Menulis Itu Harus Egois

‎Menulis untuk orang lain itu susah, dan memang tidak seharusnya begitu. Apalagi kalau masih dalam tahap belajar. Makin terfokus pada pembaca, penulis biasanya makin stres. Dan meski stres itu bagus untuk memacu konsentrasi dan kinerja, jika berlebihan tentu dampaknya pada kreativitas berpikir seorang penulis juga kurang baik.

Menyaksikan wawancara Stephenie Meyer dengan Times, saya menyimpulkan menulis yang paling mudah adalah untuk diri sendiri. Meski untuk diri sendiri, bukan artinya bisa asal-asalan! Kita bisa ambil contoh dari catatan diari yang kata Dewi Lestari mirip “diare” verbal. Encer, keluar terus sampai si pemilik lemas, tapi miskin ampas alias esensi atau intisari yang bisa dipelajari. Maaf kalau deskripsinya terlalu memualkan.

Begini jawab Stephenie Meyer kurang lebih saat ia ditanya untuk siapa ia menulis Twilight:”Saya menulisnya untuk diri saya sendiri.” Dia tidak menulis Twilight untuk menyenangkan orang lain atau untuk dinikmati untuk orang lain tetapi karena ia ingin menulis buku yang ia hendak baca dan nikmati sendiri. Atau dengan kata lain, ia ingin menulis buku yang sesempurna mungkin di dalam benaknya demi kepuasan diri pertama-tama. Orang lain nanti dulu.

Menurut saya, pendekatan semacam ini patut dicoba. Dan ini bukan soal salah atau benar, terbukti atau tidak, tetapi lebih pada cocok atau tidak cocok karena tiap penulis memiliki gaya dan motivasi menulis yang unik.

Saya juga pernah mendengar novelis Ann Patchett ‎tidak mau mengikat kontrak buku dengan penerbit sebelum ia memang memiliki idenya dulu. Jadi Patchett menulis karena ide dalam dirinya dulu, bukan karena dipaksa oleh kontrak. Ia lebih menghargai dorongan internal dalam dirinya selama proses kreatif menulis daripada kekuatan eksternal seperti ketakutan karena melanggar tenggat waktu dan semacamnya. Saya suka pemikiran itu karena Patchett memperlakukan menulis sebagai ritual sakral, yang meski hasil kerjanya bisa dikomersialisasikan kemudian untuk mencari penghidupan tidak membuatnya terlalu murahan. Murahan adalah saat penulis menulis demi bayaran, royalti dan imbalan semata tanpa memiliki ide otentik dan idealisme serta pesan positif yang unik di dalamnya. Jiwa menulisnya rela dibiarkan tercerabut dari akarnya demi uang atau motif lain yang lebih dangkal atau keuntungan jangka pendek.

‎Jadi kalau saya harus menulis untuk lomba pun rasanya akan berbeda dibandingkan jika kita menulis karena dorongan dan inspirasi dari dalam benak. Itulah mengapa rasanya saya lebih susah menulis jika dorongan eksternal terlalu banyak bermain. Rasanya aneh, apalagi jika Anda menulis karya fiksi.

Menurut Anda?



2 responses to “Menulis Itu Harus Egois”

  1. Artikel yang sangat informatif. Teruslah menulis Pak… Menulislah karena dirimu sendiri. Saya akan selalu menjadi pembaca setia untuk setiap artikelmu yg diposting.

    1. Ngeri ih. Serius banget lu komennya!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: