Kita selama ini sering disuguhi dengan berbagai uraian yang meyakinkan agar mau melakukan yoga secara rutin. Betul bahwa yoga memang bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga. Ia berguna bagi mereka yang mendambakan ketenangan spiritual, kebugaran fisik di masa paruh baya dan senja, atau sekadar bersenang-senang di waktu senggang. Yoga bisa dilakukan di mana saja, selama Anda masih bisa bernafas, demikian kata seseorang yang pernah saya dengar.
Akan tetapi belum ada, atau belum banyak, yang berani menyarankan mengapa kita harus berhenti beryoga. Terlepas dari preferensi pribadi dan isu sensitif yang berkaitan dengan keyakinan, ada banyak hal yang mengapa seseorang perlu berhenti, entah sejenak atau seterusnya, untuk melakukan yoga.
Topik ini seolah tidak pernah tersentuh, sepanjang pengetahuan saya. Seorang teman dari negeri seberang pernah menanyakan ini dalam perkenalan tatap muka kami yang singkat, “Mengapa orang berhenti beryoga?” Dan saat itu, saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Saya spontan menjawab,”Mungkin orang perlu berhenti dari yoga karena ia sudah muak dengan komersialisme, intrik-intrik persaingan, fanatisme, dan sejenisnya yang ada di dalam yoga.” Saya menjawab demikian karena saya tahu yoga sudah menjadi sebuah industri yang tidak bisa diremehkan potensinya. Miliaran dollar AS bisa dihasilkan dari kelompok orang yang mencandu yoga di seluruh dunia, demikian sekilas saya pernah baca dalam sebuah artikel.
Kemudian saya teringat dengan seorang teman yang sudah lebih dulu berkecimpung di dunia yoga bahkan sudah relatif berpengalaman dalam mengajar, yang juga menempuh langkah yang sama: mundur dari dunia yoga. Ia memutuskan pergi begitu saja, tanpa pamit. Tetapi ia masih berhubungan baik dengan kami, hanya saja tidak lagi di ruang studio yoga, atau dalam percakapan di atas matras yoga, atau dalam diskusi hangat tentang gaya beryoga terbaru dan perkembangan trik mencapai asana tertentu yang sungguh menantang dan banyak orang gagal melakukannya. Ia sudah menganggap lalu semua itu dan menerjunkan diri ke dunia kerja sosial dan amal yang sama sekali lain dan tidak bersentuhan dengan yoga. Sekilas, ia tampak sebagai seorang pengkhianat, prajurit yang desersi dari medan laga tempat ia ditugaskan. Kala itu, saya memang kurang paham alasannya. Namun, kemudian saya sadar itu speenuhnya pilihan pribadi yang bersangkutan. Tidak ada hak yang saya miliki untuk menariknya kembali atau menghakiminya dalam bentuk apapun.
Saya pun mulai melontarkan pertanyaan di jejaring sosial untuk menjaring berbagai pendapat dari teman-teman yang juga kebetulan menekuni yoga, lebih lama dan lebih mendalam daripada saya. Pertanyaan itu adalah:”Kapan dan mengapa seseorang perlu berhenti melakukan yoga?”
Berikut adalah beberapa jawaban.
TELAH ‘TERCAPAI’ TUJUAN BERLATIH YOGA
Stefano, seorang teman, mengatakan semua alasan seseorang berhenti beryoga bisa dirunut dari pangkalnya, yaitu alasan mengapa seseorang memulai berlatih yoga. Ada banyak orang yang memulai yoga karena tergiur iming-iming memiliki keindahan tubuh model cantik seperti Miranda Kerr, tubuh sintal penyanyi Jennifer Lopez, stamina penyanyi pop Adam Noah Levine atau keperkasaan penyanyi gaek Sting. Semua sah-sah saja. Tidak ada yang bisa melarang kita memiliki tujuan berlatih apapun.
Tetapi tujuan inilah yang akan membedakan apakah seseorang benar-benar akan menjadi yogi/ yogini atau hanya seorang penggemar yoga sesaat dan kemudian bosan atau putus asa lalu meninggalkannya.
