A Decade of Being a Cell Phone User

I think it has been a decade since the first time I got a cell phone. I knew someone at high school having it. It was, as far as my memory serves right, Motorola product. Bulky, pitch black, dull, rather cumbersome kind of thing with an antenae. It might be some day in 2004, when I was in my junior year at college. My younger sister got one, my father too. But I was not particularly interested in having and using this then-pricey technology product. There were not many people using it, so that was quite useless to have one. I thought I could survive without it, throughout my life. Plus, I knew from the very beginning some health risks the cell phone poses us to. I was, am and will always be cautious about how the use of cell phone changes my life and most importantly my own well being and health.

Still, I got myself one. It was my father who bought me a second-hand Nokia 3315. It was one of the most widely purchased handsets in the country. I can tell you how dull it was. The alphanumeric keypad, narrow monochrome display that was unbeatably boring, thickness that won’t make you impressed. But no one can deny its battery longevity. One of the longest, probably. The Nokia was Internet enabled but I was never thinking accessing the web on such a minute object would be a cool experience.

Then I had another second-hand phone, Siemens (model I forgot completely). The phone was considerably smaller and lighter and it featured polyphonic ringtones, which still had a great selling point in the market. I could access the web through wap. But it was so horrible and expensive, because downloading a few hundred kilobytes might cost me 10,000 rupiahs, which I considered a robbery! The operator charged us based on volume of data, which was said to be 1000/kb. And please don’t complain about the speed. It took me more than 15 minutes to download an audio file which then was sold as polyphonic ringtones. I should say 15 minutes for downloading a file smaller than 100 kb was a record. Crappy and hugely disappointing, I know.

Dari Asean Literary Festival

image

image

image

image

image

image

Anglophilia dalam Sastra, Entrepreneurship dan Yoga

Pertama kali saya mendengar istilah “anglophilia” adalah saat saya duduk di semester 6. Istilah ini merujuk pada kekaguman terhadap budaya dan adat Inggris dan masyarakat Inggris, intinya semua yang berbau Inggris (dan Amerika Serikat, karena secara historis Inggris juga menjadi nenek moyang sebagian warga AS). Saat itu dosen mata kuliah Kritik Sastra memberikan novel untuk dibahas. Novel itu berjudul “The God of Small Things” yang dikarang Arundhati Roy. Novel itu bertemakan kehidupan masyarakat di sebuah daerah di India yang sarat pemujaan dan kekaguman terhadap segala hal yang berbau Inggris (Barat). Seseorang dikatakan terpelajar dan cerdas serta berwawasan luas bila ia mampu menyerap pemikiran ala Inggris dan berprilaku layaknya manusia Inggris, meski pada dasarnya mereka orang India asli dan lahir dan tinggal bahkan mati di India juga.

Indonesia, seperti India dan negara-negara bekas jajahan negara Eropa, juga menderita sindrom serupa. Tidak perlu memiliki kecerdasan yang luar biasa untuk merasakan betapa masyarakat Indonesia masih sangat amat berkiblat pada Barat (AS, Inggris dan Eropa pada umumnya). Kebudayaan Anglo-saxon memang begitu merajalela di dunia dan kita tidak perlu heran. Karena sejak berabad-abad yang lalu, bangsa-bangsa Eropa terutama Inggris sangat maju dalam pemikiran dan agresif mengeksplorasi dunia. Saat saya membaca novel The Signature of All Things karya Elizabeth Gilbert, misalnya, saya makin paham bahwa bangsa Inggris memang sangat mengagumkan (saya juga seorang penderita anglophilia). Mereka sangat berani, penuh strategi, bervisi dan misi yang jauh ke depan, penuh inisiatif, dan mau berkorban (tidak takut sengsara).

Hebat memang, tetapi di saat yang sama juga miris. Bagaimana dengan kita? Budaya kita, bahasa kita, adat istiadat kita?

Dominasi ini selalu tercium di 3 bidang yang saya tekuni saat ini: sastra, entrepreneurship dan yoga.

