
Dunia jurnalisme bisa dikatakan baru untuk saya. Saya baru memulai profesi ini dan masih merasa terlalu hijau untuk mengaku sebagai jurnalis, pewarta, dan sejenisnya. Beban moral dan profesionalnya berat. Saya lebih suka menyebut diri sebagai blogger saja karena saya selalu menulis di media online, bukan old media alias media konvensional seperti koran, majalah, tabloid, dan sejenisnya.
Saya memang masih harus banyak belajar. Apalagi jika dibandingkan Abun Sanda yang Senin siang tanggal 18 Maret 2013 itu tawanya riuh mengisi ruang tamu kediaman Ciputra di Pondok Indah yang demikian teduh. Dikenal sebagai pembangun rumah mewah dan gedung pencakar langit, Ciputra yang sudah berumur lebih dari 8 dasawarsa itu menghuni rumah ‘mungil’ bernuansa kayu yang hangat dan keemasan.
Saya ketuk pintu depan dan Syaiful, si perawat pribadi, muncul segera dan membukakan pintu untuk saya. Saya menengokkan kepala ke kanan dan bertanya singkat pada Syaiful, “Di mana?” Suara percakapan itu ada di arah kiri, dari arah ruang tamu yang sama seperti ruang makan, juga dipenuhi lukisan Hendra Gunawan dan benda seni rupa. Dan saya kemudian ketahui dari si empunya langsung bahwa semua benda seni yang dipajang di sana adalah replika semata. Taktik pengamanan yang cerdas karena tidak ada yang tahu di mana ia menyimpan yang asli.
Saya datang agak terlambat memenuhi panggilan atasan saya siang itu karena taksi yang sempat salah rute. Abun, yang saya belum tahu nama dan reputasinya saat itu, menumpukan kedua tangannya ke sofa empuk tempat Ciputra duduk. Keduanya terlibat percakapan intens. Sesekali tawa meledak di antara keduanya. Turut mengobrol pula Sujadi Siswo dari Channel NewsAsia Singapura yang saat itu hendak melakukan syuting wawancara singkat untuk melengkapi tayangan acara anugerah Lifetime Achievement Luminary Award 2013 di Singapura tanggal 26 Maret 2013. Abun diundang sebagai jurnalis yang mewakili Kompas. Sementara di sisi lain sofa, tak terlalu jauh dari Ciputra, duduk dengan sesekali tersenyum lebar Bayu Widagdo, jurnalis Bisnis Indonesia. Wartawan dari Tempo belum hadir, dan memang hingga pertemuan berakhir ia tak sempat menunjukkan batang hidungnya. Sesaat setelah saya duduk, muncul Yeri Vlorida dari Indopos, surat kabar pimpinan menteri BUMN Dahlan Iskan.
Saat itu saya baru sadar bahwa Ciputra tak hanya pantas menyandang sebutan “Begawan Properti” tetapi juga “Begawan Pers” di negeri ini. Mungkin ia bukan satu-satunya pemilik atau pendiri media-media massa besar Indonesia tetapi setidaknya ia memiliki andil yang signifikan dalam membesarkan sejumlah media.
Satu hal yang saya tangkap dari lelucon santai tetapi serius dari Ciputra dan Abun siang itu ialah kesediaan dan kemampuan mereka untuk tetap bertukar pendapat, mengkritik opini lainnya sembari berkelakar dan tak meninggalkan rasa sakit hati. Terlihat menyenangkan dan terbuka bagi saya yang lebih suka mengamati cara mereka berkomunikasi. Ciputra yang berpandangan lebih idealis bersikukuh membela Tempo yang ia turut dirikan. Menurutnya, tak banyak jurnalis yang mau menempuh jalan menguak kebenaran yang disembunyikan banyak orang yang memunculkan risiko dan bahaya bagi diri dan orang-orang yang mereka kasihi. “Tapi bukan berarti saya mau jadi wartawan Tempo,” canda Ciputra. Memang setuju dan menyatakan dukungan bukan berarti harus terjun dan menjalani jalan kehidupan yang sama.
Abun menanggapinya dengan lebih pragmatis. Saya ingat ia berkata sebagai respon atas dugaan penyebab Tempo begitu banyak dirongrong banyak pihak dari dulu hingga sekarang (ditambah dengan aksi kekerasan yang menimpa kantor mereka),” Kalau hanya satu dua yang merasa tersinggung dan protes, itu wajar. Tapi kalau semua orang merasa begitu, itu tidak wajar.” Namun, sekali lagi Abun menganggap perdebatan itu sebagai sebuah intermezzo dalam negeri yang menganut asas kebebasan berpendapat. Sifat keras kepala yang sangat khas wartawan. Penuh sindiran, ironi, satir dan lelucon yang saling bercampur kental hingga tak diketahui lagi batasnya. Dan ia menertawakan ucapan Ciputra yang mendukung Tempo tetapi tidak mau menjalani kehidupan seperti wartawan Tempo yang riskan. Kini ia membuat Ciputra sama pragmatisnya dengan dirinya.
