MC tidak bisa disalahkan juga. Saya ingat yoga dianggap sebagai olahraga ringan nan feminin karena pencitraan yang salah kaprah yang diakibatkan kampanye pemasaran oleh pengusaha-pengusaha Barat. Padahal riwayat yoga sungguh patriarkal, macho. Inilah olah badan, jiwa dan semuanya yang didominasi kaum pria. Patanjali, Iyengar, Patabhi Jois, Krisnamacharya, bukankah mereka semua lelaki? Sayangnya, tidak demikian di Amerika Serikat. Yoga dikemas sebagai alat menarik ibu-ibu rumah tangga yang ingin menjadi lebih kurus kering seperti yogi-yogi India.
Pagi itu tanggal 15 Oktober 2013, kami merayakan Idul Adha. Usai solat Ied di masjid terdekat, saya kembali bekerja. Ya, Anda tidak salah baca. Saya masih bekerja meski di hari libur seperti ini. Sekadar memperbarui beranda depan situs pekerjaan saya. Demi traffic. Bah!
Lalu sekonyong-konyong masuklah surel dari MC. Isinya:
“Hi!
Apakah bisa latihan pertama hari ini saja? Saya libur. Apakah mungkin Anda mengajar hari ini?
MC”
Berkah Idul Qurban! Saya dapat pekerjaan! Tapi sedetik kemudian saya kebingungan karena saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya ajarkan padanya dan karena saya tidak tahu seperti apa MC sebenarnya, saya panik. Kemudian setelah sedikit menenangkan diri, saya membalas surelnya:
“Hi!
Pukul berapa? Bagaimana jika pukul 5 sore?”
Saya pikir akan lebih enak jika petang hari. Akan ada lebih banyak waktu untuk menyiapkan segalanya.
Sebentar kemudian saya mengaduk-aduk gudang informasi dalam perpustakaan pribadi sebagai inspirasi untuk nanti. Harus bagaimana? Apakah saya harus mengajar dengan pakaian seadanya? Apakah saya harus tampil sporty seperti guru yoga profesional dengan busana bermerek Nike atau Reebok? Bagaimana dengan mat? Ya ampun, mat saya kan biasa begitu? Bukan Jade atau Lulu Lemon. Lalu karena MC pernah cedera bahu, apa saja pose-pose yang aman dan mana yang harus dihindari? Karena dia mau lebih lentur juga, pose-pose apa yang mungkin bisa menambah kelenturan? Split? Tapi apakah itu tidak terlalu berat baginya yang mengaku beginner dalam yoga? Ahh, tiba-tiba semuanya jadi terasa kacau. Kondisi tiba-tiba menjadi rumit karena persiapan yang terlalu singkat ini.
Pukul 5 saya pun meluncur ke apartemen Ascott di dekat Bundaran Hotel Indonesia yang konon mirip desain iluminati itu. Ojek saya dalam 10 menit berhasil melesat ke sana. Saya bahkan sampai di sana terlalu awal.
Tentang tarif per kelas, MC keberatan dengan tarif yang saya ajukan. Itupun karena saya menanyakan pada seorang teman yang bekerja penuh waktu sebagai guru yoga. Katanya,”Naikin aja! Siapa tau dia mau!” MC keberatan dan menawar setengah tarif yang saya ajukan, yang pada dasarnya rekomendasi teman saja. Dan kini saya mungkin dicap MC sebagai guru yoga komersil, mematok harga seenaknya.
Tidak lupa saya mengatakan di awal bahwa saya belum bersertifikat bahkan sebelum saya menyanggupi permintaan MC untuk mengajar. Saya tidak ingin menutupi fakta bahwa saya belum lulus dari sebuah perjalanan panjang yang disebut pelatihan guru yoga yang mungkin juga tidak akan saya pernah bisa lalui dengan mulus apalagi sampai lulus. Tentang hal ini, lain kali saya bahas lagi. Panjang dan dalam ceritanya.
Saya sampai di lobi apartemen itu, menukar kartu identitas lalu ke lift dan menekan tombol 27. Untuk tidak setinggi kantor saya nanti di lantai 39.
Karena saya sudah melakukan sedikit penyelidikan di dunia maya tentang asal usul MC, saya tak terlalu terkejut saat menyaksikannya membuka pintu. Seorang pria Kaukasia tanpa sehelai rambut pun di kepalanya. Di surel, saya pernah menyertakan tautan berita lama dengan sebuah foto yang tampaknya adalah MC. Dia mengenakan setelan jas formal dengan beberapa orang di sampingnya, salah satunya adalah pemegang saham perusahaan yang dijalankan MC, Sandiaga Uno. Mereka tampak berpose di panggung sebuah jumpa pers, setting yang amat familiar dengan pekerjaan saya juga. Ia menjawab:”Benar itu saya, tetapi saya sudah melakukan pekerjaan lain sekarang.”
Tingginya sedang saja, untuk ukuran orang benua Amerika dan Eropa. Mungkin 180-an centimeter. Tetapi saya tidak sampai mendongak ke atas untuk berbicara. Usianya mungkin sekitar akhir 40-an atau awal 50-an. Tidak gemuk tetapi juga tidak kurus. Tidak banyak otot juga. “Lean” bisa jadi kata yang tepat untuk menggambarkannya. Meski mengaku sebagai perenang, tingginya tidak sampai rangka atas pintu.
MC mempersilakan saya masuk ke apartemennya. Sendiri saja tanpa teman saya masuk ke dalam, seperti seekor ayam dipersilakan masuk oleh sesama ayam yang ramah, yang entah siapa tahu bisa menanggalkan bulunya dan menjadi serigala. Sebetulnya saya merasa biasa saja, tetapi begitu saya ditanya oleh sesama teman tentang murid privat saya ini, mereka menakut-nakuti dengan mengatakan hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sedikit pun sebelumnya, seperti…hmmm, sudahlah tak perlu dirinci.
MC tampaknya tinggal sendiri di sini. Apartemennya senyap. Tak ada jejak khas keluarga di sini. Semuanya kaku dan dingin. Tidak ada foto keluarga, tidak ada jeritan anak kecil. Hanya dia sendiri, dan saya, guru yoganya.
(bersambung)
Leave a Reply