Kontroversi pendidikan formal versus pengalaman membuat banyak orang urun komentar di jejaring sosial. Ada yang membela habis-habisan Susi Pudjiastuti, si menteri perhubungan dan pemilik Susi Air, itu karena ia dianggap lebih konkret dalam bekerja meskipun merokok di depan umum. Hasil kerjanya nyata, dapat diraba. Sementara di kutub lain, ada yang mengangkat Ratu Atut untuk dibandingkan dengan Susi. Berjilbab, santun, mengenyam pendidikan formal tapi ratu korupsi. Bahkan untuk menekankan
Siapa yang lebih baik dalam pertarungan “Ratu Atut VS Susi
Pudijastuti” ini? Saya tidak bisa menjawab salah satunya karena pribadi manusia itu kompleks. Membanding-bandingkan dua manusia seringkali membuat kita terjebak dalam dikotomi yang tidak adil.
Menurut hemat saya, tidak perlulah kita harus menganggap manusia satu jauh lebih baik dari manusia lain. Kita semua sama. Kita kan sudah tahu bahwa hidup tidak semudah memilih antara A dan B. Ada begitu banyak kompleksitas tersimpan dalam memutuskannya.
Saatnya kita singkirkan pemikiran ala ‘binary opposition’ itu. Semuanya seolah bisa disederhanakan dengan A dan B, putih dan hitam, baik dan buruk. Dunia ini tidak sesederhana itu. Ada baiknya kita lebih bijak dalam memandang dunia dengan memandangnya sebagai sebuah spektrum, gradasi warna, atau apapun itu yang memiliki tingkatan yang sangat halus. Bukan hanya hitam dan putih, ada juga abu-abu pucat, abu-abu gelap, abu-abu cenderung kuning, abu-abu yang tercampur hijau. Bukan cuma baik dan buruk, tetapi juga ada dermawan tetapi tukang poligami, alim pada Tuhan tetapi kikirnya bukan kepalang, ramah dan supel tetapi suka menelikung dari belakang. Semua makhluk memiliki anugerah untuk memiliki kompleksitas karakter semacam itu. Bahkan hewan sekalipun. Anjing yang bagi umat muslim air liurnya dianggap najis tetapi dalam kenyataannya juga memiliki manfaat dalam mencegah tindak terorisme yang dilakukan oknum ‘muslim’ sendiri. Tikus yang kita anggap hewan menjijikkan pun memiliki perannya sendiri karena ia bisa menjadi kelinci percobaan di lab.
IT’S A MIXED UP WORLD, begitu senandung Sophie Elis Bextor dalam lagunya. Dan memang dunia ini dan isinya membingungkan, tidak semudah membedakan kutub utara dan selatan. Bahkan kalau Anda pernah membaca sebuah artikel, kabarnya kutub utara dan selatan tampaknya tengah mengalami pergeseran sehingga bisa jadi kutub utara dan selatan bisa berbeda dari apa yang Anda pelajari dari buku IPA dekade 1990-an. Semuanya terus berubah, berkembang, bergeser dan bergolak. Karena stabilitas yang terlalu lama bisa berarti kematian.
Kembali pada perdebatan SUSI VS ATUT. Menurut saya, give it a rest. Make it stop. Lebih baik kita bekerja sebaik-baiknya daripada sibuk mengata-ngatai atau menghakimi orang lain.
Because small people talk about other people;
Bigger people about ideas and actions…
John Green, penulis The Fault in Our Stars, pernah mengatakan dalam video Vlog Brothers
di YouTube bahwa menulis novel yang bagus dalam sebulan memang MUSYKIL. Kecuali Anda seorang jenius atau Anda orang kaya raya dan pemilik perusahaan penerbitan yang bisa seenaknya mencetak karya Anda yang paling kacangan dan picisan sekalipun untuk dipublikasikan, Anda pasti membutuhkan proses untuk membuat karya fiksi terbaik Anda.
