Walaupun sebagian kesalahan ini cukup ‘remeh’ kesannya tetapi di situlah letak profesionalisme seorang penulis, editor dan penerbitnya. Semua saling berkaitan. Perfection lies in details.

Menurut Moore, seorang penulis seperti dirinya sangat beruntung untuk bekerjasama atau pernah menyaksikan bagaimana sebuah tim editor bekerja menyempurnakan naskah awal menjadi sebuah manuskrip yang siap dicetak dan dijual. Editor mengemban peran yang sangat penting karena mereka merapikan naskah agar isinya lebih mudah dipahami pembaca kelak.

Moore mengatakan pentingnya pengaturan dan penyusunan ‘islands’ dalam menulis naskah buku. Apa yang dimaksud dengan ‘islands’ ini? Islands ialah poin-poin yang acak yang nantinya  menyusun buku, yang nantinya bisa dirangkai menjadi sebuah kesatuan yang masuk akal dan enak dinikmati pembaca. Jika bisa diterjemahkan dengan bebas, ‘islands’ dapat dipadankan dengan ‘pulau-pulau ide’.

Pertama-tama yang harus dilakukan sebelum menyusun storyboard ialah melakukan curah gagasan (brainstorming). Di sini kita cukup menuangkan segala gagasan yang melintas dalam pikiran dalam sebuah daftar topik. Nantinya ini bisa digunakan sebagai dasar menentukan ‘islands’. Tulis berbagai macam poin yang menurut kita bisa dibahas dalam sebuah buku tanpa harus berpikir terlalu banyak. Catat saja. Urusan mengurutkan dan membuatnya lebih runtut, enak dibaca adalah urusan kemudian. Moore menyarankan mebuat sekitar 25 islands dalam brainstorming untuk penulisan sebuah buku. Tentunya ini sangat bergantung pada banyak faktor, tidaklah harus 25. Daftar islands ini akan menjadi panduan dalam menulis buku selanjutnya.

Apa yang sangat krusial dalam storyboarding ialah struktur 3 babak (3-act structure) yang memberikan sebuah buku permulaan, isi dan akhir yang jelas. Mengapa struktur ini perlu? Karena sebuah buku (terutama fiksi) bagi pembaca berperan sebagai alat untuk melampiaskan dan melepaskan emosi, atau yang disebut dengan emotional catharsis. Maknanya hampir sama dengan pembersihan jiwa seseorang dengan membuatnya lebih lega, kaya dengan pengalaman kehidupan yang diberikan dalam buku. Meski demikian, buku-buku non-fiksi pun tetap perlu menggunakan struktur 3 babak ini. Bahkan untuk berbagai genre karya lain seperti memoar, struktur 3 babak ini dapat diterapkan.

Struktur 3 babak ini jika digambarkan dalam sebuah diagram akan berbentuk seperti huruf W. Untuk itu pilihlah 5 islands paling menonjol dalam daftar yang sudah dibuat sebelumnya. Babak 1 berada di puncak pertama dinamai “Triggering Event” atau Peristiwa Pemicu. Di sini diceritakan peristiwa luar yang memulai tindakan/ aksi. Tanpa peristiwa pemicu ini, seluruh isi buku tidak bisa dimulai untuk dipaparkan. Moore mencontohkan triggering event bisa berupa kelahiran atau kematian, munculnya sebuah rahasia yang harus diungkap, dimulainya sebuah perjalanan, dan sebagainya.

W diagram stroyboardDari triggering event, kita mengarah turun. Ini dinamakan “setting up a problem” (penyajian masalah) yang akan menjadi bagian untuk menambah ketegangan dalam cerita. Setelah turun hingga ke dasar, kita akan temukan “first turning point” atau titik balik pertama dalam cerita. Inilah bagian atau poin pertama. Dari titik balik di bawah, arah cerita kembali ke atas saat cerita mulai menunjukkan perkembangan yang positif, maksudnya terjadi peristiwa yang sesuai dengan kehendak para pembaca seperti mulai ditemukannya petunjuk tentang pelaku kejahatan, atau sebuah harapan baru muncul atau ide baru yang lebih baik mulai terdeteksi.

Bagian berikutnya dalam diagram W ialah naiknya alur cerita yang disebut sebagai babak ke 2 yang dinamai “recovering from the problem” (pulih dari masalah). Harapan atau ide baru memberikan momentum positif.

Sampailah kita ke puncak kedua dalam diagram W yang disebut sebagai babak ke-2 dalam cerita. Moore menyebutnya sebagai “the pop moment”, yang di dalamnya memuat klimaks. Dan sebagaimana kita ketahui, dalam klimaks, masalah akan makin membesar hingga tidak terbendung lagi dan akhirnya meledak. Ibarat bom, inilah waktu meledaknya bom waktu yang sudah disulut sumbunya dari awal cerita.

