
Gelapnya gang itu membuat Miauw tak mampu berjalan ke arah yang ia hendaki. Semuanya kabur. Apalagi tubuhnya lemah. Suaranya tidak keluar seperti tercekat oleh sebongkah batu kerikil besar di tenggorokannya yang sempit. Bulunya kuyup, badannya bergetar tiap kali melangkah. Saat itu baru saja turun hujan deras, dan kubangan air ada di mana-mana.
Pandangannya berkunang-kunang karena ia begitu lapar. Warung di dekatnya memang penuh lauk pauk menggiurkan tetapi mana mungkin mereka mau melemparkan daging atau ikan ke arahnya?
Ia sungguh putus asa. Induknya tak tahu ke mana. Sesekali ia bertemu dengan tikus got yang besarnya melebihi dirinya. Lengkap sudah penderitaan Miauw.
“Mungkin jika aku terus berjalan, aku akan bertemu dengan ibuku,”gumamnya dalam hati sembari menggigil kedinginan. Untungnya gang itu tidak sedang banyak dilalui pengendara. Jika tidak ia bisa dilindas kapan saja.
Seorang perempuan tengah berjalan ke arah tempat Miauw berdiri dengan 4 cakarnya yang mungil. Ia berdoa agar perempuan dengan hak sepatunya yang tinggi dan keras itu tidak sampai menghunjam ke kepala, kaki, dada atau perutnya. Miauw hanya bisa diam menyaksikan dua kaki raksasa perempuan pekerja itu melewatinya.
Ia memejamkan mata, berharap agar perempuan itu telah lewat. Namun, bukannya lewat, perempuan itu berhenti tepat di depan Miauw. Miauw menunduk ketakutan di tepi kubangan air di gang yang remang. “Ya Tuhan, apa yang ia akan lakukan padaku???” Miauw merasa tegang.
Dan sejurus kemudian ia merasakan badannya yang ringan itu terangkat ke atas. Ia mengira dirinya telah lepas dari raganya sampai ia membuka mata kembali dan merasakan jepitan di tengkuknya yang rapuh. Perempuan itu mengangkat tubuh lemah Miauw yang mirip seonggok bulu putih dari jalanan.
Miauw bertanya-tanya apa yang akan dilakukan perempuan ini padanya. Apakah ia akan membawanya ke rumah perempuan itu?
Jepitan jemari perempuan itu di tengkuknya terasa lembut. Bahkan lebih lembut daripada cengkeraman rahang sang ibu yang kini entah di mana.
Ia sendiri bingung kenapa bisa tersesat di sini tadi pagi. Miauw tak tahu tempatnya berada. Malamnya ia merasa masih berada di sebuah sarang yang hangat dengan induknya yang beranak banyak.
Kucing berusia 1 bulan itu belum sadar bahwa dirinya dibuang oleh ibu dari si pemilik induknya. Miauw terlalu kecil untuk mengetahui rencana ibu itu. Saat Miauw tertidur pulas, sang pemilik merangkai siasat demi menyingkirkan anak-anak kucing yang sudah demikian banyak. “Kalau dibiarkan terus, rumah ini bisa kebanyakan kucing,”keluh ibu dari sang pemilik yang masih duduk di sekolah dasar. Ia memutuskan membuang sebagian anak-anak kucing saat buah hatinya masih terlelap. Ini saat yang tepat, pikir si ibunda, karena pagi hari anaknya sudah sibuk bersiap ke sekolah dan sore hari mengikuti les. Malam hari pun ia sudah lelah karena mengerjakan pekerjaan rumah. Sang ibu mengendap-endap pagi buta tadi dan berhasil mengeluarkan sejumlah anak kucing dari rumahnya.
Di antara mereka adalah Miauw. Rupanya sang ibu membuang Miauw saat kucing itu tertidur pulas. Keesokan harinya Miauw mendapati dirinya berada di gang tersebut. Tergeletak di pinggir jalan yang dingin.
Tak ayal Miauw seharian mengeong. Terus menerus mengeluarkan suara di sepanjang gang, berusaha menarik perhatian induknya yang ia yakini tak akan pernah tega meninggalkannya. Keyakinan itu tak pupus meski malam turun. Akan tetapi suaranya makin pecah dan cuaca buruk membuatnya lemah. Suaranya tertelan deru kendaraan dan hujan.
Miauw pun sudah pasrah.
Tetapi begitu wanita ini mengangkatnya dari tepi kubangan air di jalanan, Miauw merasa ada secercah harapan.
Wanita tersebut tak segan menggunakan syal mahalnya untuk membalut tubuh Miauw yang rapuh diserang dinginnya cuaca malam. Miauw ingin mengeong pendek untuk menyatakan rasa terima kasihnya, tetapi sekali lagi tercekat. Ia menurunkan Miauw di sebuah tempat yang kering. “Kasihan sekali kamu pusss…,”ucap perempuan itu lagi. “Pak, tolong dirawat yah ini kucingnya,”ia kemudian beranjak pergi.
Merasa iba, laki-laki tegap itu mengulurkan tangannya padaku sambil meletakkan sisa ikan cue dan nasi putihnya. Sisa berbuka puasa tampaknya.
Miauw bersyukur menemukan keduanya dan tanpa ragu menyantap semuanya. Perlahan-lahan ia menghabiskan makanan seadanya itu sampai tandas.
”Setelah ini aku harus mencari ibu,”pikirnya lagi. Miauw meninggalkan tempat sang lelaki baik hati.
Kalau ia manusia, ia akan berpamitan dan mencium tangannya tetapi ia seekor kucing.
Bau syal tadi masih melekat di indra penciumannya. Kini ia mengenal bau khas wanita itu meski ia sudah pergi. Entah kenapa, bau induknya kini sudah terlupa. Bau wanita itu lebih lekat dalam memorinya.
Bau itu menuntun Miauw ke luar gerbang tempat si pria baik hati bersantai lalu menyusuri setapak demi setapak gang sempit itu.
Miauw hanya ingin mengikuti bau yang penuh kasih itu. Ia sudah tak peduli lagi dengan induknya. “Aku sudah mengeong sepanjang hari sampai kehilangan suara, jadi aku ingin mempertaruhkan hidupku ini hanya pada ia yang sudah menunjukkan kasih sayangnya padaku. Kasih sayang yang nyata,”Miauw menimbang.
Ia terus bergerak. Keempat cakarnya beradu dengan semen jalan gang itu. Makanan tadi telah menguatkan dirinya.
Hidungnya mendeteksi bau wanita tadi. Makin ia melangkah ke depan, bau itu makin kuat. Kegelapan tak menjadi halangan baginya karena ia yakin wanita itu tepat di hadapannya.
Tubuh wanita itu berada dalam posisi tergeletak aneh di pinggir jalan. Miauw meraba dengan cakarnya, bukan dengan maksud melukai. Ia hanya ingin menemukan sentuhan kasih sayang tadi.
Namun, tubuh perempuan itu diam. Tampak kehilangan kesadaran. Syalnya tadi tergeletak di sampingnya. Dari sinar lampu sebuah motor yang temaram dari kejauhan, terlihat wanita itu terbaring diam. Roknya tersingkap. Pakaiannya acak-acakan.
Miauw menangkap gerak gerik seorang pria di sebelah tubuh si wanita. Pria itu tampak sibuk mengancingkan celana jeansnya dan kemudian buru-buru mengaduk-aduk isi tas wanita yang terus saja diam itu.
Dalam sekelebatan cahaya lampu motor yang menuju ke arah mereka, Miauw tahu pria itu harus ia serang. Nalurinya berkata demikian. Tak ada penjelasan. Hanya dorongan. Cakar mungilnya bergerak liar setelah mendekati tubuh si pria.
Dalam satu lompatan, Miauw tahu ia harus mencakar wajah biadab itu dengan dua cakar depannya. Sisa-sisa tenaganya terkumpul seketika dan Miauw melompat tinggi. Pria itu tak menyangka.
Dan hap!!! Sebelum cakarnya mendarat ke wajah manusia keji tadi, tangan pria itu sigap menangkisnya. Tubuh mungil Miauw terlempar seketika lalu tepat mendarat di jalan yang dilintasi sepeda motor itu.
Miauw terlalu lemah mengeong saat perutnya diterjang roda raksasa sepeda motor itu. Tulang belulang dalam badannya tak terasa lagi sejak detik itu. Dan untuk terakhir kalinya ia menyaksikan pengendara itu naik ke sepeda motor tadi dengan tergopoh-gopoh bersama tas sang perempuan malang. “Ayo cepat naik!” ia mendengar ajakan si pengendara. Bersama mereka melesat ke depan di kegelapan gang, menyisakan dua makhluk yang tak berdaya di belakang.
Sedih amat iniyh..