Berlatih Sendiri, Esensi Menjadi Yogi

image

Salah satu dari banyak alasan saya memilih yoga menjadi olahraga dan olahrasa utama saya ialah tidak adanya ketergantungan dengan peralatan apapun. Bandingkan kalau saya harus, katakanlah, lari. Saya perlu sepatu, jalur berlari yang lapang, pakaian yang tebal karena cuaca di luar lumayan dingin di pagi hari buta. Atau misalnya saja, saya harus berenang. Harus ke kolam renang terdekat, membeli atau menyewa celana dan kacamata renang, dan belum lagi harus menyisihkan waktu untuk ke sana, berganti pakaian, membilas badan setelah berenang. Belum lagi kalau kolam renangnya tutup di hari libur! Atau karena jalan macet bukan main! Batal semua rencana berolahraga. Dengan memilih yoga, saya tidak perlu mengalami kesusahan semacam itu.

Selain itu, alasan memilih yoga ialah karena yoga bisa dilakukan di mana saja sepanjang napas ini masih ada. Yoga masih bisa dilakukan di cuaca panas maupun dingin, hujan atau kemarau. Jadi kalau saat saya sakit, sebenarnya masih bisa beryoga juga karena yoga bukan melulu berasana yang menantang dan gila-gilaan. Karenanya, tidak ada alasan untuk melewatkan berlatih setiap hari, kecuali habis makan besar sebelum berlatih asana atau pranayama yang intens.

Sebagai pegiat yoga, berlatih secara individual atau self practice sebetulnya bukan barang aneh karena saya justru memulai berlatih dengan menjadi self practitioner. Saya belajar yoga sendiri, hanya bertanya jawab dengan buku, Internet dan diri sendiri. Rasanya asyik, bereksperimen dengan diri saya sendiri. Walaupun saya berlatih sendiri tanpa bimbingan, saya beruntung belum pernah cedera parah karena salah alignment, salah teknik atau semacamnya.

Terus terang saja, yoga terasa lebih sesuai untuk saya, karena saya memiliki pribadi introverted sehingga lebih menyukai ketenangan dalam melakukan apa saja. Pergi ke gym, pusat kebugaran, studi yoga, atau bahkan berlatih bersama dengan teman-teman memang mengasyikkan karena menurut orang menjadi lebih bersemangat. Dengan diiringi musik, makin enak rasanya. Saat kita sudah patah arang atau malas, teman-teman akan menjadi penyemangat. Namun, saya tidak merasa demikian. Meski saya akui saya juga menikmati latihan dalam kebersamaan yang hangat dengan teman dan panduan yang baik dari guru yang lebih berpengalaman, latihan sendiri tetap lebih saya sukai.

Apa pasal? Pertama, karena saya ingin menyelami diri lebih dalam. It’s all about my own Self. Saya lebih tahu apa yang saya sedang rasakan dan alami dengan lebih detil saat sendirian berlatih. Tanpa gangguan, tanpa bantuan juga. Hanya diri saya. Sukses atau gagal bukan masalah. Karena tidak ada tuntutan untuk ke arah tertentu atau target menguasai apapun. Just let it flow.

Kedua, berlatih sendiri meminimalkan keinginan berkompetisi melawan orang lain dan diri sendiri. Entah menurut Anda, tetapi yang saya rasakan adalah saat berlatih bersama orang lain, pikiran dan hati kita seolah tidak bisa tenang karena ego haus pengakuan dan superioritas, kemenangan. Ia takut dicela, dihina dan disindir tidak bisa, tidak kuat, tidak lentur, tidak spiritual dan sebagainya. Karena ego menuntut pengakuan dan haus prestasi itulah, ia senantiasa mencari pembanding, yang bisa berwujud orang-orang di sekitar Anda, yang juga berlatih yoga bersama Anda. Bahkan bisa juga ego membandingkan diri dengan guru yang mengajar di hadapan kita atau foto-foto asana junkies di Facebook dan Instagram di layar ponsel. Bagaimana agar mencegah masuknya unsur kompetisi dalam yoga memang tidak mudah. Saya juga masih harus berjuang membangkitkan kesadaran untuk memupus ambisi berkompetisi secara terus menerus karena saya sudah muak dengan kompetisi di hampir semua lini kehidupan. Di yoga, kompetisi itu tidak seharusnya ada dan kalaupun ada, sangat minimal. Dan jika pun memang banyak persaingan, tidak sepatutnya hasrat bersaing itu diumbar sedemikian nyata dan blak-blakan. Saya selalu mengingatkan diri kalau sudah muncul pemikiran,”Ayo, jangan mau kalah dengan si … (Sebut nama teman yang lebih lihai dalam suatu aspek latihan atau asana)” Menuruti bisikan itu mungkin tidak sehat. Sangat melelahkan.

Saya beruntung diundang teman yogini Mona Jahja ke workshop yoga dengan Christina Frosolono Sell yang saya hadiri Sabtu (22/2/2014) kemarin di Gudang Gambar Kemang Timur 88, saya makin mantap meyakini bahwa self practice adalah inti dari menjadi seorang yogi. Dari keteraturan menjalankan latihan itulah, akan terpupuk dedikasi. Bisa jadi sukar untuk membedakan dedikasi dari fanatisme, euforia sementara, atau kecanduan tetapi itu masalah yang bisa dibahas tersendiri.