Sebagai pewarta yang sudah tergolong senior dan mendekati masa pensiun, Abun selalu disindir Ciputra untuk segera memulai berwirausaha. “Ayo Abun. Semua orang bisa, tinggal kemauan dan tekad saja. Tidak ada kata terlambat,” saran Ciputra pada pria yang pernah menjabat sebagai wartawan kolom ekonomi, Wakil Kepala Desk Metropolitan, Wakil Editor Desk Hukum Kompas, dan Direktur Bisnis Kompas. Abun tersenyum simpul.
Berkali-kali bentuk tubuh Abun yang tambun menjadi sasaran empuk Ciputra. Ciputra memang dikenal sangat memperhatikan kesehatan, dan merasa berkewajiban mengingatkan dengan segala cara bahwa kelebihan berat badan adalah sumber penyakit yang harus diberantas.
Sempat Ciputra membandingkan bentuk badan Abun dengan saya. “Saya masih ingat. Dulu saat kamu masih baru (*pen – sebagai wartawan), badan kamu masih seperti dia,” ujar Ciputra sembari menunjuk saya. Kami semua tergelak. Saya setengah tak percaya: rasa setengah tak percaya yang pertama bahwa Abun pernah sekurus saya yang hanya 46 kilogram dan setengah tidak percaya sisanya bahwa bentuk badan saya suatu saat nanti bisa saja berubah seperti beliau. Buru-buru saya hapus yang kedua sambil berdoa,” Jangan ya Tuhan. Terlalu berat.” Usia Abun hampir dua kali umur saya. Begitu pula berat badannya.
Abun pertama kali keluar negeri bersama Ciputra di Hawaii. Entah tahun berapa, saya kurang tahu. Namun, yang jelas keduanya tampak sangat mengenal sejak lama. Karakter Abun yang percaya diri dan banyak cakap membuatnya tak terlihat seperti wartawan baru yang pertama kali diajak ke luar negeri, kata Ciputra.
Abun pribadi yang usil tetapi menyenangkan. Saya masih ingat saat saya buru-buru menyusuri jalan sempit di antara deretan kursi pesawat kelas ekonomi yang kami sama-sama tumpangi Rabu pagi tanggal 26 Maret 2013, ia berpura-pura tertidur pulas dan menjulurkan tangannya menutup jalan. Hampir saja saya meledak emosi melihat ada lengan besar seseorang menghalangi saya untuk segera melampiaskan ‘panggilan alam’. Sebelum saya sempat menyentuh lengan itu, si empunya terbangun, menampakkan mukanya, menyeringai dan segera mengangkat lengan yang diameternya lebih besar dari betis saya. Karena saya pikir orang asing, saya sudah siap-siap pasang muka serius dan kencang, tetapi begitu tahu itu Abun, saya ikut terkekeh. Hanya 1-2 detik, dan saya kembali fokus melesat ke toilet untuk menumpahkan isi kandung kemih.
Percakapan saya dengan Abun yang paling berkesan ialah saat kami bersantap pagi di beranda samping Hotel Fullerton yang menghadap sungai dan diapit 2 jembatan. Burung-burung gagak berbulu hitam dan berparuh panjang dan runcing terbang ke sana kemari mencari kesempatan mematuki makanan sisa di piring-piring keramik putih yang lebar dan mangkuk penuh biskuit dan buah-buahan kering atau makanan lain yang tak kalah mengundang selera. Pagi itu seperti biasa saya mencari-cari tempat yang bagus untuk berfoto sebentar. Dan pemandangan di sungai yang disirami sinar matahari begitu memukau dan sayang untuk dilewatkan. Sekonyong-konyong, gerimis turun saat makan pagi itu. Kami panik mencari tempat bernaung. Dan akhirnya aku menyingkir ke meja yang sama tempat Abun sedang bersantap. Pilihan menunya cukup berat, berupa roti, crackers, daging, mentega dan lainnya yang terlihat sedikit menggunung. Punya saya juga menggunung, tetapi terdiri dari buah-buahan segar dan kering, salad, dan sejenisnya. Begitu ‘tamaknya’ saya dengan buah sampai saya sisihkan 3-4 buah berupa pir, jeruk dan apel untuk dimakan saat siang.