SASTRA
Jujur saja, saya memilih untuk les bahasa Inggris di kelas 6 SD karena berpikir kemampuan berbahasa Inggris ‘keren’. Berbahasa asing itu penuh prestise. Orang akan kagum pada orang yang lancar berbahasa asing terutama Inggris. Dan itu juga karena bahasa Inggris memberikan nilai jual jika hendak bekerja nanti. Saya akhirnya mantap untuk mengabdikan diri pada bahasa Inggris di usia semuda itu. Tidak ada pelajaran yang membuat saya tertarik begitu hebat selain bahasa Inggris. Tak peduli guru bahasa Inggris saya payah, guru saya galak, atau pengucapannya amburadul, saya masih tetap menyukai bahasa Inggris. Dan saya cuma membayangkan kelak kuliah di jurusan bahasa Inggris, tidak ada bayangan lain. Hanya itu.

Saya tiap malam, sejak usia TK, akrab dengan tontonan Barat yang berbahasa Inggris. Saat kakek menonton Remington Steele yang dibintangi Pierce Brosnan, saya ikut menonton. Sampai habis lewat tengah malam. Lalu ada Melrose Place, Beverly Hills 90210, Full House, Silk Stalking, Little House on the Prairie, dan semua film kartun animasi di sore hari. Semuanya berbahasa Inggris. Tak ada sulih suara alias dubbing. Saya ingat frase yang pertama kali saya pelajari dari serial Bonanza adalah “what’s the matter?” Dan subtitle menunjukkan “Ada apa?”

Semua pengaruh itu meresap dan tertancap hingga saya tanpa ragu memilih jurusan sastra Inggris saat kuliah. Sebenarnya saya juga memilih Hubungan Internasional dengan alasan bisa menjadi diplomat yang nanti juga menggunakan bahasa Inggris saat bekerja. Tetapi untunglah tidak diterima karena Tuhan tahu saya benci politik dan intrik-intrik.

Selama 4 tahun penuh saya masuk ke jurusan sastra Inggris dan saya resmi menderita sindrom Anglophilia ini. Semua hal yang saya baca, dengar, bahkan gumamkan dan pikirkan diusahakan dalam bahasa Inggris: menggerutu dalam bahasa Inggris, bersumpah serapah dalam bahasa Inggris, melamun dalam bahasa Inggris. Saya mati-matian meniru pengucapan yang benar, logat dan nada para penutur asli alias native speakers dengan sebaik-baiknya dengan harapan 100% bisa menjadi “Inggris seutuhnya” meski tahu itu musykil semata.

Belum cukup 4 tahun, saya melanjutkan 3 tahun di studi magister saya yang konsentrasinya juga sastra Inggris. Saya berharap bisa menjadi “Inggris yang mabrur”. Entah kenapa saya bisa sedemikian terbiusnya. Saya hanya tahu saya suka. Alasannya? Saya tidak bisa jelaskan secara logis. “Suka ya suka. Titik,”begitu mungkin kalau saya didesak mengatakan alasannya. Kalaupun saya bisa menjawab karena faktor X, faktor Y, itu semua hanya karena ingin tidak terlihat bodoh saja. Semuanya ini saya lakukan secara naluriah. Saya tak punya penjelasan logis untuk menjelaskan kegilaan saya pada bahasa dan budaya Anglo-saxon ini. Semua yang berbau Inggris dan Amerika Serikat rasanya merangsang saya untuk mempelajarinya lebih lanjut.

Kegilaan anglophiliac itu berlanjut terus sampai sekarang, saat saya bekerja sebagai penerjemah. Saya pun menjadi penerjemah bahasa Inggris ke Indonesia dan semua bacaan saya tiap hari bahasa Inggris. Konsekuensi pekerjaan yang tak mungkin dihindari.

Namun, di saat senggang entah kenapa saya juga tertarik membaca buku-buku berbahasa Inggris. Salahkan toko buku Periplus yang ada di lobi gedung kantor saya. Letaknya begitu dekat, tak habis 5 menit untuk menjangkaunya dari meja kerja saya di lantai 39.

Di sastra dan dunia kepenulisan, saya juga merasakan nuansa anglophilia yang kental. Misalnya, semua buku berbahasa Inggris rasanya lebih mahal dari yang berbahasa Indonesia. Di Periplus, “Madre” karya Dewi Lestari cuma 60 ribuan. Sementara yang karya berbahasa Inggris bisa 100 ribu lebih. Bahkan karya Pramudya Ananta Toer dan Umar Kayam dan Andrea Hirata yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris juga harganya lebih mahal daripada versi Indonesianya. Tentu karena harus ditambah biaya penerjemahan juga.

