Memasuki sebuah sesi latihan yoga dengan beragam orang yang sebelumnya saya belum kenal mirip dengan masuk ke kelas baru di sekolah baru. Biasanya setiap teman-teman baru ini benar-benar menyimpan kejutan. Ada yang ‘nakal’ mengisengi teman di sebelahnya, ada yang suka bereksperimen dengan dirinya sendiri tanpa memperdulikan sekitar, ada yang lebih suka bercakap-cakap dan tertawa hingga tergelak-gelak, ada yang lebih suka mendekati guru untuk berkeluh kesah dan berkonsultasi, atau berjualan pernak-pernik dan aksesori yoga seperti mat, japamala, dan sebagainya. Semua memiliki gaya dan kepribadian sendiri. Begitu juga saya.
Saya lebih suka diam dan mengamati tingkah polah mereka. Mengamati bagaimana seorang ibu paruh baya bertata rias tipis di depan saya menggelar matras mahalnya dan duduk sedikit membungkuk dengan bahu turun, seorang perempuan muda di sebelah saya yang kurus luar biasa tetapi otot tubuhnya kaku setengah mati akibat kebiasaan dan gaya hidup yang sudah kacau, seorang pria uzur dengan tubuh berat tetapi rapuh yang sepertinya hanya bisa untuk ber-savasana dan vajrasana saja, seorang lelaki muda bertato dengan bangun tubuh khas ‘gym rat’ yang lebih luwes daripada si wanita muda tadi, beberapa anak yang cemberut karena terpaksa hadir dalam kelas yang diikuti orang tuanya yang antusias, dan mahasiswa di usia 20-an yang tiap kali mencoba pose baru akan menampakkan ekspresi muka meringis tetapi tetap kukuh melakukannya demi harga diri di depan teman wanitanya yang mengamati gerak-geriknya.
Tetapi itu semua hanya tampilan luar. Saya menemukan beberapa orang yang usia kronologisnya lebih senior tetapi memiliki badan dan jiwa yang lebih muda daripada anak-anak mereka. Tulang punggung ibu-ibu yang memperhatikan kesehatan diri mereka itu tampak lebih sehat dan postur mereka lebih tegap, yang pada gilirannya membuat mereka terlihat lebih menarik dan muda.
Jadi bukan sebuah pernyataan yang berlebihan, sebagaimana guru-guru saya tidak bosan-bosannya katakan, bahwa tulang punggung itu indikator usia seseorang. Nenek saya menderita skoliosis berat dan tampaknya sudah permanen karena beliau sudah relatif uzur. Sukar, jika tidak bisa dikatakan mustahil, untuk membetulkan posisi tulang punggung beliau yang terlalu banyak membungkuk membawa barang belanjaan yang demikian berat di punggungnya yang tidak begitu lebar. Di masa mudanya ia memang sering berjalan kaki menempuh jarak antara rumah dan pasar di pusat kota, sekitar 5 kilometer lebih, dengan memanggul barang-barang jualan. Bukan jenis kehidupan yang menyenangkan, apalagi jika ditinjau dari aspek kenyamanan hidup abad ke-21, tetapi ia berhasil membesarkan dan menghidupi semua anaknya meski berstatus janda saat itu, bahkan hingga kini.
Dalam yoga, backbend dan forwardbend (serta sidebend) adalah jenis gerakan yang banyak melibatkan tulang punggung, dan saya terus terang sangat suka dengan keduanya karena membuat saya terasa lebih segar setelah duduk membungkuk berjam-jam. Rasanya keseimbangan dalam tulang belakang tercapai begitu selesai melakukan backbend dan forwardbend secara bergiliran. Bayangan saya tentang nenek yang banyak membungkuk menjadi penyemangat saat melakukan backbend dan forwardbend. Saya tidak akan menua dalam keadaan seperti itu.
Masalahnya tulang belakang saya terlalu ‘lemas’. Lekukan di tulang punggung bawah saya terlalu aktif meski saya belum terasa mengaktifkannya. Ini membuat apa yang seharusnya adalah gerakan forwardbend menjadi backbend, meski posisi badan saya melipat ke depan. Inilah yang dipermasalahkan oleh Leslie Kaminoff saat workshop beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, “Anda sebenarnya tidak melakukan forwardbend jika tulang belakang Anda condong ke belakang seperti itu. Begitu juga saat backbend, Anda belum dapat dikatakan melakukan backbend yang sebenarnya jika dada belum mengarah ke depan dan bahu ditarik ke belakang.” Lalu Lesli menceritakan bagaimana murid-murid tipikal yang menjadi contoh kesalahan seperti ini. Seorang peserta yoga yang berlatar belakang balet. Biasanya berjenis kelamin wanita, masih muda, dengan dada membusung dan pinggul menonjol ke belakang seperti ronggeng dukuh Paruk, dada terbuka ke depan. Sangat balet. ‘Aroma’ itu sudah tercium saat ia melangkah ke dalam kelas, kata Leslie. Dengan penuh kebanggaan atas kerja kerasnya untuk mencapai tingkat kelenturan yang luar biasa tersebut, sang penari melakukan paschimottanasana dengan perut langsung menyentuh paha, sementara tulang belakang bagian atas hingga leher dan kepala masih mendongak ke atas, yang membuatnya lebih mirip backbend.
Di ujung spektrum yang sebaliknya, seorang pria penggemar angkat beban masuk dengan postur bawaan membungkuk, mungkin karena otot perutnya begitu kencang tetapi otot punggungnya lebih lemah dan lebih jarang dilatih. Saat ia harus melakukan urdhva hasthasana dengan sedikit backbend, ia masih terlihat menjatuhkan bahunya ke depan meski punggungnya mengarah ke belakang. Padahal ia perlu lebih membuka bahu dan dada agar bagian tubuh depan teregang maksimal.
Singkatnya, bukan hanya tampilannya yang mirip backbend atau forwardbend tetapi apakah secara holistik, secara lengkap, semua dan setiap komponen dalam tulang belakang juga mengikuti dan selaras untuk bekerjasama mencapai posisi backbend atau forwardbend yang diinginkan. Bila belum, saatnya memperbaiki sekarang. Sebelum terlambat.
Backbend atau Forwardbend? Lihat Dulu Tulang Belakang Anda
About Me
A life-long blogger
Leave a Reply