Apa Itu Yoga? *

B.K.S. Iyengar
B.K.S. Iyengar (Photo credit: Wikipedia)

Kata “yoga” berasal dari kata Sansekerta “yuj” yang berarti menyatukan, menggabungkan, menempelkan dan mengikat, untuk mengarahkan dan memusatkan perhatian seseorang pada, menggunakan dan menerapkan. Kata ini juga bermakna kesatuan dan persatuan. Inilah penyatuan sejati antara kehendak manusia dan Tuhan. “Dengan demikian yoga berarti,” ujar Mahadev Desai dalam pengantar Gita menurut Gandhi,”penyatuan semua kekuatan dalam tubuh, pikiran dan jiwa kepada Tuhan; artinya pendisiplinan akal budi, pikiran, emosi, kehendak, yang disyaratkan dalam Yoga. Maknanya ialah sikap tenang dalam jiwa yang memungkinkan seseorang untuk memahami kehidupan dalam segala aspeknya secara merata.’

Yoga merupakan salah satu dari 6 sistem ortodoks filosofi India. Yoga disistematisasi dan dikompilasikan oleh Patanjali dalam Yoga Sutra yang terdiri dari 185 pepatah singkat. Dalam pemikiran India, semua hal bermual dari Jiwa Universal Maha Tinggi yang disebut sebagai “Paramatma” atau Tuhan. Dari sini jugalah jiwa manusia (jivatma) berasal. Sistem yoga juga demikian karena mengajarkan cara-cara agar jivatma dapat disatukan dengan Paramatma  dan menuju “moksa” (pembebasan yang aman).

Mereka yang menganut Yoga disebut sebagai “yogi” atau “yogini”.

Dalam bab ke-6 Bahagavad Gita yang menjadi acuan terpenting dalam filosofi Yoga, Sri Krishna menjelaskan kepada Arjuna makna Yoga sebagai suatu pembebasan dari sentuhan dengan penderitaan dan rasa sakit. Dikatakan bahwa:

“Saat pikiran, kecerdasan dan pribadi seseorang berada di bawah kendalinya, terbebas dari kehendak yang tak kenal lelah, sehingga semua tadi beristirahat dalam jiwa, seorang manusia menjadi Yukta – satu kesatuan dengan Tuhan. Sebuah lampu tidak berkedip di suatu tempat tanpa ada angin berhembus. Demikian pula dengan seorang yogi yang mengendalikan pikiran, kecerdasa dan pribadinya, terserap dalam jiwa yang ada di dalamnya. Saat kegelisahan pikiran, kecerdasan dan pribadi ditenangkan melalui praktik Yoga, seorang yogi dengan berkah Tuhan dalam dirinya menemukan kepuasan. Kemudian ia mengetahui kebahagiaan yang berada di luar jangkauan indrawi yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Ia menerima kenyataan ini  dan berdiam diri. Ia telah menemukan harta karun yang paling berharga. Tidak ada yang lebih berharga dari ini. Orang yang mampu mencapainya tidak akan terganggu oleh penderitaan yang paling hebat sekalipun. Inilah makna sejati Yoga – sebuah pembebasan dari sentuhan dengan penderitaan dan rasa sakit.”

Seperti sebuah permata yang memiliki banyak sisi, setiap sisinya memantulkan warna chaya yang berbeda, begitu juga dengan kata yoga, setiap sisinya mencerminkan pantulan makna yang berbeda dan menunjukkan aspek yang berbeda dari seluruh upaya manusia untuk mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan dalam dirinya.

Bhagavad Gita juga memberikan penjelasan lain mengenai istilah yoga dan menekankan pada Karma Yoga (Yoga dengan berbuat). Dikatakan: “Bekerja sendiri merupakan sebuah hak istimewa, bukan hasilnya. Jangan pernah menjadikan hasil dari tindakan kita sebagai tujuan utama; dan jangan pernah berhenti bekerja. Bekerjalah atas nama Tuhan, abaikan kehendak diri yang egois. Jangan sampai terpengaruh oleh keberhasilan atau kegagalan. Keseimbangan inilah yang dinamakan dengan Yoga.”

