Halo! Saya Candy!

Perkenalkan, nama saya Candy. Ini bukan nama saya sebenarnya. Cuma nama panggilan agar Anda semua orang Indonesia bisa memanggil lebih mudah. Marga saya Chou. Koko saya itu aktor terkenal lho, Chou Yun Fat! Haha.

Mata saya sipit, kulit saya kuning bersih, rambut saya lurus dan terikat rapi dan kencang. Tinggi saya sedang saja. Saya bekerja sebagai pemandu wisata rombongan turis Indonesia di kota Shanghai. Karena aktivitas saya yang menuntut banyak berjalan di luar ruangan, saya lebih suka mengenakan sepatu kets, celana jeans ketat, dan kaos pas badan saat bekerja. Apalagi sekarang cuacanya panas.

Sebetulnya saya tidak mau bekerja seperti ini terus. Melelahkan. Tetapi saya suka sekali jalan-jalan selagi saya masih ada waktu sebelum menjadi ibu-ibu. Dan saya tidak mau berpangku tangan. Saya harus bekerja menghasilkan uang, supaya bisa memberikan sebagian pendapatan untuk orang tua saya di kampung.

Pekerjaan ini tidak mudah. Sekilas sangat menyenangkan. Bertemu banyak orang, berkunjung ke tempat-tempat indah, berbicara dengan banyak orang, tertawa, tersenyum, menawarkan barang rekanan agar mereka mau membeli agar saya dapat komisi untuk mengisi pundi-pundi. Tetapi turis Indonesia banyak berulah. Saya acap kali dibuat pusing kepala karena mereka. Mereka suka terlambat. Sudah diberitahu berkumpul pukul sekian, tetap saja ada yang ‘jam karet’. Susah juga mau mengingatkan. Paling-paling saya beri hukuman mencium sopir atau menyanyi di depan kelompoknya agar mereka lebih enggan terlambat nantinya.

Turis Indonesia juga sering ceroboh dan lupa. Saat saya menanyakan nama-nama tempat yang mereka sudah kunjungi di Tiongkok, mereka hanya menggaruk-garuk kepala dan memandang kosong ke langit-langit bus. Yang paling melekat di pikiran cuma baunya toilet-toilet kami. Soal kecerobohan, saya juga sempat dibuat panik. Gara-garanya seorang bapak dalam rombongan sudah meninggalkan hotel dan akan ke bandara untuk pulang. Karena saat itu musim dingin, pagi pun masih gelap gulita. Saat di bus, saya ingatkan lagi jika ada barang yang ketinggalan di hotel. Beberapa saat, saya mendapat panggilan laporan dari pihak hotel bahwa ada ponsel yang tertinggal di salah satu kamar yang kami sewa. Saya pun segera mengumumkannya dan semua anggota rombongan itu memeriksa kembali. Bapak itu tidak menemukan ponselnya di saku. Ia hanya mendapati sebuah remote control TV! Dia mengira remote control itu adalah ponselnya kemudian menyambarnya untuk dimasukkan ke saku saat berkemas ke luar hotel. Karena kami tak punya cukup banyak waktu akhirnya kami putuskan menyuruh hotel mengirimkannya ke Indonesia. Padahal biaya pengirimannya 600 yuan. Tetapi bagaimana lagi, kata bapak itu, semua foto-foto di Shanghai ada di dalamnya. Ia tidak punya kamera lain. Hanya itu kenang-kenangannya. Sungguh mahal harga kenangan.

Saya suka Shanghai. Kota ini jauh lebih maju daripada kota tempat asal saya yang kecil. Setelah Beijing, Shanghai adalah kota terpenting kedua di negeri saya. Setelah itu ada Shenzhen, Guangzhou, Hangzhou, Suzhou.

Meski sudah beberapa kali memandu rombongan wisatawan Indonesia, saya belum pernah menjejakkan kaki ke negeri itu. Dari celoteh para turis yang saya ajak bicara, ibukota Jakarta mirip dengan Shanghai. Banyak apartemen dan gedung-gedung pencakar langit. Mereka suka Shanghai karena di sini mereka menemukan kemiripan dengan Hongkong yang menjadi surga belanja. “Cuci dompet”, begitu istilahnya. Cuci sampai bersih tidak bersisa.

Saya pendatang di Shanghai dan tempat asal saya dari provinsi Hunan. Saat turis-turis itu tidak tahu Hunan, saya ceritakan pada mereka bahwa tempat asal saya itu tempat syuting film Kera Sakti alias Sun Go Kong. Kota asal saya adalah Hangzhou. Tidak tahu Hangzhou? Mungkin Anda tahu Legenda Siluman Ular Putih. Di Hangzhou, ada danau Barat yang menjadi bagian latar belakang tempat kisah legendaris itu. Untuk sampai di Hangzhou, Anda harus naik kereta ekspres dari Shanghai selama 1 jam penuh. Saya bangga menjadi penduduk Hangzhou karena kotanya disebut kota cinta, kota romantis. Film Legenda Ular Putih Pai Su Chen itu mengambil tempat di sana 25 tahun lalu. Saya yakin orang Indonesia pernah menonton atau mendengarnya. Lalu ada juga kisah Sam Pek – Eng Tay yang filmnya diambil dengan latar belakang kota Hangzhou juga.

Usia saya sudah 27 tahun. Saya katakan “sudah” karena teman-teman sebaya saya di desa rata-rata sudah menjadi emak-emak. Saya sering ditelepon orang tua dari kampung. Mereka bertanya,”Apa kamu sudah menemukan calon menantu untuk kami, nak?” Saya sebenarnya sudah bosan menjawab tetapi sudah lah, bagaimana lagi. Kalau saya disuruh memilih antara pria Tiongkok dan pria Indonesia, saya akan memilih pria Indonesia sebagai pasangan hidup saya. Alasan saya ialah karena mereka lebih sopan dan menghormati orang yang lebih tua. Pria Indonesia juga lebih lembut dalam bertutur kata menurut saya. Kalau di pasar-pasar, pria Tiongkok suka berkata kasar dan kalau tidak jadi beli, Anda bisa dimaki-maki,”Orang gila!”

Pernah suatu kali saya ditanya mengapa saya tidak ke Indonesia saja, toh saya sudah bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. “Pria Indonesia itu kaya-kaya, ganteng-ganteng lho! Apalagi pria China Medan!”Begitu kata seseorang pada saya. Pria China Medan itu masih keturunan Tiongkok dan banyak yang dapat berbahasa Hokian dan masih punya keluarga di Tiongkok juga. Pria-pria Medan itu sering ke sini untuk berbisnis. Tetapi saya bersikukuh yang ganteng dan kaya itu biasanya buaya darat! Kadang saya dijanjikan untuk dikenalkan dengan pria-pria lajang keturunan China dari Indonesia tetapi kebanyakan hanya membual. Mereka cuma menawarkan janji manis. Saya sudah memberi alamat, email, bahkan nomor ponsel ke mereka tetapi tidak ada keseriusan. Maka dari itu, saya pikir orang Medan sering bohong. Di sini disayang, sudah pulang ke Indonesia, mereka lupa begitu saja. Kekayaan dan ketampanan bukan prioritas utama saya, yang terpenting hatinya baik.

Saya beruntung tinggal di kota Shanghai. Kenapa? Karena orang-orang yang tinggal di kota besar biasa menikah lebih lambat, sekitar umur 30-32. Kalau tinggal di desa sejak dulu, mungkin saya sudah menjadi ibu beberapa anak. Teman saya umur 21 sudah menikah dan sekarang beranak dua.
Pernah juga saya bertanya ke papa dan mama, apakah saya diijinkan menikah dengan orang Indonesia. Sayangnya, menurut mereka Indonesia terlalu jauh. Akhirnya mereka paham dan maklum juga bahwa kalau jodoh belum datang, mau dipaksa seperti apapun juga tidak akan datang. Kalau sudah saatnya datang, antrean bisa panjang.