Setelah hadir di ASEAN Literary Festival hari ini di Taman Ismail Marzuki tadi, saya juga mencium atmosfer anglo-sentris. Mengutip kata-kata salah satu pembicara tadi,”Karya sastra berbahasa non-Inggris karya sastrawan negara-negara yang tidak memiliki tradisi bahasa Inggris berpeluang lebih tinggi untuk diorbitkan ke kancah dunia jika setidaknya sinopsisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.” Wow, sebegitu kuatnya pengaruh bahasa Inggris sebagai medium di dunia sastra! Bahkan sering karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa non-Inggris harus diterjemahkan ke bahasa Inggris dulu baru kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa lain. Inilah yang disebut penerjemahan cara “relay”, seperti lari estafet. Makna dipindahkan dari satu tangan ke tangan lainnya. Dan bahasa Inggris menjadi mata rantai utama dalam arus estafet makna ini.

ENTREPRENEURSHIP
Sama saja. Di dunia wirausaha dan keuangan, semua masih berkiblat ke pusat-pusat bisnis di negara Anglo-saxon (AS dan Inggris). Siapa yang tidak mau sesukses alm. Steve Jobs, sekaya Mark Zuckerberg, Jack Dorsey, Jan Koum? Semua entrepreneur hebat dunia rasanya cuma ada di satu tempat: Silicon Valley. Alhasil, banyak negara berlomba meniru Silicon Valley. Mereka ingin mengembangkan Silicon Valley di negara mereka sendiri-sendiri. Sebuah tempat yang dipadati dengan kantor-kantor startup digital dan teknologi yang ‘keren’, menghasilkan banyak uang dengan berbekal kemampuan coding dan pemrograman, kecerdasan teknologi dan sebagainya. Dulu di Depok pernah berhembus kabar akan didirikan semacam pusat komunitas entrepreneur dan startup digital yang digadang-gadang sebagai Silicon Valley-nya Indonesia. Lalu ada di Yogya juga ide semacam itu. Apakah berhasil? Entahlah, saya tak begitu yakin.

Saat saya menghadiri acara diskusi bersama Saras Sarasvathy (pengajar entrepreneurship dan etika di Darden’s MBA Program, Amerika Serikat), ia juga mengatakan bahwa para entrepreneur di Asia dan negara berkembang lainnya masih belum banyak “bersuara” di kancah dunia. Asia masih menjadi seperti “misteri”, kata Saras. Itu karena entrepreneur di Asia masih percaya bahwa kiblat ada di Amerika dan Inggris, menganggap bahwa semua tren dan hal yang berasal dari sana juga pasti akan cocok dan “menjual” di sini. Entrepreneur negara-negara berkembang juga lebih suka mengadopsi ide-ide bisnis dari AS karena mereka yakin itu “keren” dan disukai konsumen domestik. Kalaupun tak mengadopsi mentah-mentah, mereka akan memberikan sedikit penyesuaian agar lebih disukai konsumen dalam negeri, dan penyesuaian itu biasanya berarti “penurunan” dalam banyak hal terutama kualitas, kenyamanan, keandalan, dan sebagainya.

Dan harus diakui bahasa Inggris juga berperan untuk membuat kiprah para entrepreneur negara berkembang lebih terdengar di dunia internasional. Teman saya misalnya mengeluhkan situs perusahaan yang tidak menyediakan konten berbahasa Inggris, padahal konten berbahasa Inggris diperlukan untuk menyampaikan ide dan pemikiran ke kalangan yang tidak familiar dengan bahasa Indonesia.

Tragisnya, bagi entrepreneur Indonesia yang kemampuan berbahasa Inggrisnya rendah, kemampuan mereka melaju ke kancah dunia juga menurun. Seperti yang saya saksikan dalam sebuah lomba pitching, sebagian entrepreneur yang berbahasa Inggris bagus bisa memukau calon investor, sisanya memprihatinkan dan kurang menakjubkan karena penyampaian dalam bahasa Inggris yang jauh dari harapan. Ini juga berkaitan dengan banyaknya investor asing dari luar yang masuk ke Indonesia. Dan rata-rata adalah penanam modal dengan hubungan langsung atau tidak langsung ke negara-negara Anglo-saxon.