Namun, demikian Greene yakin bahwa waktu sebulan itu cukup untuk menghasilkan sebuah draft pertama yang lumayan layak baca, meski nantinya tidak tertutup kemungkinan Anda bisa mengalami “pembantaian” habis-habisan oleh editor.
Karena itulah, saya menantang diri sendiri untuk bisa menghasilkan sebuah draft karya fiksi, entah itu novel atau novelet atau kumpulan cerpen dan saya akan memulai menulisnya sekarang.
Saya tidak akan peduli dengan pendapat orang karena saya hanya ingin menuliskannya untuk memuaskan diri sendiri dulu. Saya ingin menulis untuk menghasilkan karya yang saya ingin konsumsi sendiri, begitulah juga cara kerja Stephanie Meyer yang dikenal dengan Twilight Series-nya yang fenomenal. Egois kedengarannya, tetapi begitulah adanya.
Tulis dulu semuanya lalu sunting lagi untuk menyempurnakan.
Mendekati arah Masjid Sunda Kelapa di Menteng, mata saya yang biasa disambut teduhnya pepohonan kini silau diterpa sinar matahari. Makin dekat ke sana, makin jelas bahwa pohon terbesar di sana telah tumbang.
Peristiwa tumbang itu sungguh terjadi sekonyong-konyong. Di luar dugaan. Karena itu, sejumlah pedagang langganan saya terkena dampaknya.
Saya cari ibu penjual jus buah kesukaan saya. “Bu, pesan jusnya!”seru saya bersemangat. Saya haus bukan kepalang selepas beryoga di Taman Suropati pagi tadi, dan jus buah menjadi pelepas dahaga wajib buat saya.
Raut mukanya agak lesu. “Maaf, besok ya.. Belum tahu kalau dagangan saya abis ketimpa pohon ya? Di berita ada kemarin.”
“Hah??”saya terbengong-bengong. Antara kasihan, terkejut dan tidak terima bahwa ia tidak bisa membuatkan saya minuma favorit.
“Besok mungkin baru bisa jualan,”katanya lirih.
Saya menemukan beberapa penjual yang absen pagi itu. Gerobak jualan mereka sudah ringsek berat tertimpa pohon raksasa itu, yang tiba-tiba roboh begitu saja sore hari Sabtu kemarin (25/10). Untungnya tidak ada yang luka-luka berat atau meninggal. Beberapa kendaraan juga ikut tertimpa.
Sungguh sebuah kebetulan bahwa pohon itu cuma beberapa langkah dari rumah dinas/ kediaman resmi wakil presiden RI. Dan insiden itu terjadi bertepatan di hari Tahun Baru Hijriyah dan menjelang diumumkannya kabinet baru pemerintahan Jokowi-JK.
Saya ingat gerobak-gerobak itu berwarna merah, baru diberikan pada mereka dua tahun lalu, saat Jokowi masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Disponsori oleh Bank DKI, gerobak-gerobak itu relatif bagus jika dibandingkan gerobak sebelumnya yang tidak seragam dan kumal.
Pedagang jus itu juga ikut diberi gerobak merah. “Tapi sekarang sudah saya kiloin, ya gimana hancur lebur,”kisahnya. Tapi ia berkata, kita tidak boleh hilang semangat. Tangannya terkepal, lalu kembali melayani pembeli pedagang lain karena mungkin ia mendapatkan komisi jika membantu temannya layani pembeli. Itulah rekatnya persaudaraan di komunitas pedagang makanan Masjid Sunda Kelapa.
Setelah hampir sepekan kita lelah menyaksikan pemberitaan dan spekulasi di media mengenai kabinet baru Jokowi-JK, akhirnya petang tadi rasa ingin tahu itu terpuaskan. Tentunya, susunan kabinet ini tidak mungkin memuaskan semua pihak termasuk rakyat tetapi inilah yang terbaik yang bisa dilakukan mengingat tarik ulur yang alot dan menguras pikiran antara berbagai pihak yang berkepentingan.
