Kita Mau #indonesiabersih!!!

‎Kebersihan sebagian dari iman, begitu katanya. Indah dan ideal sekali. Nyatanya? Di negeri yang secara statistik dipenuhi muslim ini, konsep itu cuma LIP SERVICE! Cuma slogan, hanya motto, semboyan, kata-kata mutiara! Sepanjang mudik kemarin, misalnya, saya saksikan sendiri bagaimana tepi jalan di jalur mudik juga menjadi korban sampah.’

Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah di jalur hijau seberang gedung Mahkamah Konstitusi. Sejumlah orang tanpa ampun menginjak tanaman. Menginjak rumput masih dimaklumi, tetapi mereka menginjak dan menduduki tanaman yang lebih besar, untuk kemudian duduk, makan dan minum. Bisa ditebak, kemasan plastik dan kertas bungkusnya tersebar ke mana-mana. Tidak ada yang mau peduli. Sangat menjijikkan!

Saya peduli, tetapi saya malu memungut sampah mereka. Malu dianggap gila.
Gila karena terlalu gandrung kebersihan di lingkungan sekitar.
Gila karena ingin negeri ini lebih bersih dan tertata.
Gila karena ingin Indonesia dianggap lebih Islami daripada negeri-negeri Barat.
Gila karena ada orang-orang yang belum sadar mereka mengotori rumahnya sendiri dan tidur di dalamnya!

Saya teringat dengan penulis David Sedaris yang juga dianggap gila. Selain karena tulisannya yang gila dan blak-blakan, Sedaris punya satu kebiasaan yang amat ingin saya contoh. Sebelum ke luar rumah untuk berjalan-jalan di bukit dan padang rumput luas di rumahnya di Inggris, ia membawa kantong belanja. Bukan untuk membawa belanjaan, tetapi untuk menampung sampah-sampah yang ia pungut sepanjang perjalanan. Sedaris selalu melakukannya setelah menulis di pagi hari. Ia menyusuri bukit dan jalanan di pedesaan Inggris yang sepi dan indah tetapi menyimpan sampah. ‎Persetan dengan orang yang menganggapnya eksentrik. Ia mengaku pernah dianggap orang sedang menjalani hukuman kerja sosial memungut sampah karena sudah berbuat kejahatan. Padahal tidak demikian adanya. Untungnya, tidak seperti saya yang malu dicap gila, Sedaris terus melakukannya. Ia terus berjalan dan memungut sampah, membawanya ke rumah dan membuangnya pada tempat yang semestinya.

Lalu tiba-tiba tadi malam saya dihubungi ‎oleh seorang teman yang mengajak saya untuk menggalakkan semangat menjaga kebersihan ini. Ia ibu 3 anak, dengan suami berasal dari Prancis. Bosan dan kesal, itulah yang ia rasakan tatkala anak-anaknya membandingkan Indonesia dengan Prancis soal kesadaran menjaga kebersihan lingkungan dan alam sekitar. Indonesia, mau tidak mau harus diakui, adalah bangsa yang masih harus belajar banyak soal satu itu ke bangsa-bangsa lain. Teman saya ingin sekali “memunguti semua sampah plastik yang bertebaran di Senayan”. Mungkin karena Ia kerap membawa anak-anaknya ke sana.

Begitu mengakarnya budaya buang sampah sesuka hati itu membuat saya memiliki satu hipotesis bahwa orang Indonesia sebagian besar tidak peduli atau memilih tidak peduli pada urusan sampah (terutama plastik dan ‎bahan-bahan kimia non-organik berbahaya lainnya) karena mereka belum diberi edukasi bahwa sampah anorganik itu tidak akan bisa membusuk begitu saja dan terurai di alam bebas layaknya sampah organik. “Kenapa harus dipungut dan dikumpulkan? Toh nanti akan lenyap sendiri,”pikiran mereka bisa jadi begitu. Tetapi sampah plastik bukanlah daun rontok yang bisa lenyap dan menyuburkan tanah secara alami. Sampah plastik berasal dari senyawa-senyawa kimia buatan manusia yang tidak secara alami ada dan terbentuk di alam bebas sehingga ia dianggap asing oleh alam dan membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk akhirnya terurai, diterima kembali oleh alam ini.

Sekali lagi, perlu ada edukasi untuk membangkitkan kesadaran menjaga kebersihan dan menjaga kelestarian alam. Dan yang tak kalah penting ialah memberikan keteladanan, seperti halnya teman saya yang ingin dirinya bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya dalam menjaga kebersihan. Jangan beralasan:”Yang penting hatinya bersih” karena kita tahu keduanya – kebersihan fisik dan rohani – itu penting.

Siap membuat #indonesiabersih dari sampah?

Baca juga: Bagaimana Amerika Serikat Bergulat dengan Sampah Plastiknya

Jalur Pantura saat mudik kemarin terasa seperti lautan sampah. Semua orang berhenti dan beristirahat lalu makan dan minum kemudian membuang sampah seenaknya. Kenapa orang Indonesia seperti ini? Sebuah keprihatinan bagi kita semua yang merasa warga negara yang peduli.

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.