“Gila! Kok, bisa lentur gitu sih? Latihan berapa lama?” “Kok latihan baru (masukkan jumlah bulan atau tahun berlatih yoga), udah segitu lenturnya?” “Aku dah latihan yoga segini lama tapi kok belum selentur itu ya?” “Kamu dari bayi makannya karet ya? Lentur banget.” “Kamu latihan tiap hari ya? Bisa sampai selentur itu?” “Gimana caranya bisa nekuk gitu? Kok gue gak bisa?”
Itulah beberapa pertanyaan yang sering saya temui saat berlatih yoga atau setelah mengunggah foto atau memasang foto profil baru bertema yoga di jejaring sosial. Terus terang saja saya TIDAK TAHU jawabannya. Saya benar-benar tidak tahu, karena meski ini tubuh yang diberikan Tuhan kepada saya, saya tidak memahaminya secara sepenuhnya. Sebelum beryoga, saya tidak tahu saya bisa selentur itu. Jadi jika Anda bertanya pada saya, saya cuma bisa tersenyum simpul dan berkata lirih,”Bawaan orok mungkin…”
Namun, jika saya boleh mengajukan hipotesis sendiri, itu boleh jadi karena anatomi badan saya yang menguntungkan dari segi yoga. Saya tetap tidak bisa menjelaskannya secara ilmiah tetapi ada faktor-faktor yang belum terungkap yang membuat sebagian orang lebih mudah berasana menantang daripada yang lain. Dan faktor ini bukan cuma KURUS atau GEMUKnya seseorang! Saya seringkali mendengar beberapa orang berkaTa,”Ah kamu pasti bisa hanumasana (split), kan kamu kurus!” Tunggu dulu, itu belum sepenuhnya benar! Orang-orang kurus sering diasosiasikan memiliki kelenturan dan daya gerak yang lebih tinggi daripada mereka yang lebih ‘berbobot’. Tidak salah tetapi juga belum bisa dijamin demikian. Adakah orang kurus yang kaku luar biasa? Banyak. Tetapi saat Anda menyaksikan beberapa orang berbadan gempal yang juga cukup lentur dan lincah, Anda mungkin akan berpikir kembali,”Ternyata berat badan juga bukan segalanya.” Jadi kelenturan jangan semata-mata dinilai dari penampilan fisik seseorang.
Lalu kembali ke pertanyaan semula:”Bagaimana caranya agar lebih fleksibel tanpa harus mengalami cedera?”
Kalau saya harus menjawabnya, selain faktor bawaan seperti anatomi tubuh masing-masing, cara yang lain ialah dengan pemanasan dan stretching yang cukup (tidak kurang tapi juga jangan berlebihan).
Dan satu trik lagi yang baru saya ketahui dari Didot teman saya sesama yogi pagi ini, yang mengatakan ia menggunakan minyak angin dan param kocok untuk memanaskan ototnya sebelum berlatih. Tujuannya agar otot lebih cepat panas dan akhirnya lentur, sehingga akan lebih mudah mencapai asana-asana yang menantang dan membutuhkan kelenturan otot dan sendi di luar kewajaran manusia.
Itulah mengapa saya suka menghindari beryoga dengan pendingin ruangan yang bekerja maksimal. Saya beralasan suhu dingin membuat otot lebih dingin dan susah dipanaskan, padahal jika dingin, ia akan lebih kaku dan susah digerakkan. Murid saya suka AC dan setiap kali saya mengajar saya minta ia memasang suhu setinggi mungkin dengan alasan itu. Jadi ada benarnya juga prinsip bikram (hot yoga). Sepanjang panasnya tidak berlebihan dan tidak membuat kita dehidrasi, mengapa tidak? Tetapi saya sendiri belum mencoba bikram yoga karena beryoga di temperatur ruangan yang normal di negeri tropis seperti Indonesia saja sudah cukup gerah bagi banyak orang.
Akan tetapi yang patut kita ingat adalah dalam berlatih yoga, jangan datang ke kelas dengan pikiran penuh eskpektasi (harapan, target, ambisi), termasuk di dalamnya target untuk lebih lentur saat hanumasana. Karena dengan begitu, kita tidak akan terpacu berkompetisi dengan orang lain, bahkan dengan diri kita. Tak harus selalu lebih baik dari hari kemarin. Bukan masalah jika split kita kurang bagus dibandingkan minggu lalu, mungkin badan kita perlu sedikit istirahat. Pahami itu. Tetapi jika bisa, jangan sampai berlebihan hingga menyakiti diri (himsa). Itulah mengapa saya jatuh cinta pada yoga. Karena yoga bukan competitive sport, seperti senam lantai, meski pada dasarnya keduanya banyak kemiripan. Yoga isn’t about perfection after all. It’s about compassion.
Satu hal yang saya pikir perlu diketahui ialah jangan sampai mendewa-dewakan fleksibilitas fisik sehingga menjadikannya sebagai tujuan utama latihan. Karena seperti sebuah pernyataan yang pernah saya baca, mereka yang lebih kaku sering mengalami risiko cedera jangka pendek tetapi mereka yang lebih lentur lebih rawan pada risiko cedera jangka panjang. “Jadi kita harus bagaimana?” Mungkin begitu pertanyaan Anda. Cukup berlatihlah dengan semampu kita, yang wajar, yang normal, tanpa terlalu memaksakan. Dan karena standar normal itu berbeda-beda antarmanusia, temukan sendiri titik kewajaran Anda. Jangan jadikan orang lain patokan pasti apalagi harga mati untuk diikuti.
Namaste…
Leave a Reply