Dari puncak kedua, alur kisah menurun kembali karena masalah terus memburuk dan belum ditemukan jalan keluar. Terjadilah peristiwa pemicu kedua yang menunjukkan makin peliknya masalah atau konflik. Inilah bagian yang disebut Moore sebagai “deepening of the problem”, atau makin parahnya masalah/ konflik.

Berikutnya, alur kisah sampai di titik balik kedua. Titik terendah kedua ini disebut “second turning point”.  Biasanya setelah penulis menceritakan bagaimana parahnya konflik, rumitnya masalah sehingga semua jalan tampak sudah tertutup, tak ada lagi harapan, semua solusi yang mungkin sudah dicoba dan masih gagal pula, kebuntuan seakan menghadang dan skenario terburuk dipaparkan. Namun, akhirnya muncul sebuah titik harapan baru di titik balik kedua ini. Titik balik ini naik ke atas untuk menunjukkan perubahan arah cerita yang positif atau sesuai kehendak pembaca yang bisa diwujudkan dalam bentuk munculnya harapan baru, bantuan yang tak disangka-sangka, atau perubahan dalam diri karakter cerita. Pada gilirannya, semua ini akan membentuk pemahaman baru atau pencerahan yang menjadi solusi konflik. Dalam buku-buku fiksi, sebelum bagian penutup disajikan, umumnya dijelaskan sebuah momen pencerahan yang Moore sebut sebagai “Oh my God point”. Dalam genre misteri, ini disebut sebagai titik krisis (crisis point), yakni naiknya intensitas konflik yang mengarah ke solusi.

Struktur storyboard W ini akhirnya ditutup dengan babak ketiga yang berupa bagian akhir yang di dalamnya terjadi penyelesaian konflik atau pemberian solusi.

Moore menjelaskan penulis harus bisa jeli mengkelompokkan peristiwa-peristiwa yang negatif dan positif untuk dimasukkan dalam diagram W tersebut. Peristiwa negatif lazim dimasukkan dalam bagian diagram yang menurun, sementara peristiwa positif di bagian yang naik.

Selain itu, penulis juga tidak perlu harus mengikuti garis lurus dalam diagram W. Misalnya, dicontohkan oleh Moore, dalam bagian kisah yang menurun, seorang penulis bisa berkreasi dengan membuat jalan cerita sedikit naik turun, tidak lurus turun begitu saja. Dengan demikian, dinamika cerita menjadi lebih terasa. Tetapi arahnya secara garis besar tetaplah menurun terus.

Jika storyboard yang sudah kita susun susah payah tersebut malah membuat pikiran kita buntu, kata Moore, jangan putus asa dan coba kembali melakukan brainstorming topik dan buat daftar islands seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.

Islands atau pulau-pulau ide itu menurut Moore harus dikembangkan menjadi ‘benua’, yang artinya berkembang menjadi lebih besar dan berbobot. Menurut saya, cara membuatnya lebih berbobot, lebih riil, lebih mempesona ialah dengan memberikannya detil-detil yang banyak dan relevan yang hanya bisa diperoleh dengan berbagai proses riset yang mendalam. Banyak penulis  yang mengabaikan riset (entah itu wawancara, telaah pustaka, survei lapangan) karena ‘kejar setoran’. Dan inilah yang membuat kualitas karya mereka kurang memenuhi harapan pembaca.

Tak hanya sampai di situ, storyboard yang telah disusun pun perlu direvisi kembali jika dipandang tidak bisa mengakomodasi aspirasi Anda sebagai penulis. Dengan kata lain, penulis bisa mengubah isi storyboard yang dirasa perlu pengembangan atau perbaikan. Perbaikan sah-sah saja dilakukan, kata Moore. Ia melakukan storyboard pertama sebagai draft kasar, kemudian meninjau ulang untuk memastikan telah benar-benar baik dan akhirnya menyempurnakannya. Penyesuaian storyboard diperlukan seiring dengan berkembangnya perjalanan pemikiran penulis mengenai penulisan bukunya.

Dan sekali lagi, storyboard ini bermanfaat untuk membuat penulis tetap terarah saat mengembangkan cerita dengan tetap setia pada tema besar, voice (sudut pandang) dan pacing (kecepatan bercerita). Jangan abaikan dilema yang menjadi jiwa dalam cerita. Pastikan dilemanya cukup signifikan untuk membuat kisah lebih dramatis.



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: