Apa sih keistimewaan masuk koran? Banyak orang masuk koran, toh hidup mereka tidak kunjung membaik, rejeki mampet, aset bersih tidak bertambah, saldo rekening juga stagnan saja. Malah kalau mau masuk koran untuk beriklan, bayarnya mahal bukan kepalang.
Mereka yang masuk koran biasanya cuma kaum pesohor yang sedang tertimpa masalah pribadi yang pelik, atau para pakar yang sangat disegani orang awam seperti Roy Suryo. Selain itu, koran juga kerap meliput mereka – orang awam – dengan prestasi luar biasa. Luar biasa dalam arti positif dan negatif. Lihat saja Florence Sihombing yang sampai meluas ke mana-mana. Penghinaannya pada Yogyakarta begitu epik hingga membuat banyak orang antusias mengikutinya.
Saya bukan ketiga golongan tadi tetapi toh saya pernah diliput oleh koran. Terdengar layaknya sebuah prestasi besar . Ada foto diri saya di situ, tampak dari samping saat saya sedang melayani pertanyaan dari seorang pewarta muda. Ia tampak terburu. Wawancaranya singkat, cuma membahas tentang pendidikan terutama pendidikan di tingkat dasar, karena saat itu saya mengajar di sebuah jurusan yang beraroma pendidikan. Ada semacam ekspektasi yang bisa saya tangkap dari si wartawan. Ia ingin saya menjawab layaknya pakar pendidikan padahal meskipun saya mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, saya tidak pernah secara intensif belajar mengenai pendidikan. Bahkan bisa dikatakan karir mengajar saya yang pendek itu cuma keterpaksaan dan saya hanya masuk kelas dengan logika sederhana: bagaimana agar mereka yang saya ajar bisa membentuk pengetahuan mereka sendiri tentang topik yang diajarkan dan saya sebagai fasilitator semata.
Maka Anda bisa bayangkan bagaimana rasanya diberikan pertanyaan yang di luar bidang penguasaan saya. Saya memutar otak sepanjang wawancara, mencari jawaban yang pas dan logis. Tetap saja bagaimana pun juga jawaban saya dangkal.
Keesokan harinya artikel hasil wawancara itu ditemukan seorang kerabat di koran lokal. “Kenapa tidak beritahu kalau masuk koran?”tanyanya. Entahlah, mungkin karena saya malu dengan publisitas dan utamanya ialah karena kurang puas dengan jawaban saya. Wajar saja karena wartawan muda itu menemukan narasumber yang kurang kompeten di bidang yang ia ingin bahas. Dan memang benar saat saya nekat membacanya, isinya bernada normatif. Dengan kata lain, jawaban saya standar saja, tidak mendalam. Semua orang dengan akal sehat bisa melontarkan jawaban semacam itu. Tak perlu sekolah yang tinggi apalagi gelar dari kampus negeri bergengsi.
Artikel dan foto yang menampilkan saya itu tidak saya kliping atau laminating. Buat apa? Toh tidak membuat saya bangga masuk koran.
Leave a Reply