YOGA
Bahkan di dalam yoga yang notabene asalnya dari India, nuansa Anglophilia sangat “menusuk.” Jika dulu orang hanya mempelajari yoga dari teks-teks kuno berbahasa Sansekerta, kini buku-buku terkaya, terbaik, terlengkap serta terlaris tentang yoga justru ada dalam bahasa Inggris. Ambil contoh buku ‘canon’ atau bible-nya para yogi saat ini: Light on Yoga. Tulisan Yehudi Menuhin ini dibuat dengan mengumpulkan ekstrak pemikiran B. K. S. Iyengar lalu mendokumentasikannya dalam bahasa Inggris.

Guru-guru yoga dari AS juga merajai berbagai perhelatan yoga di tanah air. Lihat saja Namaste Festival. Orang lebih tertarik mengikuti kelas guru-guru asing dari AS yang berbahasa Inggris daripada guru-guru lokal, dengan alasan mengikuti kelas guru lokal lain waktu juga bisa, tidak harus sekarang. Dan guru-guru asing ini mematok harga workshop yang fantastis. Setiap orang bisa diharuskan bayar Rp1 juta hanya untuk 6-8 jam mengikuti pelatihan. Untuk biaya pelatihan guru yoga, harganya bisa lebih mahal lagi karena jamnya jauh lebih panjang.

Sertifikasi guru yoga juga dibuat oleh Yoga Alliance, sebuah organisasi yang bertujuan membuat standarisasi dalam profesi guru yoga agar tidak semua orang bisa mengklaim sebagai “guru yoga yang berpengalaman.” Namun, di sisi lain sertifikasi ini menimbulkan polemik juga karena tak semua guru bersertifikat ternyata kompeten dan tidak semua guru tanpa sertifikat tidak kompeten dalam mengajar. Buah simalakama memang.

Dua Pria dan Sabun Dove

image

“Yuk, makan..” (Duh, kenapa lo ikut sih? Pulang sono.)

“Ke mana ya? Di sini kan mahal-mahal. Sekali makan 30 ribu. Bikin bangkrut.” (Lo pikir tinggal di ibukota terus gue tajir? Gue cuman numpang kerja tau! Gue ogah makan gengsi.)

“Iya sih. Ya udah ke sana aja warung tegal murah langganan gue.” (Semoga dia batal ngintil gue. Gue mau ajak ke warung jorok itu.)

“Jadi sudah lulus atau masih mengerjakan tesis sekarang?” (Ngomong yang sedikit intelek ah. Dia kan kayaknya intelek gitu. Kacamatanya tebel, framenya apalagi. Sangar banget. Badannya pesumo. Klop. Empuk.)

“Sudah. Ini mau lanjut ambil program doktoral. Yang S2 kemarin di ****, Amrik.” (Bukan nyombong. Elu sih pake nanya segala. Terpaksa deh gue ngaku. Biar tau rasa. )

“Oh… Jurusan?” (Oke oke. Amrik. So what? Paling juga jurusan abal-abal)

“Teologi. Gue mau jadi pendeta.” (Kepooonya nih orang..)

“….” (Eh tapi itu kok jari situ ada cincinnya? Emang pendeta boleh pacaran atau kawin ya? Tapi kalo liat mukanya sih serius. Auk ah gelap.)

“Eh tadi nulis tentang siapa? Bapak iklan? Siapa dia?” (Pura-pura tanya ah. Kasihan, daripada dia kelihatan odong terus. Sekali-kali biar kelihatan cerdas dikit.)

“Oh entuuu. David Ogilvy…” (Ih, lulusan S2 Amrik ga tau David Ogilvy, gimana sihh?? Oh ya dia kan orang teologi bukan marketing atau iklan ya. Ah bodo. Tapi kan tetep aja, David kan terkenal juga.)

“Hebatnya apa dia?” ( Belum pernah denger orang itu deh.)

“Mmmm… Dia itu yang mengenalkan prinsip-prinsip beriklan yang… Hmmm, apa ya? … Membius..” (Sial, hampir kehabisan kata-kata gue)

“Really?” (Enggak percaya! Lo gagap gitu jawabnya.)

(Huh, untung gue inget nih) “David Ogilvy itu orang yang buat tagline Dove lho. Pasti pernah dengar kan ‘Sabun dengan seperempat pelembab'” (Ah asal deh, gak apal juga tuh tagline. Kucrut!)

“Oh ya?! Oh setau gue itu di Indonesia aja. Gitu ya..” (Gue kudu cross check nih ke Google dan Wikipedia nanti. Jangan-jangan bohong aja dia.)