Berikut daftar lengkap semua menteri dalam Kabinet Kerja tersebut:
1. Menteri Sekretaris Negara – Pratikno
2. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) – Andrinof Chaniago
3. Menteri Koordinator Kemaritiman – Indroyono Susilo
4. Menteri Perhubungan – Ignasius Johan
5. Menteri Kelautan dan Perikanan – Susi Pujiastuti
6. Menteri Pariwisata – Arif Yahya
7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral – Sudirman Said
8. Menteri Koordinator Polhukam – Laksamana Tedjo Edy Purdjianto 9. Menteri Dalam Negeri – Tjahjo Kumolo
10. Menteri Luar Negeri – Retno L.P Marsudi
11. Menteri Pertahanan – Jenderal (Purnawirawan) Ryamizard Ryacudu 12. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia – Yasona Laoly
13. Menteri Komunikasi dan Informatika – Rudiantara
14. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi – Yudi Chrisnandi
15. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian – Sofyan Djalil
16. Menteri Keuangan – Bambang Brodjonegoro
17. Menteri Badan Usaha Milik Negara – Rini Soemarno
18. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah – Puspa Yuda
19. Menteri Perindustrian – Saleh Husin
20. Menteri Perdagangan – Rahmat Gobel
21. Menteri Pertanian – Amran Sulaiman
22. Menteri Ketenagakerjaan – Hanif Dhakiri
23. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat – Basuki Hadi Muljono 24. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan – Siti Nurbaya
25. Menteri Agraria dan Perencanaan Tata Ruang – Ferry Mursidan Baldan 26. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan – Puan Maharani
27. Menteri Agama – Lukman Hakim Saipudin
28. Menteri Kesehatan – Nila Moeloek
29. Menteri Sosial – Khofifah Indar Parawansa
30. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – Yohana Yembise 31. Menteri Budaya dan Pendidikan Dasar dan Menengah – Anies Baswedan 32. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi – M. Nasir 33. Menteri Pemuda dan Olahraga – Imam Nahrawi
34. Menteri Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi – Marwan Jafar WIL
Kini kita memahami orang-orang seperti apa yang bisa lolos dari saringan KPK dan PPATK yang berlapis itu. Akan tetapi, jangan serta merta gembira dahulu karena semua orang ini tidak dijamin 100% oleh KPK dan PPATK bersih dari tindak KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang sudah mendarah daging dalam bangsa ini.
Saya belum bisa banyak berkomentar tentang orang-orang ini. Namun, dari sekilas pandang bisa dikatakan praktik politik dagang sapi yang kental dalam kabinet-kabinet sebelumnya sudah agak berkurang. Seberapa banyak? Saya tak bisa mengukurnya tetapi setidaknya kita bisa saksikan ada pos-pos yang diisi oleh orang-orang yang namanya asing dari pemberitaan politik yang hingar bingar di tanah air.
Basuki Hadi Muljono, misalnya, sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian PU Indonesia dan kini menyandang posisi yang lebih tinggi di kementerian yang sama. Tepat, saya pikir. Tak banyak penyesuaian yang akan dilakukan dan kerjanya pasti akan lebih cepat karena sudah kenal medan kerjanya.
Tentang Rini Soemarno yang cukup kontroversial, kita tahu ia mendapatkan perlawanan dari para relawan Jokowi (sumber: http://news.okezone.com/read/2014/10/25/337/1056929/dukung-kabinet-bersih-relawan-jokowi-tolak-rini-soemarno). Dan fakta ini patut menjadi catatan tersendiri. Apalagi setahu saya, ada yang berkata anggota tim rumah transisi (Rini salah satu yang menggawanginya) dikatakan tidak akan masuk kabinet. Rini dianggap memiliki rekam jejak yang meragukan karena diduga tersangkut sejumlah kasus hukum di masa lalu.
Yang jelas, komposisi kabinet ini relatif berimbang antara kaum profesional dan partai, sesuatu yang patut diapresiasi.Dan yang terpenting mereka bisa bekerja dan tetap bersih selama 5 tahun mendatang hingga Jokowi mencopot jabatan menteri. Semoga…
Besok Senin, 27 Oktober, menteri-menteri ini sudah harus mulai bekerja keras dan cerdas. Selamat bekerja!
Inilah mengapa jurnalis perlu lebih banyak menggunakan jejaring sosial dalam bekerja. Saat mengumpulkan sumber berita menjadi makin mudah berkat teknologi, jurnalis perlu membuka diri pada berbagai materi yang berpotensi menjadi sumber dan bahan berita yang berkualitas di dunia social media.
Seperti yang tak sengaja saya lakukan sore itu (21/10), saat saya iseng menelusuri linimasa Twitter saya dan menemukan akun Robin Malau, seorang pemerhati dan praktisi entrepreneurship dan teknologi, yang menyebutkan (mention) akun seseorang yang kata Robin adalah satu-satunya orang Indonesia yang ikut serta dalam ajang TechCrunch Disrupt London.
Saya tak menunda lagi untuk menghubungi orang yang ada di balik akun @adhiwie itu. Betul, ia orang Indonesia. Tepatnya mahasiswa Indonesia. Kami bertukar alamat surel dan dari sana, sebuah wawancara jarak jauh saya lakukan.
Nama lengkapnya Adhi Wicaksono, seorang mahasiswa Master di University of Birmingham, Inggris. Pada saya ia mengatakan menuntut ilmu di bidang Human-Computer Interaction (interaksi komputer-manusia) yang saya sendiri tak memiliki bayangan sedikitpun mengenai mata kuliahnya. Adhi mengaku ia satu-satunya orang Indonesia yang ikut dalam TechCrunch Disrupt 2014 di London. Dan jika saya boleh katakan – mohon koreksi jika saya salah – sepengetahuan saya Adhi-lah WNI pertama yang ada di ajang TechCrunch Disrupt sebagai peserta. Adhie sendiri mengaku tidak menjumpai peserta lain yang berasal dari Indonesia.
Bagi Anda yang masih asing dengan nama “TechCrunch Disrupt”, dapat saya jelaskan bahwa acara tersebut mirip dengan sebuah ajang tahunan yang bergengsi di dunia startup. Di acara konferensi tahunan yang diselenggarakan oleh blog teknologi dan startup asal San Fransisco “TechCrunch” tersebut yang berlangsung di sejumlah kota besar di dunia ini, para entrepreneur, programmer, peretas (hackers) mendapatkan kesempatan yang sama untuk meluncurkan produk dan layanan mereka. Nantinya akan dipilih para pemenang dari semua startup yang hadir dan ikut serta yang akan dipertemukan dengan sejumlah investor potensial, pers, dan pihak-pihak lain yang memiliki minat dan kepentingan. Ajang seperti ini sungguh dinantikan oleh entrepreneur dan startup yang masih ‘hijau’ demi melambungkan nama startup dan produk mereka ke kancah dunia. Jika menang, blog techCrunch akan memuat mereka dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat mereka tersohor di mana-mana mengingat pengaruh media TechCrunch yang begitu luas dan masif. Tempat pelaksanaan mereka sebelumnya ada di San Fransisco, New York City , dan Beijing (yang digagas oleh Sarah Lacy pendiri Pando.com) dan kini juga merambah Eropa.
Keikutsertaannya dalam hackathon ini berawal saat Adhi ingin tahu bagaimana rasanya ikut ajang serupa di tanah asing. “Saya ikut hackathon karena penasaran,”terangnya via surel. Apalagi penyelenggaranya media sebesar TechCrunch. Namun, ini bukan pengalaman pertamanya ikut hackathon. Sebelumnya, Adhi sudah beberapa kali ikut ajang yang bertema hackathon di Indonesia.
