Mengasah Kepekaan Internal dalam Kelas Yoga

Mengikuti kelas yoga membutuhkan banyak hal. Di antara begitu banyak hal tersebut, salah staunya adalah kemampuan untuk menangkap dan mencerna serta mengejawantahkan metafor dan perumpamaan yang mirip bahasa sastrawi. Anda hanya perlu merasakan, membayangkan sejumlah perintah. Perintah-perintah itu tidak bisa Anda laksanakan secara ragawi. Mereka hanya bisa dilaksanakan dalam tataran imajinasi. Visualisasi itulah yang akan membawa pikiran mengembara untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan sekujur tubuh fisik.
Saat mengikuti kelas yoga dengan instruksi abstrak seperti itu tentu saja semua orang pertama-tama merasa frustrasi. Bahkan di kelas-kelas pertama yang saya ikuti dulu, saya sempat kebingungan saat diminta “memasukkan tulang ekor” saya. Saya bahkan tidak tahu menahu letak tulang ekor itu persisnya. Dan yang paling penting: bagaimana memastikan saya sudah “memasukkan tulang ekor” saya (yang tidak boleh dipegang atau diraba di dalam kelas yoga normal)  dengan benar seperti yang instruktur perintahkan pada saya yang masih benar-benar ‘hijau’ dengan dunia yoga?
Frustrasi tidak hanya berhenti di tulang ekor. Ia juga merembet ke pusar (yang katanya harus ditarik masuk saat nafas keluar, yang ternyata susah saya ikuti), ke bokong (saya harus mengencangkannya, padahal bokong saya tidak pernah menggelambir sedikit pun – setidaknya hingga saat ini).
Dari jempol kaki hingga puncak kepala, saya merasa kesal dan, anehnya, malah merasa bersalah saat tidak bisa merasakan sensasi itu dalam tubuh saya. Saya tidak bisa berbohong, makin saya paksa untuk merasakan, semakin saya tertekan dan frustrasi dengan ketidakpekaan saya itu. Lalu muncul prasangka, pemikiran-pemikiran seperti “Payah sekali kamu tidak bisa merasakannya.” Padahal saya juga tahu tidak semua orang di kelas yoga itu memahami instruksi yang abstrak itu. Tetap saja pemikiran itu muncul. Saya menghakimi diri saya sendiri, dan itu lebih melelahkan daripada dihakimi oleh orang lain.
Lalu saya berhenti. Saya lelah untuk terus menghakimi diri sendiri. Saya hanya ingin menikmati apa yang bisa saya nikmati saat itu, di kelas yoga saya. Seakan saya sudah muak dengan sebuah meja yang penuh dengan buku berserakan, lalu saya tinggal membereskannya dengan sekuat tenaga menarik taplak di bawahnya. Seketika itu juga meja itu bersih dari benda apa pun. Dan perasaan lapang pun masuk.
Saya memutuskan untuk tidak memberikan beban dan ekspektasi apa pun pada diri saya saat mengikuti kelas. Bagaimanapun juga itu hanyalah instruksi, panduan. Memandu ke mana? Ke dalam tubuh dan jiwa saya sendiri. Tetapi siapa sebenarnya yang paling mengenal tubuh dan jiwa ini, selain saya? Ya saya sendiri! Jadi bila semua instruksi itu tidak mengena dalam diri saya, jangan terlalu memaksakan. Karena mungkin nanti suatu saat saya bisa mencapai sendiri, tanpa harus ngotot, bersikeras, berambisi untuk menjangkau makna di balik instruksi abstrak yang saya dengar.
Kepekaan itu akan terasah seiring dengan makin intensnya latihan saya. Jadi bersabarlah, kata saya pada diri sendiri. Dan satu lagi, saya perlu melatih diri berhenti menganggap saya satu-satunya di ruangan itu yang tidak memahami, karena semuanya mungkin tidak, bahkan si instruktur sendiri.
Namaste..



Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: