Di bagian pertama, sudah dibahas separuh bagian tanda tangan Jokowi. Saya akan mulai di bagian selanjutnya yang polanya lebih reguler. Kita bisa amati bersama ada goresan melingkar yang cukup rumit dan repetitif, persisnya sampai empat kali dengan bagian akhir yang terus merapat. Dari atas, goresan pena menuju ke bawah sedikit, yang dapat diartikan keinginan Jokowi untuk membumi. Bila dikaitkan dengan watak, kemungkinan besar ini berkaitan dengan kerasnya sifat Jokowi saat kecil tetapi melumer di saat ia makin dewasa. Ibunya menceritakan:”saat masih kecil Jokowi memiliki kemauan keras dan harus dituruti”. Misalnya saat Jokowi meminta mainan atau camilan untuk dibeli, permintaannya harus dituruti. Namun, Jokowi kecil tak selalu menghabiskan camilan itu. (sumber: “Anak Saya Seorang Pemberani”, The Masketeers). Memasuki masa remaja, tampaknya Jokowi mulai menata dirinya dengan tidak harus menuntut macam-macam pada orang tuanya seperti saat masih anak-anak. Dari fase menata diri itu, karakternya menjadi makin dewasa dan kedewasaan itu tecermin dari keteraturan dan stabilitas di pola-pola goresan ini. Kita bisa saksikan adanya konsistensi ukuran tulisannya di bagian paruh kedua. Semacam ada bentuk kumparan yang seragam di sini, sebuah turbulensi. Naik turun beberapa kali, tampak terputus tetapi pada dasarnya saling kait mengkait karena dibentuk dengan gerakan tangan yang konsisten.
Kumparan itu bisa dikatakan terletak dalam satu garis lurus horisontal (rakyat?). Dan jika dicermati lagi ada 4 kumparan terpisah di sini. Kalau saya mengacu pada kisah hidupnya, saya baru menyadari bahwa keempat kumparan ini bisa diartikan sebagai pencerminan 4 fase kepemimpinan Jokowi: saat ia menjabat sebagai ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), jabatan walikota Solo/ Surakarta, gubernur DKI Jakarta, dan akhirnya presiden Republik Indonesia.
Jokowi ternyata suka “berhias”. Anda lihat ada tanda panah ke bawah atau bentuk mirip centang di atas kumparan ketiga? Nah, izinkan saya mengutip dari buku Analisis Tulisan Tangan karya Bayu Ludvianto lagi. Di halaman 170, ia menjelaskan ada sebagian pemilik tanda tangan yang suka dengan hiasan di sekitar tanda tangan mereka. Bentuknya bisa bervariasi, ada corat coret, ada gelembung dan lain-lain. Dalam kasus Jokowi, menurut saya bentuknya adalah centang besar di atas tadi. Hiasannya termasuk moderat, tak berlebihan. Tidak heran, ia bukan pribadi yang suka mencolok. Tetapi ia tampaknya berhias dengan sebuah tujuan yang lebih besar, bukan jenis upaya berhias untuk menutupi kelemahan dirinya tetapi untuk menandaskan siapa dirinya. Seperti saya jelaskan tadi kumparan ketiga menjadi simbol masa jabatan gubernur DKI Jakarta dan transisi ke masa jabatan presiden RI yang sangat amat bergolak bagi diri dan orang-orang di sekelilingnya. Tanda panah yang menghunjam ke bawah itu bisa dimaknai sebagai ujian dari arah atas (baca:Tuhan YME), yang berupa amanat untuk menjadi pemimpin sebuah bangsa besar yang juga diiringi dengan berbagai macam cobaan sepanjang masa kampanye hingga nanti menjabat. Kita tahu betapa beratnya perjuangan Jokowi mendaki posisi RI 1, bahkan setelah putusan pemenangan oleh KPU dan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan, ujian masih terus menghadangnya. Namun, Jokowi tidak membuat tanda panah itu tertutup. Saya bisa menginterpretasikannya sebagai keterbukaan diri Jokowi pada Tuhan, sebuah perasaan pasrah, tawakal terhadap-Nya. Bentuknya yang mirip segitiga terbuka itu mengingatkan kita pada sebuah corong air, yang menampung air yang diguyurkan dari atasnya. Dalam kiasan relijius, bentuk segitiga bisa dikaitkan dengan bentuk telapak tangan para muslim saat berdoa. Menengadah ke atas, menyambut rahmat Ilahi.
(bersambung)
Leave a Reply