Di Shanghai yang berpenduduk 22 juta ini, cinta sudah bisa diganti dengan materi. Wanita mencari suami dengan kriteria materi. Pria itu harus punya apartemen, mobil, dan lain-lain. Baru wanita itu mau ikut dengannya, entah berkencan atau menjadi simpanan atau istri sah. Yang penting sekarang bukan cinta tapi uang!

Saya terlahir di keluarga Chou dari 3 bersaudara. Saya yang termuda. Kakak saya ada dua, seorang laki-laki dan yang satu wanita. Kini kedua kakak saya sudah berkeluarga. Mereka tinggal di desa dengan papa dan mama. Ada yang bertanya, “Kenapa Candy bisa punya saudara? Bukannya di sini tidak boleh memiliki anak lebih dari satu?” Betul, saya lahir sebagai anak ketiga, yang artinya orang tua saya harus menanggung denda yang harus dibayarkan pada negara. Besarnya denda itu tidak tanggung-tanggung: 3000 yuan! Jumlah uang itu terasa memberatkan bagi papa dan mama yang hanya petani kampung. Mereka bercocok tanam padi, kemudian menjualnya ke pemerintah dan untungnya sedikit sekali.

Saya mungkin tidak akan ada di dunia ini jika papa dan mama saya memutuskan untuk tunduk pada putusan dokter. Saat itu, mama saya yang berbadan kurus merasa pusing dan sakit sehingga tak bisa bekerja di sawah bersama papa. Mereka menemui dokter dan sang dokter berkata mama sudah hamil 3 bulan! Dokter menyarankan,”Anda harus aborsi.” Mama enggan lalu berusaha menemukan cara untuk bisa berkelit dari saran dokter. Ia tidak bisa menolak terang-terangan. Mama ingin mempertahankan janin yang kelak menjadi Candy itu. Akhirnya mama menemukan akal,”Dokter, saya mau operasi aborsi tapi saya mau mandi dulu ya. Habis mandi saya ke rumah sakit lagi.” Untungnya, ia diijinkan. Mama pun pulang dan bertekad mempertahankan janinnya, ia tidak mau ke rumah sakit dan menjalani prosedur aborsi itu. Mama memutuskan melarikan diri dan bersembunyi untuk sementara waktu sampai saya lahir di kota Fubei. Untuk mencapai Fubei, mama yang sudah hamil muda dan kecapaian itu harus menempuh perjalanan dengan kereta api selama 5 jam. Setelah Candy lahir, kami kembali ke kampung. Sekembalinya di kampung, papa mama harus membayar 3000 yuan sebagai denda kelahiran anak ketiga.

Begitu susah payahnya papa dan mama melindungi saya sejak sebelum lahir sampai keluar dari rahim mama, saya bertanya pada mereka apakah terbersit penyesalan dalam benak mereka karena Candy sudah lahir ke dunia. Mereka menjawab tidak menyesal sama sekali. “Kalau lahirnya anak laki-laki justru kami menyesal, nak.” Mengapa begitu? Koko (kakak laki-laki) saya sekarang sudah berusia 30 tahun dan sudah punya keluarga sendiri tetapi tetap saja papa dan mama kami membantu menjaganya. Yang menyesakkan, koko saya setiap bulan masih meminta uang ke papa dan mama. Koko saya bukannya tidak punya pekerjaan. Ia bekerja sebagai sopir taksi tetapi gajinya sangat kecil. Cuma 2000 yuan sebulan. Belum cukup untuk membiayai pengeluaran keluarganya sendiri. Saat ia menikah, papa dan mama juga turut membantu mendirikan rumah koko saya. Karena itu, papa dan mama lebih suka mendapatkan anak perempuan,”Anak cewek bawa hoki, bawa uang. Kalau anak cowok, buang uang saja.”Papa dan mama masih bekerja dan mereka rajin menabung hanya untuk diberikan ke anak laki-laki mereka. Karena itu, orang tua saya harus tinggal dengan koko saya. Mereka tidak bisa tinggal dengan saya karena mereka tidak memberi uang pada saya. Papa dan mama bisa tinggal dengan koko saya karena mereka memberinya uang secara rutin. Mereka merasa malu. Sampai sekarang saya masih memberikan uang pada papa dan mama. Saya menyuruh mereka tutup mulut agar koko tidak tahu. Uang itu cuma untuk papa dan mama saja, pesan saya.