“Iya.” (Ih, ini usus ayam kenapa ada serabut-serabutnya gini ya? Warung tegal sotoy! Woek, tapi enak. Telen aja lah.)

“Tapi dulu di Amerika juga suka pakai Dove.” (Ok, kali ini gue berbaik hati kasih rahasia perawatan kulit gue. Jarang-jarang calon pendeta mau beberin urusan kecantikan kulitnya. Only me!)

“Oh ya?”(Percakapan yang aneh.)

“Iya soalnya kan kulitku suka alergi kalau pakai sabun lain yang dijual di toko-toko. Bahkan sampai aku minta dikirimi sabun bayi dari Indonesia. Karena kulitku jadi bermasalah. Dan setelah sabun bayi itu habis, repotlah aku. Akhirnya coba-coba sabun Dove dan cuma Dove yang tidak membuat kulitku alergi.” (Mana ada calon pendeta endorse merek kayak gini sih? Cuma gue kayaknya.)

“… Karena dia itu, Dove jadi sabun terlaris di Amrik. Gitu ceritanya.” (Beneran kita mau ngobrol soal sabun, cuy? Eh tapi ini makanan ga ada rasa ya. Tawar banget. Pedes enggak. Gurih setengah-setengah. Perkedelnya kecil lagi.)

P. S. : Cerita ini bukan kisah nyata, tetapi hanya berdasarkan kisah nyata.

Cyber Bullying in the Coverage of @tifsembiring’s Social Media Faux Pas Goes Too Far

image

Amazed… And sickened.

Not by the statement of the minister, but the overly abundant shower of attention media is paying to the social media faux pas committed by the Indonesia’s communication minister, Tifatul Sembiring.

Of course, it is an amusing irony to learn that the staunch advocate of anti online pornography movement and policy did follow a Twitter handle associated to sexually explicit content. Yet, I was wondering whether the amount of attention is a bit too much, overshadowing what is essential. It’s more like cyber-bullying than proper press coverage to me. They’ve been mocking Sembiring, even BBC.co.uk gets involved in the stunt. I’m no huge fan of his, I have neither political loyalty to his party nor Indonesian politics. No trust is left for them, I must say.

But bullying is still bullying, regardless of the excuse(s).

Bukti Ilmiah Marah Pertinggi Risiko Stroke

Sering marah? Merasa temperamental tiap saat? Saatnya mengingat nasihat Nabi Muhammad tentang mengendalikan amarah agar tidak menjadi bumerang bagi kita.

Senada dengan saran Rosul, hasil sebuah studi ilmiah menyebutkan bahwa mereka yang sering marah-marah secara tiba-tiba berisiko lebih tinggi menderita serangan jantung atau stroke terutama dalam 2 jam pasca lepas kendali. Itulah pernyataan peneliti Elizabeth Mostofsky,seorang instruktur di Departemen Epidemiologi Harvard School of Public Health, Dr. Murray Mittleman, juga Harvard School of Public Health, dan para koleganya di Beth Israel Deaconess Medical Center dan New York-Presbyterian
Hospital mengatakan mereka dengan penyakit kardiovaskuler memiliki risiko tersebut.

Para peneliti mencermati data dari 9 studi dari tahun 1966 sampai 2013 yang melibatkan ribuan orang dan menemukan bahwa risiko serangan jantung naik sampai sekitar 5 kali dalam 2 jam setelah kemarahan. Di samping itu, risiko stroke naik 3 kali lipat.

Studi yang dipublikasikan di European Heart Journal ini menemukan bahwa sekali meletupkan amarah dalam sebulan pada seseorang memiliki risiko penyakit jantung yang rendah berkaitan dengan satu serangan jantung ekstra per 10 ribu orang per tahun tetapi risiko ini meningkat menjadi 4 serangan per tahun per 10 ribu orang.

Lima kali marah tiap hari akan menghasilkan sekitar 158 serangan jantung tambahan per 10 ribu jiwa per tahun atau sekitar 657 serangan jantung ekstra per 10 ribu jiwa pada orang-orang dengan risiko tinggi, ujar peneliti.

Temuan ini memang tidak serta merta mengklaim bahwa kemarahan menimbulkan masalah peredaran darah dan jantung. Studi-studi lebih lanjut masih diperlukan untuk memahami kaitan dan menemukan jika strategi pengurangan stres seperti yoga (nah!) dapat membantu

Dedikasi dan Penghormatan untuk Yoga, Alasan B. K. S. Iyengar Latihan 2 Jam Tiap Hari Selama 80 Tahun

image

Berikut adalah petikan wawancara dengan tokoh yoga legendaris B. K. S. Iyengar yang saya kutip dan terjemahkan secara bebas dari laman Sakal Times.

Pertanyaan:”Apa yang memotivasi Anda berlatih yoga selama 2 jam setiap hari bahkan di usia 95 tahun?”

Jawaban:”Saya sudah berlatih yoga selama 80 tahun. Saya tidak perlu motivasi eksternal. Semua datang dari diri sendiri.

Yoga sudah memberikan saya nama, ketenaran dan semuanya. Maka dari itu, saya memberikan penghormatan pada yoga dengan melaksanakannya setiap hari. Dedikasi saya pada yoga adalah satu-satunya motivasi saya.”

Pertanyaan:”Apa pesan Anda pada generasi muda?”

Jawaban:”Tubuh ini seperti pakaian bagi jiwa. Tugas kita adalah memeliharanya. Ia wadah bagi jiwa. Tanpa pakaian ini, kita tidak bisa bergerak dan berbicara. Maka dari itu, badan harus dipelihara. Yoga tidak cuma memelihara badan fisik tetapi membawa kedamaian pada pikiran. Dengan ketenangan pikiran, Anda bisa menjadi lebih toleran, sabar dan penuh welas asih. Inilah yang paling diperlukan di masa sekarang. Ia akan mengajarkan pada Anda bagaimana membebaskan diri dari kesombongan. Yoga merupakan cara terbaik memelihara jiwa dan raga dan itulah mengapa yoga harus dilakukan setiap hari dengan sepenuh hati. Setiap orang semestinya melakukan latihan yoga setiap hari. Seseorang tak perlu mengorbankan kegiatan lainnya untuk berlatih yoga. Sembari kita menjalani rutinitas hidup, kita juga harus menyisihkan waktu untuk diri sendiri.”

Pertanyaan:”Seberapa banyak yoga yang harus dilakukan setiap hari?”

Jawaban:”Seseorang seharusnya berlatih yoga setidaknya selama satu jam setiap hari. Itu yang paling minimum, tidak bisa lebih rendah dari itu. Sebagian orang berpendapat berlatih yoga selama 15-20 menit sudah cukup. Itu belum cukup. Jika Anda melakukan olahraga lain seperti renang, berjalan, lari, Anda masih harus sisihkan waktu setidaknya separuh jam untuk yoga. Itu karena yoga melatih pikiran Anda, sesuatu yang tidak bisa dilakukan olahraga lainnya.

Waktu yang Anda habiskan untuk berlatih yoga adalah satu-satunya waktu saat Anda fokus pada diri sendiri. Hanya inilah yang bisa membawa ketenangan dalam pikiran.”

Inilah Tweet Perdana Saya di Twitter

Menggunakan Twitter sudah menjadi bagian keseharian saya sebagai pegiat jejaring sosial. Twitter di antara banyak jejaring sosial lainnya memang memiliki keunikan sendiri. Di sini, kita tidak bisa berpanjang-panjang kata, dan belajar lebih banyak mengenai bagaimana menjadi pengguna bahasa yang singkat, padat dan tetap bermakna dalam 140 karakter saja.

Dalam rangka ulang tahun ke-8 perusahaan yang didirikan Biz Stone dan Jack Dorsey tanggal 20 Maret 2014 kemarin, Twitter memberikan kesempatan bagi para penggunanya untuk menengok kembali tweet pertama mereka. Apakah tweet pertama itu menggelikan, cerdas atau membosankan karena terlalu standar? Entah bagaimana tweet pertama saya di akun @akhlispurnomo. Emoji

Twitter menyediakan alat yang memungkinkan kita untuk menampilkan tweet pertama.Pengguna memiliki opsi untuk kembali mempublikasikan tweet itu meski tidak semua orang juga mau mengingatkan pengikutnya tentang kalimat dalam tweet yang mungkin konyol dan sama sekali tidak selaras dengan citra diri yang dimiliki pengguna sekarang.

Saya cukup kebingungan menemukan alat yang dimaksud hingga saya menbelisik ke blog resmi Twitter dan menemukan satu tulisan terkini yang memuat tautan ke alat yang dimaksud untuk menampilkan tweet pertama: http://first-tweets.com/. Setelah masuk ke akun, kliklah tautan tadi dan seketika muncul tweet pertama di satu halaman penuh.

