Penerjemahan selalu terkait dengan tenggat waktu. Semua selalu dilakukan dengan berpatokan pada durasi pengerjaan padahal kerumitannya juga mungkin tak kalah tinggi. Penerjemah harus mempertahankan tingkat akurasi hasil penerjemahannya dan tetap berpacu melawan waktu.
Selama ini saya selalu berpikir bahwa penerjemahan yang berkualitas haruslah yang dikerjakan dengan penuh ketelitian dan karena itu tidak bisa diburu-buru. Tetapi sebuah sudut pandang lain diberikan oleh Maria E. Sundah, salah satu penerjemah kawakan Himpunan Penerjemah indonesia. Ia beralasan sebuah proses penerjemahan harus dilakukan dengan cepat berdasarkan pertimbangan tersendiri, yaitu karena jika dilakukan terlalu lama, buku yang diterjemahkan sudah tidak in lagi alias sudah basi. Ini bisa dipahami karena sekarang buku-buku baru selalu bermunculan di rak toko buku dan etalase e-bookstore dalam kecepatan yang lebih tinggi.
Maria kembali memberikan ‘bocoran’ tentang bagaimana menjadi penerjemah idaman penerbit. Menurutnya, penerjemah harus sudah familiar dengan buku-buku terbitan penerbit yang bersangkutan. Itu karena setiap penerbit memiliki gaya yang berbeda-beda. Dengan memahami gaya mereka yang khas, peluang untuk mengerjakan dengan lebih baik sesuai keinginan penerbit juga akan lebih tinggi dan waktu yang dihemat untuk menyunting juga lebih banyak.
Masih tentang penghematan waktu, Maria juga mengatakan perlunya kemampuan penerjemah menghasilkan teks sasaran yang (almost) zero-defect alias (mendekati) sempurna. Apa hubungannya teks hasil yang akurat dan penghematan waktu? Maria berargumen, “Dengan menghasilkan teks yang zero defect, penyunting akan membutuhkan waktu lebih pendek untuk memperbaiki naskah dan akhirnya buku akan lebih cepat diterbitkan.” Sangat masuk akal.