Rumah kami ada di jalan Ksatria. Tidak seperti namanya yang gagah dan agung, jalan ini sempit untuk ukuran lalu lintas kota besar. Orang sering mengumpat, merengut dan bersumpah serapah karena semrawutnya lalu lintas. Toh kami tetap bertahan di sini.
Kata orang dulu di sini sebelum ada jalan besar ini, hanya ada rawa-rawa dan tanah pekuburan. Siapa sangka beberapa dekade kemudian daerah rawa dan makam nan sepi ini jadi pusat bisnis negara. Kami sebagai warga kulit kuning dengan bangga memandang itu sebagai bagian dari prestasi bangsa, meski kami hanya sebagai penonton. Penonton pasif yang tetap melarat di tengah deru pertumbuhan jumlah gedung pencakar langit dan jalan layang. Dan kami tetap di sini.
Jalan layang itu bertengger angkuh di depan rumah kusam kami. Tingginya dua kali lebih pucuk atap kami. Siang malam kami tak bisa tidur. Asap kendaraan yang berterbangan saat macet, bunyi klakson bus kota, dentuman backhoe yang menghunjam bumi sepanjang proses pembangunan bertahun-tahun. Tetapi kami bersikukuh, kami tidak akan tersingkir dari sini.
Rumah kami bak orang tua kerdil dekil. Rumah ini sekaligus menjadi toko. Bukan toko yang besar. Kami hanya menjual suku cadang televisi, radio, berbagai jenis peralatan listrik rumah tangga. Tak banyak pelanggan yang mampir. Bisnis kami hampir mampus, semua karena jalan layang keparat. Sejak proyek pembangunan jalan layang dimulai, tak pelak bisnis kami yang sudah kecil ini makin menyusut. Jalan memang makin ramai. Makin banyak orang lalu lalang di depan toko kami. Tapi apalah gunanya jika mereka tidak mau mampir. Setelah jalan diperlebar, kendaraan makin ramai tetapi mana mau orang mampir ke toko yang tidak memiliki lahan parkir?
Itulah nasib kami, pasangan tanpa anak penjaga toko “Sinar Bahagia” yang makin lama makin redup.