Diskusi Politik di Kantor

Terus terang saya lumayan anti berdiskusi politik. Bukan karena saya tidak peduli masa depan bangsa, tetapi karena saya terlalu sayang dengan waktu dan tenaga saya untuk mengikuti semua manuver keji dan menggelikan para oknum badut politik. Go to hell with those fucking politicians!

Sayangnya, para politisilah yang menggerakkan negara dan bangsa ini. Saya sangat berharap saya bisa mencintai negara dan bangsa ini tanpa harus mengikutsertakan badut-badut politik yang malang melintang di headline bombastis semua surat kabar dan situs-situs berita. Tetapi kenapa semuanya harus satu paket???

Petang tadi, saya sendiri tidak percaya saya bisa ikut sebuah acara diskusi bertema politik di kantor. Memilih Jokowi, Prabowo atau golongan putih? Hmm, sebenarnya acara ini tidak untuk diskusi yang 100% serius dan penuh pemikiran berat tetapi namanya berbicara tentang isu dengan skala nasional seperti ini, tidak mungkin bisa menghindari perbincangan berat, retorika memuakkan, penyajian “data-data” atau asumsi-asumsi dan overgeneralisasi yang membabi buta. Memang ada kebenaran di dalam konten kampanye tim-tim sukses itu tetapi siapa yang bisa memastikan semua itu absah dan terbukti benar? Apakah semua informasi itu bisa di-cross check? Siapa saja bisa memelintir fakta demi keuntungan kelompoknya. Naif sekali kalau saya langsung percaya. Baik media massa atau media personal seperti blog pribadi pun sudah tidak bisa dipercaya lagi.

Selama ini saya secara sengaja tidak banyak mengkonsumsi berita pilpres (saya tidak menyaksikan debat presiden dan semacamnya). Jika saya tahu pun, itu karena secara tidak terhindarkan saya membaca konten itu di jejaring sosial. Di linimasa dan dinding saya sendiri, saya tidak berkeinginan memenuhinya dengan konten dan status politik. Cukuplah hanya saya yang tahu pilihan saya. Sesekali saya melontarkan status dengan tendensi pada calon tertentu tetapi saya tidak terus menerus melakukannya atau secara terbuka menghina kandidat tertentu. Atau yang lebih memuakkan lagi, memuja kandidat seperti Ahmad Dhani dalam video klip bertema Nazi dan fasisme itu.

Bahkan saat ditanya atasan mengenai pilihan saya, saya menolak menjawabnya. Buat apa? Cuma untuk bahan diskusi, debat kusir yang tidak ada ujung dan gunanya? Lalu untuk bahan cemoohan jika calon yang saya pilih kalah? Saya jawab saja pilihan saya rahasia. Habis perkara. Saya tidak peduli dengan anggapan dia. Toh, apa hubungan pekerjaan dan pilihan seseorang dalam pilpres? Konyol!

Diamnya saya juga menjadi sindiran. “Wah, kamu sukanya diam kalau diajak diskusi tapi habis itu ditulis panjang lebar!” Ditantang seperti itu, saya hanya berkomentar,”Ya, soalnya sudah bosan dengan retorika. Kalau debat hanya untuk menimbang positif negatifnya kandidat ya sampai kiamat juga tidak akan ada habisnya. Saya sih cenderung lebih nyaman berpikiran sederhana saja. Tidak usah terlalu peduli dengan informasi yang berseliweran, dengarkan kata hati saja. Apa yang menurut saya bagus ya coblos lalu bersiap menanggung konsekuensinya. Rakyat mau lebih sejahtera. Itu saja, termasuk saya. Toh, pemimpin bukan satu-satunya penentu keberhasilan bangsa. Rakyat juga harus bekerja keras mengubah nasibnya. Karena kadang pemimpin sudah mengajak kebaikan, rakyatnya masih susah diajak memperbaiki diri. Simpel.”

Duh! Kenapa jadi saya yang berkomentar panjang lebar begini ya? Apapun nanti hasilnya, semoga yang terbaiklah yang menjadi pemimpin kita. Memang tidak bosan ya jadi bangsa mediocre seperti ini? Kalau sudah ada yang terpilih, ya mari dukung demi kemajuan bersama bangsa dan negara. Mau Jokowi atau Prabowo ya dukunglah. Kan kalau sukses ya sukses bersama, terpuruk ya terpuruk bersama.

Ah, sudahlah. Yang penting tanggal 9 Juli nanti, kita gunakan hak suara kita. Mau tidak menggunakan pun, silakan saja. Setidaknya kita bisa mengucapkan:”Selamat libur!”

20140627-233927-85167656.jpg

Published by

akhlis

Writer & yogi

One thought on “Diskusi Politik di Kantor”

  1. Kantormu ‘lebih kondusif’ dalam suasana pilpres. Minggu lalu pada waktu sarapan, saya ‘dibantai’ rekan2 simpatisan Jokowi – JK hanya karena saya bilang: ‘Wah, saya kok bersimpati pada cara Prabowo menyatakan kebanggaan pada putranya’.

    Apesnya, waktu makan siang, saya ‘ditanya habis-habisan’ oleh simpatisan Pak Prabowo karena saya berkomentar: ‘Kenapa ya Prabowo mengucapkan salam dalam berbagai agama, padahal dia sudah memilih Muslim’. Maksud saya, latar belakang agama saya dan Pak Prabowo yang rada mirip, seharusnya membuat kami lebih berhati-hati dalam menunjukkan jati diri keislaman.

    Tapi jujur, saya lebih suka berdialog dengan teman-teman kantor yang simpatisan Prabowo, karena mereka memahami kondisi saya dan memberi masukan ‘sisi bagusnya Prabowo’ tanpa mengikutsertakan Pak Jokowi.
    Setelah mengecek video Pak Jokowi sholat di Youtube, saya berkomentar: ‘Seharusnya masalah sholat ga usah di-upload lah. Anggap angin lalu aja semua kampanye hitam soal itu. Kan jadinya malah timbul masalah baru, ketahuan bacaannya belum lurus’.
    Eh, seorang simpatisan Jokowi setengah berteriak pada saya: ‘Tanya tuh Prabowo, bisa sholat apa ga?’
    Wah!
    Jadinya ada yang berkomentar: ‘Makanya kalau masih swing voter, mending jadi pendengar yang baik aja.’

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.