Mengumpulkan kalimat-kalimat yang paling layak dijadikan kutipan sungguh mengasyikkan. Saya bisa menghabiskan waktu cuma untuk membaca, merunut alur pikir pengarang dan merasakan kesan setiap baris kalimat dalam pikiran dan perasaan sembari menggarisi buku semau saya (suatu sensasi yang tidak bisa digantikan dengan hanya memberi ‘bookmark’ pada halaman di layar ponsel).
Berikut kutipan dari 1Q84 jilid pertama:
1
“”Satu hal lagi,”kata sopir sambil memandang kaca spion. “Harap ibu ingat, segala sesuatu berbeda dari penampilannya.”” (Hal 11)
2
“…”Tapi jangan sampai tertipu penampilan. Kenyataan selalu ada satu.””(Hal 12)
3
“[…] Pengarang unggul hanya ada dua tipe. Bisa pengarang yang memiliki bakat alam untuk menulis dengan bagus atau yang berhasil menulis dengan bagus setelah berusaha mati-matian.” (Hal 28)
4
“[…] Suka menulis adalah kualitas yang lebih penting daripada apa pun bagi orang yang ingin menjadi pengarang.” “Tapi suka menulis saja tidak cukup.”
“Tentu. Itu saja tak cukup. Harus ada ‘sesuatu yang istimewa’. Dalam novel, lebih dari apa pun, aku mementingkan sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa kupahami. Aku sama sekali tidak tertarik pada sesuatu yang kupahami betul.” (Hal 29)
5
“Ketajaman batin tidak pernah lahir dari lingkungan yang nyaman, demikian yang diyakini Komatsu.” (Hal 30)
6
“Baginya, mengarang itu sama seperti bernapas.” (Hal33)
7
“Manusia itu sulit dimengerti, pikir Tengo sungguh-sungguh.” (Hal 36)
8
“”[…] Aku ingin memperdaya sistem dan mengentutinya. Bukankah itu menyenangkan?”” (Hal 40)
9
“[…] Nah, itulah bedanya sastra dan saham. Biar bagaimanapun, dalam sastra motivasi yang melebihi uang, entah itu baik atau buruk, menggerakkan berbagai hal. […]” (Hal 45)
10
“”[…] Aku di sini, tapi aku tidak di sini. Aka ada di dua tempat sekaligus.”[…]” (Hal 63)
11
“[…] Biar bagaimanapun, bagian awal adalah bagian yang tersulit dan paling merepotkan. ” (Hal 216)
12
“[…] Kalau berada di pihak mayoritas yang mengucilkan, bukan pihak minoritas yang dikucilkan, siapa pun merasa lega. Oh untunglah bukan aku. […] Kalau menjadi bagian dari mayoritas, tidak perlu memikirkan banyak hal yang tidak enak. […] Tapi kalau berada di lingkungan minoritas, mungkin juga menjadi yang mampu menggunakan otak sendiri.”” (Hal 121-122)
13
“”Baru kali ini ada anjing German shepherd suka makan bayam.” “Dia tidak menganggap dirinya anjing biasa.”
“Dia anggap apa dirinya?”
“Sepertinya dia menganggap dirinya makhluk istimewa yang melampaui kategorisasi.” “Anjing super?”
“Barangkali.”” (Hal 129)
14
“Pada tanggal 20 September, lomba layang-layang yang terbesar di dunia diselenggarakan di Jakarta, dan lebih dari 10.000 peserta menerbangkan layang-layang.”(Hal 170)
Catatan: Nama Jakarta disebut dalam novel terkenal ini!
15
“”[…] Tetapi seperti yang pasti Anda ketahui juga, di dunia ini ada banyak orang yang menginginkan dan mencari keadaan serupa mati-otak. Hidup dalam keadaan seperti itu jauh lebih gampang. Tidak perlu susah-susah berpikir, tinggal menjalankan perintas atasan tanpa menyangkal. […]”” (Hal 202)
16
“”Dengan kata lain, ketika dunia kiamat, apakah rasanya seperti ketika buah pelir ditendang sekuat tenaga?”” (Hal 214)
17
“”Perasaan tak berdaya yang sudah menjadi kebiasaan itu merusak dan menghancurkan banyak orang.”” (Hal 220)
18
“Tubuh manusia adalah tempat suci. Apa pun yang disembahyangi di situ, tempat suci itu harus dipelihara agar menjadi sekuat mungkin, seindah mungkin dan sebersih mungkin.” (Hal 223)
19
“”Mumpung masih muda, kau harus menikmati itu. Nikmati sepuas-puasnya. Setelah menjadi tua dan tidak bisa melakukan itu lagi, kita terpaksa menghangatkan tubuh kita dengan kenangan masa lalu.”” (Hal 265)
20
“Biar bagaimanapun, tempatku yang sebenarnya bukan di sini, Tengo meyakinkan dirinya sendiri.” (Hal 293)
21
“Memang membaca novel pun merupakan sebentuk pelarian. Ketika halamannya ditutup, dia terpaksa kembali ke dunia nyata. Namun pada suatu saat, Tengo sadar bahwa ketika kembali ke dunia nyata dari dunia novel, dia tidak begtiu merasakan keputusasaan sedahsyat ketika dia kembali dari dunia matematika. Mengapa begitu? […] Di hutan cerita, betapa pun jelasnya kaitan antara segala sesuatu, takkan ada solusi pasti. Itulah bedanya dari matematika. […] Tengo kembali ke dunia nyata dengan mengantongi petunjuk itu. Petunjuk itu ibarat secarik kertas bertuliskan mantra yang tidak bisa dipahami maknanya. Kadang kala petunjuk itu tidak memiliki logika, tidak bermanfaat secara langsung dan secara nyata. Namun dalam petunjuk itu terkandung kemungkinan. Mungkin, pada suatu hari nanti, dia akan berhasil memecahkan rahasia mantra itu. Kemungkinan itu menghangatkan lubuk hati Tengo yang terdalam.” (Hal 296)
22
“”[…] Tetapi perasaan yang murni dan sejati adalah hal yang membahayakan juga. Bagi manusia yang hidup di dunia nyata, terlampau sulit untuk menyimpan perasaan seperti itu dalam dirinya.””(Hal 309)
23
“[…] Pokoknya, manusia itu sekadar kendaraan bagi gen, sekadar jalan yang dilewatinya.” (Hal 357)
24
“[…] Sepanjang memiliki wujud nyata yang bisa dilihat dan dipegang, tak satu pun di dunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang.
[…] Punya uang sebanyak apa pun, tetap ada yang tidak bisa dibeli, pikir Aomame. Misalnya, bulan.” (Hal 409)
25
“[…] Yang paling diinginkan Tengo hanyalah waktu yang tenang dan bebas. […] Berkenalan dengan wanita seusianya, jatuh cinta, berhubungan seks dan dibebani tanggung jawab yang tidak dapat dihindarkannya dari hubungan itu – proses semacam itu tidak diminatinya. Tahap-tahap psikologis yang harus dilalui, isyarat tentang kemungkinan, bentrokan pendapat yang tak terhindarkan… Tengo berharap tidak terbebani oleh rangkaian kerepotan semacam itu.
Konsep kewajiban selalu membuat Tengo takut dan berusaha menjauhinya.” (Hal 420)
Leave a Reply