Yoga juga digambarkan sebagai kebijaksanaan dalam bekerja atau kehidupan yang terampil di antara kegiatan, keserasian dan keseimbangan.

‘Yoga bukan untuk mereka yang serakah, bukan juga bagi mereka yang terlalu pelit. Yoga bukan diperuntukkan bagi mereka yang tidur berlebihan dan mereka yang terjaga sepanjang waktu. Dengan menggunakan  keseimbangan antara makan dan istirahat, dengan pengaturan dalam bekerja dan dengan penyesuaian antara keadaan tertidur dan terjaga, Yoga melawan semua rasa sakit dan penderitaan.”

Kathopanishad menggambarkan Yoga:” Saat semua indra menjadi tenang, saat pikiran beristirahat, saat kecerdasan terdiam, maka kebijaksanaan akan mencapai tingkat tertingginya. Kendali penuh terhadap indra dan pikiran didefinisikan sebagai Yoga. Orang yang mencapai keadaan ini akan terbebas dari delusi.”

Dalam peribahasa kedua bab pertama Yoga Sutra, Patanjali menggambarkan Yoga sebagai ‘chitta vrtti nirodhah’. Ini dapat diterjemahkan sebagai pengendalian (nirodhah) dari modifikasi (vrtti) mental (chitta) atau sebagai penekanan (nirodhah) dari pasang surutnya (vrtti) kesadaran (chitta). Kata chitta menunjukkan pikiran dalam pengertian keseluruhan atau kolektif sebagai sesuatu yang tersusun dari 3 kategori berikut: (a) pikiran (manas, yaitu pikiran seseorang yang memiliki kekuatan dan kemampuan perhatian, pemilihan dan penolakan; itulah kemampuan pikiran yang penuh keraguan yang berfluktuasi; (b) kecerdasan atau akal budi (buddhi, yaitu kondisi penuh kesadaran yang menentukan perbedaan antara banyak hal) dan (c) ego (ahamkara, yang dapat diartikan secara harafiah sebagai penyusun Pribadi, kondisi yang menegaskan bahwa ‘Saya tahu’).

Kata vrtti berasal dari kata Sansekerta vrt yang berarti mengubah, memutar, menggelinding. Maka dari itu, kata ini bermakna perjalanan tindakan, perilaku, moda dari keadaan mental, kondisi atau keberadaan. Yoga ialah metode yang menenangkan pikiran yang gelisah dan mengarahkan energi menuju saluran yang konstruktif. Bak sebuah sungai besar yang saat dibendung dengan baik oleh bendungan dan kanal menciptakan sebuah waduk besar, mencegah wabah dan memberikan kekuatan yang begitu besar bagi industri; demikian pula pikiran, saat dikendalikan, pikiran memberikan sebuah penampungan kedamaian dan menghasilkan energi yang melimpah bagi penguatan manusia.

Masalah pengendalian pikiran ini tidak gampang, seperti yang dijelaskan dalam dialog berikut di bab keenam Bhagavad Gita, Arjuna bertanya pada Sri Krishna:

“Krishna, kau telah mengatakan padaku mengenai Yoga sebagai suatu penyatuan dengan Brahma (Jiwa Universal) yang selamanya satu. Namun bagaimana bisa ini berlangsung selamanya karena pikiran begitu gelisah dan tidak konsisten? Pikiran begitu susah dikendalikan dan ‘keras kepala’, kuat dan penuh kehendak, sama susahnya untuk menangkap angin.” Sri Krishna menjawab:”Tak diragukan lagi, pikiran begitu resah dan susah dikendalikan. Namun ia dapat dilatih dengan berlatih terus menerus (abhyasa) dan dengan kebebasan dari kehendak (vairagya). Seorang manusia tidak bisa mengendalikan pikirannya akan merasa kesulitan dalam mencapai penyatuan dengan Pencipta; tetapi manusia yang mampu mengendalikan dirinya dapat mencapainya jika ia mencoba keras dan mengarahkan energinya dengan cara yang benar.”

*) Diterjemahkan dari bab 1 “Light on Yoga” tulisan B. K. S. Iyengar

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.