MBC Akan Putar Sekuel ‘Jewel in the Palace” Oktober 2015

Stasiun televisi Korsel MBC tengah mengerjakan sekuel dari serial drama sejarah korea yang menjadi tersohor di seluruh dunia “Jewel in the Palace”. Kemungkinan bintang utamanya adalah Lee Young-ae lagi. Sebagaimana diketahui, Lee adalah pemeran Dae Jang Geum, karakter perempuan yang menjadi protagonis dalam serial yang banyak digemari juga di Indonesia itu.

Kim Young-hyun, yang menulis naskahnya, mengatakan Kamis bahwa serial baru itu dijadwalkan akan mengudara Oktober 2015. Tahun lalu, Presiden MBC Kim Jog-guk mengatakan dalam sebuah konferensi bahwa pihak penyiar serial ini akan mengejar agar target penayangan sekuel tersebut bisa dipenuhi di paruh pertama tahun 2015.

Agensi Lee Young-ae menyatakan bahwa mereka belum menandatangani kontrak formal tetapi mereka mengaku menerima sebuah sinopsis di bulan Januari dan tengah mempertimbangkannya. “Lee mungkin akan menjadi bagian dari proyek besar ini,”ungkap mereka.

Agensi itu menambahkan bahwa tanggapan di antara penggemar di China sangat besar dan sejumlah perusahaan menawarkan berinvestasi dalam sekuel ini dan menanyakan mengenai hak penjualannya.

Jika benar serial ini akan tayang kembali dan menghadirkan Lee, saya sebagai penggemar serial ini juga akan sangat gembira dan tidak sabar untuk kembali menikmati intrik-intrik dalam istana kerajaan Korea di abad pertengahan itu. Semoga tahun depan, kita bisa menyaksikannya!

The Power of Regular Self Practice as a Yogi and Writer

“I believe that we learn by practice. Practice means to perform over and over again, in the face of all obstacles, some act of vision, of faith, of desire.”- Martha Graham

At Christina Sell’s yoga workshop, I discovered this quote and found this so eye-opening to me, simply because I hate the regularity, commitment and hard work that makes me feel leashed. Maybe the core message is not new anymore but it means a lot to a yogi cum a writer.
Now I guess I have to tell myself on and on that self practice that is done regularly, daily even, is a must so I can be a really professional yogi and writer as fast as I can. I must not waste my precious time.
And that means I also have to learn NOT to hear praises. Praises that I am so talented. Praises that I am perfect already. Praises that I am already amazing without any conscious and deliberate efforts.
I know I write well but the fact that I am not a published writer is a huge wake-up blow. I know I can write like no one else can but I haven’t made a considerable sum of money with the talent. And though money is not everything to me, it still indicates how much appreciation people give to my works.
So I now have submitted my writeups to a friend who will help me publish them along with other writers’ works. It would be my first published works people will read. Small and insubstantial as it may seem but that provides a good start.
That way, I know someday I’ll quit my day job and work from a serene countryside home, writing and doing yoga in the fresh clean open air and on a green lawn no urban people can have.

Evernote for Android Now with Handwriting Feature

image

Now you can literally write longhand on your phone with the famous Evernote for Android application! This might not be novel anymore to some tablet PC owners because I have seen Samsung Galaxy tablets with this feature long time ago. As you can see, my handwriting is too big. Maybe if I can use a stylus on my screen, the size can be reduced. But I can only use my index finger to jot down.

Yoga Gembira Community Featured on Dahsyat

image

No one thinks “Dahsyat” (literally means “magnificent”) as a serious TV program we yoga community should go to to spread our healthy and balanced lifestyle message. But what is the medium, if you can tell more people about the cause?

As you can see, Olga Syahputra was seen in pain doing navasana or boat pose assisted by Yudhi Widdyantoro, the initiator and co-founder of Yoga Gembira Community.

The night before that, Yudhi was called and asked to be there. On TV. Some commenters thought it was a bad idea. They wanted Yudhi to stay away from such vanity show but he insisted on being there to let people know about the thriving community based at Taman Suropati, Menteng, Central Jakarta. He was there. And it wouldn’t hurt anyway.

So once again it is not about what you have but how you can leverage what you have. He has got the chance and he did never let it go away.