Berfoto dengan pose normal terlalu membosankan lalu saya memutuskan sedikit menambahkan unsur yoga dalam pose saya. Saya angkat satu kaki hingga mendekati kepala lalu tersenyum ke kamera ponsel yang dioperasikan teman lain. Setelah puas, saya kembali ke meja makan. Abun masih asyik dengan santapannya.
Ia menyaksikan saya berpose gila dari tadi dan memuji, “Hebat…kamu hebat.” Saya mengucapkan terima kasih dan tersenyum padanya sambil masih berdiri di samping meja makan.
“Dulu istri saya juga latihan yoga lho,” ungkap Abun.
“Oh ya pak? Berapa lama? ” tanyaku antusias, menundukkan kepala sedikit siap mendengar kisah istrinya. Cerita yang keluar dari mulut seorang pewarta pasti terkesan lebih seru.
“Cukup lama. Dia latihan teratur,”ceritanya singkat. Saya mengerjapkan mata, masih mengharap kelanjutannya.
Penasaran dan tak sabar karena jeda yang aneh dan membuat kikuk ini, saya bertanya, “Istrinya kerja di mana, pak?”
Raut muka Abun pun mendadak serius. Saya ikut tegang. “Istri saya sudah meninggal,” katanya mengenang peristiwa kematian alm. Anita bulan Maret 2009. Jika saya tak salah ingat perkataan Abun, almarhumah istrinya meninggal karena keganasan kanker ovarium yang sudah menjalar ke berbagai organ tubuh lain.
Kuberanikan diri bertanya,”Apakah karena (faktor) keturunan, pak?”
“Tidak juga. Tidak ada anggota keluarganya yang begitu setahu saya,” jawabnya.
Pandangan matanya kosong. Jiwanya seperti terserap ke alam lain. Kedua bola matanya diam, tetapi tidak mengamati secara khusus apapun yang terhampar di depannya. Sungai nan bersih, pepohonan yang lebat dan hijau dan langit Singapura yang bersih dan cerah di depannya seperti tak sanggup menghiburnya. Pun makanan lezat yang baru saja ia telan dan sebagian masih tersisa di piring lebarnya. Mulutnya berhenti mengunyah.
Saya cuma bisa berdiri di depannya, mengamatinya. Gamang untuk berkata-kata. Saya tak mau salah ucap.
Waktu serasa berhenti, sampai ia kembali berucap, “Orangnya baik sekali…”
Saya tetap berdiri tegak dan diam mempertahankan ekspresi muka netral tetapi tetap simpatik padahal sebenarnya emosi mulai bergetar dan runtuh di dalam. Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan kalau sampai Abun terisak-isak di sini? Dan yang tak kalah penting, bagaimana kalau saya juga larut dan ikut mengharu biru di depan sejumlah pengunjung hotel yang masih makan pagi? Ah, siapa peduli! Mungkin itu tak lebih penting daripada menemani dan mendengarkan apa yang ingin ia curahkan.
Ingin memeluknya atau sekadar menjabat tangan besarnya itu. Saya takut baginya itu terlalu overacting. Di saat kritis seperti ini saya agak membenci diri saya yang bahkan begitu pemikir dan banyak pertimbangan. Saya bukan orang yang terlalu ekspresif dan spontan. Apalagi kami baru beberapa hari mengenal.
Pembicaraan kami berhenti begitu saja. Pelayan hotel mengumumkan ditutupnya buffet beberapa menit lagi dan semua harus dibereskan. Gerimis berhenti. Namun awan tipis masih menggantung rendah. Entah sampai kapan. Lalu kami masuk hotel, berkemas untuk kegiatan berikutnya.
Satu kejadian lucu saat mengunjungi “Gardens by the Bay” di Singapura terjadi saat Ciputra yang terkesima dengan bentuk pohon baobab tiba-tiba menarik tangan Abun yang masih kelelahan mengitari taman buatan yang luas itu dan mengajaknya berfoto dengan latar belakang pohon langka itu. Bentuknya memang persis bentuk tubuh Abun, menggembung di bagian tengah. Kami tertawa bersama dan mengambil gambar keduanya.
Sampai di Indonesia, kami belum pernah menghubungi satu sama lain kembali. Dan baru Senin kemarin (8/3) saya dari teman kerja mengetahui kabar bahwa beliau meninggal Kamis sebelumnya (4/3). Siapa yang tak kaget?
Selamat jalan Pak Abun Sanda. Semoga semua kerabat dan teman yang kautinggalkan tabah terutama kedua anakmu yang sudah jadi yatim piatu di usia belia.
Leave a Reply