Terakhir kali mengetuk pintu kamarku di malam hari, ia meminta pinjaman uang. Saat itu ia mau ke Bandung. Butuh uang Rp400.000, pintanya dalam bahasa Inggris yang lancar. Katanya ia belum terima transfer dari istrinya di Seoul. Semua gajinya ditransfer ke sana, dan ia akan mendapat uang dari istrinya. Kadang kiriman uang itu terlambat dan ia panik bukan kepalang. Pasalnya ia harus membiayai pengeluaran sehari-hati. Tapi aku cuma punya Rp200.000 di dompet. Kuserahkan ke dia. Ia pun pernah meminjam sekali dan uangku dikembalikan tepat waktu, sehingga rekam jejaknya cukup bagus. Katanya 3 hari lagi setelah kembali ke Jakarta, dan uang itu ada, ia akan lunasi segera.
Ia menepatinya. Tanpa aku menagih, ia sudah mengetuk pintu kamarku lagi. Di tangannya ada 2 lembaran uang 100 ribu Rupiah baru. Kamsahamnida, ucap mr Ahn dengan mata berbinar. Aku paham, berkat sebulan kursus bahasa ini di tahun 2009. Kedua matanya sipit tetapi bukan sipit khas Tiongkok. Entah lah bagaimana perbedaannya tetapi sipit keduanya sedikit berbeda.
Hidup terpisah dari sanak keluarga memang membutuhkan ketabahan tersendiri. Untung mr Ahn memiliki teman-teman setanah air di sini. Jika tidak, aku pastikan ia bisa gila seketika. Jakarta bukan tempat yang ramah bagi mereka yang berasal dari luar. Bandingkan saja dengan Seoul, maka Jakarta seperti itik buruk rupa. Sangat kusam, carut marut.
Namun, ia di sini bukan untuk menikmati hidup tetapi membangun hidup. Ia ingin anaknya lebih sejahtera darinya. Karenanya ia berhemat selalu. Pulang ke kampung pun cuma sekali dalam 4 tahun. Ia pulang akhir tahun lalu setelah dari 2009 berada di ibukota Indonesia.
Malam ini ia ketuk pintuku lagi. Kali ini bukan untuk meminjam uang atau melunasi pinjaman. Aku pikir ia ingin aku membantunya memperbaiki koneksi Internet yang macet. Pernah juga ia mengetuk pintuku tengah malam. Modemnya gagal bekerja. Padahal ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Aku buka modemnya. Masih bagus. Lalu aku masukkan kartu modemnya ke smartphone Samsung Galaxy Young mungilnya. Tak ada kerusakan. Saat tethering dicoba, memang tidak bisa. Jadi bukan modem yang bersalah. Kuperiksa jumlah pulsa kartunya. Nol. Pantas saja.
Rupanya ia kembali mengetuk pintuku hanya untuk mengantarkan songpyeon, makanan bulat berwarna-warni asli negerinya. “Halal,”ia memberikan setengah kotak songpyeon penuhnya padaku. Ia selalu mengatakan itu sebelum memberikan makanan apapun padaku. Dulu ia juga yang memberiku kimchi asli buatan rumah dari temannya. Bagaimana kudapan ini tidak halal? Songpyeon hanya terbuat dari tepung ketan dan isi kacang tanah yang manis. Warnanya bervariasi dan cerah bukan main. Cerahnya sama dengan suasana hati kami para semut pekerja di akhir pekan ini. Semut-semut pekerja kecil yang bekerja sepanjang waktu melayani ibunda ratu yang cuma bisa duduk di singgasana dan makan lalu bertelur sebanyak-banyaknya.
Kamsahamnida, mr Ahn…
Ia pun masuk lagi ke peraduannya yang ada selangkah dari pintu kamarku. Mungkin untuk kembali bekerja. Begitulah orang Korea. Hidup untuk berkarya. Sementara orang Indonesia lebih terlena dengan alamnya yang berlimpah tiada tara.
Leave a Reply