Saya sudah belajar bahasa Indonesia sejak 8 tahun lalu. Sebelumnya, saya bekerja sebagai seorang pramuniaga atau penjaga toko di desa. Gaji saya hanya 300 yuan sebulan. Tidak bisa dibandingkan dengan standar gaji di kota besar seperti Beijing atau Shanghai. Keuntungannya saya masih bisa pulang setiap hari. Selama dua tahun saya bekerja sebagai pramuniaga hingga suatu saat saya merasa bosan bukan kepalang dan datanglah tawaran dari kerabat di Guangxi. Mereka menawari saya pekerjaan baru yang lebih menjanjikan! Saya bersemangat mencobanya. Tak dinyana saya ditawari belajar bahasa Indonesia di Guangxi.

Saat saya ingin belajar bahasa Indonesia, papa dan mama tidak setuju awalnya. Saya hanya lulusan SMA, bukan perguruan tinggi. Saya juga mau ke universitas tetapi papa dan mama tak ada uang. Biaya belajar bahasa Indonesia juga tidak murah. Saat itu kami harus bisa menemukan pinjaman uang 20 ribu yuan untuk membayar biaya kursus selama 1 tahun. Letak tempat belajarnya juga jauh dari rumah, jadi papa dan mama agak berat hati. “Kamu sudah dapat pekerjaan. Kenapa harus susah payah belajar lagi, Candy?”Kata orang tua saya. Ditambah lagi, papa dan mama tidak tahu manfaatnya belajar bahasa Indonesia. Mereka tak tahu menahu letak Indonesia. Warga desa saya banyak yang tidak mengetahui letak Indonesia. Papa dan mama bertanya apakah dengan belajar bahasa Indonesia saya bisa mendapat pekerjaan yang lebih bagus. Saya jawab saya belum tahu tapi yang penting saya mau belajar dulu. Agar papa dan mama setuju, saya membujuk mereka dengan berkata,”Uang ini akan saya pinjam dulu. Setelah dapat pekerjaan, saya akan kembalikan.”Akhirnya mereka setuju juga. Tahun 2005 menjadi saksi saya mulai belajar bahasa Indonesia dengan susah payah. Tahun 2006 setelah saya lulus kursus, saya kembali ke kampung lagi. Karena lapangan kerja sempit, saya pun menganggur lagi. Ketrampilan berbahasa Indonesia saya menjadi terbengkalai, tak pernah diasah lagi. Saya pun menjadi bulan-bulanan papa dan mama. Kata mereka, apa gunanya susah payah belajar bahasa Indonesia kalau tidak dapat pekerjaan.

Hampir selama 4 tahun saya menganggur. Lontang lantung tidak bekerja. Hingga digelarlah Shanghai Expo tahun 2010. Tawaran pekerjaan pertama mengalir. Seseorang menelepon dari kota Hangzhou, meminta saya bekerja dengan kemampuan saya berbahasa Indonesia. Bayangkan saya harus menggunakan bahasa Indonesia secara tiba-tiba. Semua kemampuan berbahasa Indonesia saya rasanya sudah menipis hebat. “Ayo bantu saja. Yang penting bisa sedikit, Candy,”ajak orang itu. Saat itu saya masih gadis desa yang lugu dan tidak pernah bepergian jauh harus ke Hangzhou. Saya ditugasi memandu rombongan warga Indonesia. Rasanya saya mau mati saja saat naik bus, karena saat semua orang Indonesia itu membuka mulut, saya tidak paham. Saya tidak pernah berlatih bahasa Indonesia dan baru kali pertama bertemu orang Indonesia asli. Siapa yang tidak panik? Saya mau menangis karena begitu bingungnya mencari bahan untuk diceritakan keesokan harinya di hadapan para peserta rombongan. Jadi kenapa saya berkata orang Indonesia baik? Mereka menenangkan dan mendukung saya,”Candy, tidak apa-apa. Pelan-pelan. Kalau tidak tahu bahasa Indonesia, pakai Mandarin saja.” Lalu saya banyak mencatat kata-kata yang belum saya ketahui dari mereka. Bahasa Indonesia saya sampai sekarang masih jauh dari sempurna tetapi setidaknya masih bisa dipahami oleh Anda semua.

Mengetahui saya bisa bekerja dan tinggal di kota besar, papa dan mama bersyukur saya tidak mengikuti jejak mereka. Kalau saya menuruti kemauan mereka, saya mungkin sudah menjadi ibu dengan suami dan dua anak. Mana ada kesempatan jalan-jalan ke luar desa? Tidak ada pastinya.

Suatu kali saya pernah membawa papa dan mama ke luar desa, ke Hangzhou. Sebelumnya papa dan mama tidak pernah berkunjung ke kota lain sehingga mereka sangat senang di Hangzhou. Di sana mereka mengunjungi West Lake yang legendaris sampai puas. Papa dan mama sampai menangis karena mereka hanya pernah menyaksikan danau itu dari layar televisi tetapi kini mereka sudah menjejakkan kaki di sana. Di Shanghai, papa dan mama makin terkagum-kagum karena di desa kami, rumah tertinggi hanya 2 lantai. Sementara di kota ini, gedung pencakar langit bertebaran di sana sini. Apalagi saat melihat Shanghai TV Tower yang sampai ratusan meter! Saya pun berjanji akan membawa papa dan mama ke Indonesia. Mereka menolak karena pasti biayanya mahal sekali. Tapi apalah artinya uang, asalkan papa dan mama saya bisa senang. Tidak tahu kapan saya bisa mewujudkan janji itu tetapi setidaknya saya sudah berjanji. Papa dan mama malah lebih malu karena sebagai orang Tiongkok malah belum pernah menginjakkan kaki di ibukota Beijing. Itulah papa dan mama saya, orang Tiongkok dengan pemikiran dan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja.

Meski merindukan papa dan mama, saya enggan hidup di desa lagi. Listriknya sudah mati kalau pukul 6-7 malam.

Saya pulang kampung setahun sekali saat Tahun Baru Imlek. Jumlah hari liburnya relatif panjang untuk saya, sampai 15 hari!

Karena belum pernah ke Indonesia, dulu saya pernah disarankan guru bahasa Indonesia saya untuk sesekali makan gado-gado jika pergi ke Indonesia. Katanya gado-gado itu kacang tanah, sayur mayur, seperti salad.

Guru bahasa Indonesia saya datang dari Indonesia juga. Dia berdarah Indonesia. Asalnya Surabaya, Jawa Timur. Sekarang hampir 50 tahun guru saya belum pernah ke Indonesia lagi. Itu karena usianya sudah renta, 80 tahun.

Saya katakan pada turis-turis Indonesia agar jangan sampai cuma 3-ing padahal sudah diajak berkeliling oleh saya ke kota Shanghai. Apa itu 3-ing? Sleeping, shopping dan kencing! Karena itulah yang biasanya dilakukan turis Indonesia. Mereka tidur (sleeping) di bus selama perjalanan, kemudian turun bus untuk berbelanja (shopping), sebelum naik bus mencari toilet (kencing) dan naik bus lagi untuk tidur. Begitu seterusnya. Berulang-ulang. Benar, ini ciri khas orang Indonesia. Satu orang ke toilet, semua ke sana. Akibatnya jadwal porak poranda karena terlambat.

20140614-181002-65402985.jpg

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.