Lalu lintas ramai seperti biasa di kawasan pusat bisnis itu. Rasanya semua orang tumpah ruah di sana pada pukul 6 petang, selepas jam kerja. Penuh sesak terutama di jalan yang meskipun sudah diperlebar tetap terasa sempit saja. Bekas perlebaran itu masih terlihat. Rumah-rumah milik warga keturunan yang berada di sekitar ruas jalan menjadi saksinya. Bagian depan rumah mereka makin mundur saja. Luas rumah yang tak seberapa ditambah lagi terkena proyek pelebaran jalan dengan ganti rugi yang ‘apa adanya’ seperti bauh simalakama. Dalam waktu kurang dari 1 dekade luas lahan rumah warga, suka tidak suka, harus direlakan terpangkas oleh pelebaran jalan. Salahkan kemajuan ekonomi saja, jangan kami yang tak punya banyak harta dan cuma mau bertahan di sini, pikir mereka. Selama itu juga warga sepanjang ruas jalan harus menanggung derita. Lalu lintas yang makin ramai sungguh menyiksa. Tetapi itu awalnya. Akhirnya sekarang mereka lebih terbiasa. Bukan menikmati, hanya terbiasa. Keduanya sering disalahartikan. Penduduk kota kejam ini sudah banyak mematikan sensor kenikmatan sejati dalam kehidupan mereka. Tak mengapa, asal mereka bisa gadaikan dengan gemerlap jenis nikmat lain yang lebih fana. Mereka sudah mematikan sensor rasa itu, entah itu disadari atau tidak, karena jika dihidupkan kembali akan sangat merepotkan diri mereka sendiri setiap saat. Seperti seekor anjing pengendus narkotika yang biasa digunakan di bandara, yang terkurung di sebuah gudang persediaan ganja raksasa. Sangat melelahkan untuk terus menerus menyalak dan menggonggong panik karena di sekelilingnya, semuanya, berserakan ganja. Suatu saat ia akan kelelahan dan diam. Bisa berarti memilih untuk memafhumi kondisi atau mencari taktik jitu memberitahukan pada sang majikan letak penyimpanan ganja yang gila-gilaan itu. Atau memilih mengunyah daun ganja kering di sekitarnya dan tidur-tiduran sembari ‘fly’ untuk merayakan kebabasan dari beban kerja sebagai anjing di pintu pemeriksaan bagasi bandara yang sangat memakan tenaga dan penciuman.
Tapi Suryanto tak punya waktu untuk berpolemik tentang apakah ia harus memelihara atau mematikan saja sensor kenikmatan hakiki itu. Ia harus meluncur segera ke suatu tempat sekarang. Taksi GS41925 yang ia kendarai bergerak maju perlahan dengan lamban. Kecepatan 5 km per jam. “Sial”, umpatnya dalam hati walaupun tak ada penumpang,”Bagaimana bisa sampai di sana tepat waktu?!” Beberapa saat sebelumnya ia diinstruksikan untuk mengangkut penumpang pada pukul 18.30.” Tinggal 7 menit lagi,” gumamnya gugup. Ia gugup bukan karena masih baru dalam bekerja sebagai sopir taksi di kota acak adut ini. Suryanto sudah menjalani kehidupan ini bertahun-tahun, tak ingat lagi ia tepatnya kapan. Namun satu yang ia masih ingat saat itu adalah rengekan anaknya yang baru lahir, masih merah terbungkus kain di ranjang mungil bersama istrinya yang lunglai, baik karena proses melahirkan dan kuitansi tagihan rumah bersalin. Keduanya sehat, hanya sedikit kurang makan. Pekerjaan sebagai karyawan toko alat listrik terlampau sedikit untuk dijadikan sandaran hidup keluarga kecilnya. Kesempatan menjadi supir taksi datang begitu seorang tetangga dekat mengajak. Tergiur uang untuk menghidupi anak dan istrinya, ia mengucapkan selamat tinggal pada profesi lamanya. Nano, anaknya sekarang sudah berusia 10 tahun, dan masih suka menangis. Bukan karena lapar tetapi merajuk ingin dibelikan PlayStation seperti milik Roni temannya. Suryanto tak bisa menolak keinginan si anak semata wayang. Istrinya bersungut-sungut melihat secuil perhiasannya di almari lenyap, berpindah tangan ke juru taksir pegadaian di dekat pasar. Semua demi Nano, anak yang ia namai menurut merek permen dengan berbagai rasa. Karena begitulah menurut Suryanto sensasi menjadi orang tua, campur aduk tak karuan. Kadang manis, asin, asam, dan pahit, sekali-kali ingin membelai sayang, lain kali menjambak gemas. Tergantung perilaku Nano saat itu.
Jalan Hayam Wuruk nomor 95B, gumam Suryanto. Ia terlambat 6 menit berdasarkan jam digital di dasbor taksinya. Dan belum ada tanda-tanda sang pemesan taksi. Pintu gerbang bercat putih masih senyap. Buru-buru ia turun dari taksi. Setelah menoleh ke kiri dan kanan, Suryanto segera melesat ke sebuah sudut rimbun tetumbuhan pucuk merah di pinggir jalan. Dalam temaram lampu rumah di sekitarnya, pria itu tak menunda membuka resleting celana panjangnya. Suara gemericik air seni terdengar sedang beradu dengan dinding batubata. Tak peduli air itu memercik ke mana-mana, yang penting lega. Tangannya meraih botol air minum, menyiramkan sedikit air untuk sekadar membersihkan apa yang kotor. Ia berbalik arah, dengan kedua tangan masih sibuk bekerja menutup resleting yang terbuka. Sekonyong-konyong ia melihat perempuan muda berdiri tenang, memandanginya dalam jarak 5 meter tepat di pintu kanan mobilnya. Suryanto terkejut bukan kepalang bukan karena malu terlihat dalam keadaan sehabis buang air kecil secara darurat di selokan gelap depan rumahnya, tetapi karena si calon penumpang itu rambutnya terlampau panjang untuk ukuran manusia.
Leave a Reply