Jika tujuan kita cuma mencapai aspek fisik, yang didapatkan dari latihan yoga juga semata peningkatan unsur ragawi dalam diri kita. Jika seseorang merasa sudah mencapai tujuannya, tentu saja ia akan berhenti. Perjalanannya akan berakhir begitu apa yang ia cari sudah ditemukan, yang mungkin berupa tubuh yang lebih ramping dan langsing, lengan yang lebih kencang dan kekar karena chatturanga berratus-ratus kali dalam seminggu, atau mampu kayang sedemikian rupa hingga tangan sudah dapat menyentuh kaki. Sebagian dari kita memiliki target-target seperti ini, hal-hal yang bersifat fisik yang menjadi tujuan dalam berlatih.
Lain lagi dengan orang yang ingin mencari ketenangan batiniah dengan yoga. Ia lebih suka bermeditasi, dan meskipun berasana, ia lebih menekankan penghayatan spiritual dalam berasana itu. Atau lebih lama melakukan meditasi dan pranayama daripada berpeluh dalam berbagai asana yang menantang.
Lalu mana yang lebih baik? Mana yang lebih benar? Semua baik dan benar, tergantung pada kebutuhan dan kondisi masing-masing individu. Asal kita sudah merasa nyaman dan mantap dalam berlatih, itu berarti sudah benar bagi diri kita, dan tidak perlu menghakimi dan mencap apa yang lebih baik bagi orang lain dengan mengandalkan pengalaman dan pengetahuan kita karena belum tentu sesuai dengan apa yang mereka alami dan rasakan. Karena beryoga pada substansinya bukanlah penyiksaan diri tetapi seharusnya menjadi arena berekspresi, melepas penat dari kehidupan sehari-hari sehingga bisa menjadi diri sendiri, bukan untuk mencapai standar kesempurnaan yang ditetapkan orang lain.
MELUKAI DIRI DAN ORANG LAIN
Jika berlatih yoga membuat Anda cedera sebaiknya memang Anda berhenti melakukan yoga, terutama dalam artian berasana. Seperti yang dikatakan oleh Anne Kreamer yang sudah beryoga sejak umur 20 tahun dan sekarang sudah berusia senja, bahwa beryoga (berlatih asana) memang perlu penguasaan dan pengendalian diri (baca: ego) yang terlatih.
Lama berlatih yoga bukan jaminan seseorang bisa lebih piawai dalam mengendalikan sang ego. Bahkan seorang guru dengan pengalaman berpuluh-puluh tahun lebih berisiko memiliki ego yang lebih tinggi dari murid-muridnya, karena ia diposisikan sebagai panutan, teladan yang sepatutnya tidak bisa disetarakan atau dikalahkan dengan mereka yang masih awam. Panggilan guru sendiri sudah menjadi risiko membesarkan ego seseorang karena membuatnya bisa melakukan dan berwenang lebih dari yang lain.
Seseorang perlu berhenti melakukan yoga, kata Kreamer dalam tulisannya “What I Learned from Giving Up Yoga” di HuffingtonPost.com, jika sudah merasa tidak mau kalah dari yang lain. Dalam kasus Kreamer, ia merasa lebih dari orang lain yang berlatih dengannya di satu kelas yang sama karena ia sudah melakukan yoga sejak 30 tahun lalu. Ia sudah banyak makan asam garam beryoga. Seiring dengan berjalannya waktu, tubuh Kreamer mulai menua dan menunjukkan keterbatasan. Namun, ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa badannya sudah tidak sebugar dan sekuat tubuhnya dulu saat lebih muda. Dan ego yang terluka ini seolah ditaburi garam dan perasan jeruk nipis saat ia masuk ke kelas yoga yang di dalamnya dipenuhi anak-anak muda yang jauh lebih sehat, lincah, bugar secara fisik. Hingga suatu ketika, ia harus menderita pecahnya pembuluh darah di mata akibat tidak menuruti kata egonya dengan melakukan headstand. Padahal tubuhnya telah menua dan berubah (ia menderita tekanan darah tinggi akibat konsumsi obat dari dokternya) lebih lemah. Di kelas, ia mengaku tidak bisa duduk diam saja menyaksikan semua orang berasana menantang, dan ego itu pun mendorongnya melewati batas. Berkaca dari pengalaman Kreamer itu, mari kita mengevaluasi diri apakah kita sudah melukai diri dan orang lain (Anda bisa melukai orang lain juga, terutama jika Anda seorang guru yoga) saat beryoga? Apakah selama ini dengan beryoga, kita menjadi lebih sehat ataukah malah lebih sakit karena menderita berbagai cedera? Jika memang sudah demikian, bisa jadi guru kita belum sepenuhnya memahami yang kita butuhkan dan kita sudah melakukan yoga dengan cara yang kurang sesuai. ada baiknya berhenti sementara, atau jika sudah merasa cukup, berhentilah beryoga (baca: berasana) dan fokuslah pada aspek lain dalam yoga yang tidak kalah bermanfaat seperti nilai-nilai kebajikan universalnya, meditasi dan pranayama.
