Menarik. Itulah yang terpikir saat saya mendapati pendapat mendiang Peter Drucker, pakar manajemen dunia, yang dikutip oleh Susan Cain dalam bukunya Quiet. Drucker mengatakan:”The one and only personality trait the effective ones I have encountered did have in common was something they did not have: they had little or no ‘charisma’ and little use either for the term or what it signifies. ” (Quiet: 53) Ia menemukan benang merah yang menghubungkan para pemimpin yang efektif dalam bekerja, yaitu kurangnya atau tiadanya ‘kharisma’ dalam diri mereka. Dan meskipun dalam taraf tertentu mereka memilikinya, para pemimpin ini tidak terlalu banyak menggunakannya.
Klaim Drucker dikukuhkan oleh penelitian ilmiah Bradley Agle, seorang profesor manajemen di Brigham Young University. Agle mempelajari aspek kharisma para CEO dari 128 perusahaan besar dunia dan menemukan bahwa mereka yang dianggap kharismatik oleh para eksekutif topnya memang menikmati gaji dan tunjangan yang lebih melimpah namun bukan pemimpin yang memiliki tingkat kinerja yang lebih baik dibandingkan yang tidak berkharisma atau berkharisma rendah.
Seorang pemimpin yang bekerja efektif menurut Prof. Quinn Mills dari Harvard Business School yang memiliki spesialisasi dalam gaya kepemimpinan tidaklah selalu mereka yang memiliki kepribadian ekstrovert. Mills mencontohkan Lou Gerstner, yang menurutnya introvert. “Gerstner kuliah di sini (Harvard Business School- pen). Saya tidak tahu bagaimana ia menggambarkan dirinya sendiri. Ia pernah harus memberikan pidato di depan audiens yang besar dan ia berhasil dan ia tampak tenang. Namun, dalam pandangan saya ia secara dramatis lebih tampak nyaman dalam kelompok kecil. Banyak dari mereka (para pemimpin yang efektif – pen) yang seperti itu sebetulnya. Memang tidak semua tapi banyak sekali yang begitu,”terang Mills sebagaimana dikatakan dan dikutip oleh Susan Cain (Quiet, 54).
Gagasan lain yang tak kalah menarik tentang kepemimpinan introvert dengan kinerja berkualitas ialah temuan studi Jim Collins, pakar teori manajemen pengaruh. Lagi-lagi, Collins mengatakan para CEO yang berkinerja luar biasa adalah mereka yang tidak dikenal berkat kepribadian yang menarik perhatian (flash or charisma) tetapi oleh watak yang rendah hati (extreme humility), tulis Cain lebih lanjut (Quiet, 54). Para pemimpin itu dikenal memiliki sifat tenang, rendah hati, sederhana, pendiam, pemalu, anggun, lembut, teguh, tidak suka menonjolkan diri dan kerap diremehkan (Quiet, 55).
Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan Adam Grant, profesor manajemen di Wharton, dimaksudkan untuk menguji hipotesis tentang kepemimpinan introvert, bahwa para pemimpin introvert lebih efektif dalam bekerja dengan para anggota tim yang proaktif sementara pemimpin ekstrovert bekerja lebih baik dengan anggota tim yang pasif dan menurut (Quiet, 56). Para pemimpin introvert, kata Grant berdasarkan temuan studinya, bisa dipahami bekerja lebih baik dalam tim yang dipenuhi orang dengan inisiatif dan gagasan positif. “Introverted leaders create a virtuous circle of proactivity,”simpul Cain berdasarkan temuan Grant. Ini bisa terjadi karena kecenderungan mereka untuk mendengarkan orang lain dan kurangnya hasrat mendominasi situasi sosial. Karena itulah para pemimpin introvert cenderung mendengar dan menerapkan saran. Dengan menjaring saran dari mereka yang berbakat tinggi dalam tim, pemimpin introvert terus mendorong mereka untuk terus proaktif. Cain sepakat bahwa pemimpin introvert lebih berpikiran terbuka terhadap ide orang lain.
Membaca semua paparan karakteristik pemimpin introvert di atas, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya seorang Joko Widodo. Pertama, karena Jokowi – demikian sapaan akrabnya – adalah sosok yang dapat dikatakan tanpa karisma dan wibawa yang tinggi. Bagaimana tidak? Ia dianggap sebagai ‘underdog’ dalam hal latar belakang keluarga dan penampilan. Jokowi sering diolok-olok memiliki penampilan fisik yang kampungan, atau ndheso. Keluarganya juga bukan keluarga dari dinasti penguasa negeri ini di periode sebelumnya. Jokowi betul-betul orang baru. Untuk menambahkan kesan tanpa karisma itu, Jokowi dianggap sejumlah pihak sebagai capres boneka tatkala Megawati mengumumkan pencalonan Jokowi sebagai capres. Dan saya pun menganggapnya demikian. Bagi saya, ia tampak agak sedikit terlalu patuh pada tetua PDI Perjuangan yang masih sangat berpengaruh saat ini, Megawati Soekarnoputri. Naiknya Jokowi ke tampuk kekuasaan yang lebih tinggi dalam waktu yang relatif singkat juga bukan karena kharismanya sendiri. Menurut saya, Jokowi lebih diakui karena kemampuannya merangkul orang bawah daripada memupuk kharisma belaka. Kharisma membuat pemimpin terkesan jauh tak terjangkau rakyatnya dan Jokowi membuat dirinya setara dan terjangkau oleh hampir semua orang melalui aktivitas blusukannya dan aktifnya ia sejak dulu di jejaring sosial. Tiadanya karisma justru membuat Jokowi menjadi berbeda dari pemimpin kebanyakan.
Pemikiran Collins bahwa pemimpin introvert itu cenderung rendah hati dan tak suka menarik perhatian juga tecermin dalam sosok Jokowi. Jokowi lebih jarang sesumbar seperti saat pihak lawan sudah nyaring mengklaim kemenangan, ia mengatakan untuk lebih baik menunggu hasil penghitungan KPU tanggal 22 Juli lalu. Jokowi juga bepergian dinas dengan menggunakan penerbangan komersial kelas ekonomi saat menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Ia menggunakan mobil Innova biasa sebagai sarana transportasi dinasnya. Padahal Innova bukan mobil eksklusif, tapi mobil sejuta umat. Mayoritas kalangan ekonomi menengah bisa mengendarainya jika mereka mau.
Gongnya adalah simpulan Cain bahwa pemimpin introvert mampu membangun lingkaran positif yang tersusun dari orang-orang yang proaktif. Kita bisa saksikan sendiri betapa meriahnya konser dua jari yang diselenggarakan sebelum berakhirnya masa kampanye. Jokowi dikelilingi oleh para relawan yang mendedikasikan waktu, tenaga dan pikiran mereka untuk mengantarkannya ke kursi presiden. Mereka melihat Jokowi sebagai harapan baru, yang tidak terkait dengan masa lalu. Namun demikian, sebagian pihak meragukannya, bukan karena pribadi Jokowi tetapi agenda-agenda tersembunyi di balik para pendukungnya.
Terlepas dari semua pertentangan tersebut, apa yang lebih menarik diamati ketegasan Jokowi dalam memilih para menteri dengan menggunakan metode brainstorming. Ia menampung masukan dari masyarakat via jejaring sosial dan web. Masukan-masukan itu diyakini menjadi indikasi awal pemerintahan yang lebih demokratis dan transparan. Bukan berdasarkan politik dagang sapi layaknya di masa lalu. Mereka yang menduduki jabatan menteri haruslah mereka yang benar-benar kompeten dan profesional di bidang mereka jadi tidak dipilih hanya karena pertimbangan politis. Itulah yang saya, dan sebagian rakyat Indonesia, rindukan selama ini: dipimpin oleh mereka yang kompeten dan profesional.
Dan lebih dari itu, saya sangat bangga memiliki presiden yang introvert karena saya sendiri pun demikian. Saya pikir keberhasilan Jokowi bukan cuma awal Revolusi Mental tetapi juga awal dari fenomena yang disebut Susan Cain sebagai “Quiet Revolution”, revolusi yang dipimpin oleh para pribadi introvert. Mahatma Gandhi mengatakan:”In a gentle way, you can shake the world.” Dalam sikap diam dan lembutnya, Jokowi juga membuktikan dirinya mampu ‘mengguncang’ bumi pertiwi.