image

Dari apa yang saya pelajari dari workshop itu, saya menjadi yakin dengan makna penting latihan pribadi secara teratur. Jangan mengaku yogi kalau hanya latihan sekali seminggu seperti saya. Harus saya akui, saya memang bukan orang yang disiplin. Mungkin karena yoga, dalam kasus saya, berawal sebagai sebuah kegiatan pengisi waktu luang dan bersenang-senang daripada sebuah keharusan, kewajiban yang bagi saya menjadi bagian dari rutinitas yang membelenggu diri, alih-alih menyegarkan dan membuat pikiran. Saya ingin yoga menjadi bagian dari kegiatan menyenangkan di antara kesibukan, bukan melebur ke dalam kesibukan itu juga. Dengan kata lain, saya lemah dalam disiplin berlatih karena yoga hanyalah kegiatan suka-suka. Tak ada paksaan. Sayangnya hal itu malah menjadi bumerang bagi diri saya kadang. Saya hanya berkutat pada area yang sudah saya kuasai. Dengan berlatih dan belajar lebih rutin dan penuh disiplin, perkembangan saya sebagai yogi akan lebih pesat. Entah bagaimana dengan orang lain tetapi sampai detik ini, saya lebih betah menjadi pelaku yoga ‘hobbyist’ daripada yang serius. Mungkin suatu saat nanti saya harus bisa menjadi lebih dari itu.

Lalu saya bertanya pada diri sendiri dan pada Christina, “Bagaimana agar latihan yoga saya menjadi sebuah kebutuhan, bukannya kewajiban?” Saya sebelumnya tidak mewajibkan diri untuk beryoga setiap hari secara militan. Belajar bahwa berlatih sendiri bukanlah sebuah kewajiban tetapi kebutuhan masih belum begitu tertanam dalam benak saya. Tetapi dengan padatnya kegiatan, bisakah latihan rutin sendiri itu dilakukan? Tentu selalu ada jalan jika dan hanya jika kita bertekad baja. Dan kadang kita harus menyelami diri dan merasakan dorongan itu muncul secara alami dari batin kita. Sebuah dorongan halus yang mengatakan,”Ayo latihan yoga! Kamu butuh itu agar bisa tetap waras!”

image

Saya juga mendapatkan masukan baru, bahwa memiliki tujuan yang dangkal (baca: tidak terlalu spiritualis apalagi filosofis) untuk memulai latihan yoga – seperti ingin memiliki tubuh semolek Sophia Latjuba atau perut serata Adam Levine atau ingin berhasil melakukan headstand – sah-sah saja dilakukan. “Vanity can be a good motivation,”kata Christina. Hal-hal sesepele itu mungkin bisa mengantarkan kita ke pemahaman lebih mendalam tentang makna yoga yang lebih lengkap. Christina bertutur bagaimana seseorang yang ia kenal sanggup berlatih yoga selama bertahun-tahun secara rutin. “She went to classes because she said she could see a cute man there!”ujarnya. Temannya rutin beryoga karena ia bisa melihat pria ganteng di sana. Tidak ada yang mengatakan itu terlarang karena setiap orang berhak memiliki tujuan masing-masing. Yang penting di awal mereka sudah mau berkomitmen untuk beryoga. Itu saja sudah cukup. Selanjutnya, seiring dengan makin sering berlatih, pikiran makin terbuka dan kaya, akan ada peluang untuk berubah menjadi lebih baik bukan?

Satu pelajaran lain yang saya petik dari workshop tersebut ialah bahwa memiliki tujuan berlatih boleh-boleh saja asal realistis. Jangan mematok terlalu berlebihan atau akan membuat kita terlalu lelah. Kondisi badan yang terlalu dipaksa dalam peregangan berlebihan (over stretching), membuat badan kita menjadi kaku setelah beberapa lama tidak berlatih, tetapi rasa kaku itu mungkin – ujar Christina – karena badan kembali ke kondisi semula. Maka dari itu, menurut hemat saya, agar berlatih bisa rutin, tetapkan pola latihan yang realistis bagi diri kita. Jangan memaksa berlatih 2 jam di pagi hari seperti seorang guru yoga yang masih lajang jika Anda memiliki anak kecil atau bayi yang harus dirawat, pekerjaan lain yang harus dilakukan sehingga cuma ada 15 menit waktu luang misalnya di pagi atau sore hari. Berapa pun waktu yang luang untuk beryoga, lakukan saja. Jangan menunggu sampai punya waktu 2 jam penuh baru beryoga. Jangan lupa pula bahwa bagaimana pun ada tugas-tugas utama yang lebih penting dari berlatih asana setiap hari. Yang perlu dipikirkan ialah bagaimana yoga bisa dileburkan di dalamnya, di dalam setiap kegiatan sehari-hari kita. Jadi berlatih yoga itu bukan cuma di atas mat, di studio yoga, atau dengan teman-teman yoga kita. Dengan pemikiran yang lebih terbuka, kita bisa melakukan yoga di mana saja, kapan saja, tidak peduli profesi, usia, kondisi fisik.
image



4 responses to “Berlatih Sendiri, Esensi Menjadi Yogi”

  1. Bagus banget tulisanmu mas dan latihan itu sdh sy jalani krg lbh 10 tahun an dgn hati hasilnya luar biasa utk jiwa sy.

  2. Makasih! Alhamdulillah. Semoga kita selalu sehat jiwa dan raga. Salah satunya dengan yoga 🙂

  3. Menarik, tapi saya tdk seberuntung mas akhlis.
    2011, Saya pernah mengalami cedera dan merasa trauma saat latihan yoga pertama kali di sebuah tempat latihan yoga. Setelah itu ada perasaan takut dan saya tdk mengikuti sesi berikutnya dan mengikhlaskan biaya latihan utk sebulan kedepan. Saat itu saya sampai tdk bisa jalan dan meminta teman saya utk menjemput di tempat latihan. Padahal saat itu gerakan yg saya lakukan sesuai dgn instruksi pelatih. Mungkin karena saya memang ada sejarah tulang belakang yg tdk normal. Hahaha. Sungguh pengalaman yg buruk. Mungkin suatu saat saya akan mencobanya lagi :’)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: