Sebuah fenomena unik tengah terjadi di benua Eropa. Sejumlah partai sayap kanan (yang bercirikan nasionalis, proteksionis, dan anti kaum pendatang) mendulang dukungan yang signifikan di dunia politik Eropa. Konsekuensinya, posisi kaum kanan yang disebut “euroskeptik” ini akan bertambah dominan dalam komposisi anggota parlemen di banyak negara Eropa seperti Prancis, Inggris, Denmark dan Austria. Demikian seperti dikutip dari situs resmi Parlemen Eropa.
Menurut Marine Le Pen dari Front Nasional Prancis, kemenangan yang partainya alami baru-baru ini itu menjadi suatu pertanda bahwa para warga sudah mendambakan munculnya perubahan. Sementara PM Prancis dari Partai Sosialis Manuel Valls mengklaim fenomena kebangkitan kaum ekstrim kanan ini sebagai “gempa bumi.”
Naiknya pamor kaum sayap kanan di benua Eropa tidak berimbas secara instan pada tingkat dominasi politik mereka dalam penentuan kebijakan tetapi patut digarisbawahi bahwa peran mereka menjadi makin krusial dalam politik Parlemen Eropa di masa mendatang, ujar pakar politik Eropa Simon Usherwood dari University of Surrey, Inggris.
Dikotomi sayap kanan dan sayap kiri memang sudah kabur. Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, sayap kanan lebih cenderung pada konservatisme dan kestabilan negara sementara sayap kiri pada sosialisme dan anarkisme. Akan tetapi, dalam perkembangannya terjadi perpaduan dan distorsi yang membuat batas-batas antara keduanya menjadi lebur.
Di Indonesia, partai pengusung 2 calon presiden kita (Gerindra dan PDI Perjuangan) mungkin dapat dikatakan sebagai partai sayap kanan dan sayap kiri secara berurutan. Ditambah lagi dalam perjalanannya, Gerindra “ditunggangi” kelompok garis keras yang membuatnya lebih anti pendatang (baca: kaum imigran dan segala sesuatu yang berbau asing – xenophobia), nasionalis (cenderung chauvinis bahkan), dan proteksionis (terhadap kaum pribumi dan kepentingan mereka). Gerindra mencoba memposisikan sebagai kutub yang berbeda dari kutub lawannya. Gerindra ingin dikenal sebagai suatu entitas yang memiliki karakteristik yang tidak dimiliki atau berlawanan dengan PDI Perjuangan yang cenderung berat ke sosialisme, seperti konsep parlemen jalanan, sekulerisme (pemisahan negara dan agama). Terjadilah polarisasi secara alami agar pemilih tidak kebingungan membedakan keduanya, sekaligus menambah kebingungan pemilih dalam menentukan pilihannya di bilik suara tanggal 9 Juli nanti.
Apapun yang terjadi, semoga kandidat terbaik,amanah dan jujur yang akan menang dalam pergulatan yang makin memanas ini. Amin.
(sumber: “Sayap Kanan Menguat di Parlemen Eropa” dimuat di Majalah Tempo edisi 2-8 Juni 2014)
Leave a Reply