PIKIRAN DAN HATI BERHENTI
Saat seseorang menjadikan yoga sebagai rutinitas sehari-hari, ada risiko yoga menjadi sebuah beban baru daripada sarana pelepasan beban. Karena terus menjadikannya sebagai kewajiban dan beban baru dalam kehidupan, seseorang juga bisa merasakan kebosanan, stagnannya semangat, pikiran dan hati dalam beryoga. Bisa jadi karena tidak ditemukannya dinamika, atau kejutan-kejutan baru dalam berlatih.
DIMINTA GURU BERHENTI
Santhip Kanholy, seorang yogi yang saya pernah mintai pendapat melalui Quora.com, mengatakan bahwa seseorang harus berhenti berlatih yoga jika ia memiliki guru yang memintanya secara langsung untuk berhenti berlatih yoga yang diajarkannya. Dengan syarat si guru adalah guru yang sejati, tulus yang memberikan perhatian pribadi dan hanya membutuhkan perhatian publik yang berlebihan untuk keuntungan pribadi dan sudah tercerahkan. Kemudian apapun yang dikatakan sang guru adalah sadhana sang murid, kata Santhip.
EGO SPIRITUAL YANG MENINGGI
Bagi para guru dan murid yoga, risiko ego spiritual mungkin menjadi salah satu bahaya laten yang paling halus dan membahayakan karena tidak terdeteksi dengan mudah. Relatif lebih mudah untuk mengetahui seseorang yang memiliki ego tinggi saat ia berasana daripada seseorang yang tengah diam bermeditasi. Orang lain tidak akan pernah mengetahui apa yang sebenarnya ia pikirkan dalam meditasinya itu. Apakah ia akan mengagumi dirinya sendiri yang sudah terkesan begitu bijak di hadapan para murid? Atau benar-benar menelusuri ke dalam dirinya sendiri tanpa peduli apa yang dipikirkan murid-muridnya? Mungkin tidak akan ada orang yang benar-benar bisa 100% fokus pada dirinya sendiri tanpa peduli opini orang lain, tetapi setidaknya tarikan mana yang lebih kuat dalam diri seseorang, apakah ke keinginan tampil sebagai panutan yang bijak dan sempurna meski palsu atau fokus pada diri dan kebajikan?
Memiliki ego spiritual seperti ini membuat kita merasa lebih paham dan memiliki penguasaan yang lebih baik dari semua orang mengenai yoga dan kita merasa mampu memberikan nasihat dan bimbingan spiritual yang meyakinkan berdasarkan pengalaman yang bisa dikatakan baru sangat terbatas. Biasanya akan ada guru yang terlibat dalam proses itu, tetapi jika Anda pikir Anda tidak mungkin ‘terjangkit’ sindrom ini sampai Anda merasa tidak bersedia berlapang dada menerima kebenaran dan fakta yang benar-benar terjadi di depan mata, dapat dipastikan Anda perlu berhenti beryoga secara spiritual.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencuci bersih diri kita dari ego spiritual semacam ini? Menurut Santhip, kita perlu kembali melakukan ‘seva’ yang membuat kita membumi kembali. Lakukan kegiatan-kegiatan semacam bercocok tanam, membersihkan tempat beribadah, menyumbangkan tenaga dan waktu sebagai relawan untuk kegiatan amal, dan sebagainya. Kemudian setelah kita merasa telah netral dan seimbang dari kesombongan itu, dan saat guru kita sudah melihat perubahan dalam diri kita, sang guru mungkin akan memberikan saran atau nasihat lebih lanjut. Namun jika Anda tidak memiliki guru, begitu Anda melihat bahwa Anda sudah merasakan perubahan dalam hati Anda, akan lebih bagi Anda untuk memulai berlatih kembali dengan cara yang lebih seimbang, daripada melakukan kesalahan yang sama.
MENINGGAL
Ada ungkapan yang menyatakan semua orang bisa beryoga asal ia masih bisa bernapas dengan kedua paru-parunya. Karena itulah, seseorang juga akan berhenti beryoga, jika ia sudah tidak lagi bisa bernapas.
Menurut Anda, apa lagi alasan agar seseorang berhenti beryoga?
Leave a Reply