Adhi tidak berjuang sendirian di sana. Ia bergabung dalam tim Seeusoon, sebuah aplikasi yang bermisi memudahkan pasangan/ kekasih untuk bertemu jika berada di kota yang sama. Aplikasi ini juga memudahkan orang membeli tiket secara langsung. “Di hackathon, saya bergabung dengan tim Seeusoon yang berumlah 5 orang (termasuk saya) dan mereka semua berasal dari Spanyol.” Dalam tim, Adhi berperan penting sebagai desainer pengalaman pengguna (user experience designer) dan antarmuka pengguna (user interface).
Para pemenang dihasilkan dari penilaian dari dewan juri yang kredibel di bidangnya, yaitu Camille Baldock (software engineer), Eric Brotto (Partner dan Spesialis Program untuk Startupbootcamp, Global Facilitator untuk Startup Weekend), Claudia De Antoni (investor Virgin Management), Tak Lo (Direktur TechStars, mentor startup), dan Melinda Seckington (pengembang platform Future Learn).
Istilah hackathon merupakan kata portmanteau dari “hack” (retas) dan “marathon” (lari marathon). Kata “hack” di sini bukan berarti meretas dalam arti negatif tetapi menciptakan suatu solusi teknologi bagi masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari, sebuah definisi tentang “hack” yang menurut Steve Wozniak bernuansa positif di awal ia bekerja bersama mendiang Steve Jobs membuat produk Apple. Para peserta akan diberikan waktu yang terbatas (biasanya semalam suntuk) untuk menghasilkan solusi tadi dari nol. Karena itulah peserta harus bekerja keras dan cepat agar solusi itu bisa dihasilkan dalam wujud yang nyata dalam bentuk purwarupa (prototype) yang bisa dipakai di presentasi yang akan dilakukan di akhir acara. Sesuai dengan kata “marathon”, hackathon akan dilakukan tanpa jeda.
Berlatar belakang sebagai pekerja lepas di sektor industri kreatif, Adhi piawai dalam bidang desain web dan pengembangannya, antarmuka pengguna dan desain pengalaman pengguna serta sejumlah proyek sampingan lainnya.
Saya tanya apa keuntungannya mengikuti ajang semacam ini, Adhi menjawab,”Pengalaman yang saya dapatkan luar biasa karena saya bisa melakukan networking (berjejaring, membangun koneksi bisnis -pen) dengan orang-orang dari bermacam-macam negara dan merasakan atmosfer yang luar biasa karena ini ajang kaliber dunia.”
Menurut Adhi, ekosistem teknologi di luar negeri sudah sangat maju sehingga banyak produk yang tidak hanya mandek sebagai barang pameran tetapi juga bisa digunakan dalam aktivitas manusia sehari-hari. “Saya harap ekosistem teknologi Indonesia juga bisa lebih maju dan saya sangat senang dengan perkembangan saat ini,”tukasnya.
Setelah ikut serta dalam berbagai hackathon, rasanya tidak berlebihan jika Adhi dimintai resep sukses menjadi pemenang hackathon. Ia berpendapat ide-ide simpel tetapi berguna, tampilan yang mudah dipahami, dan bisa dipakai semua orang dengan mudah akan lebih berpeluang untuk terpilih. Resepnya terbukti jitu karena Seeusoon berhasil memenangkan posisi juara ketiga (second runner-up) dalam hackathon ini.
Sebagai pertanyaan pamungkas, saya ingin tahu apakah Adhi memiliki saran bagi pemerintahan baru agar dunia kreatif, startup dan entrepreneurship digital tanah air makin berkembang. Ia menerangkan panjang lebar dengan antusias, bahwa pemerintahan baru harus ikut berperan aktif dalam pengembangan ekosistem tersebut. “Terlebih Indonesia saat ini telah mempunyai open data di http://data.id sehingga semua orang bisa ikut berperan,”ia menuturkan. Dari open data itu, akan bisa dihasilkan berbagai aplikasi digital yang berguna untuk memecahkan masalah-masalah sehari-hari seperti pengurusan izin usaha, pemantauan anggaran pemerintahan, dan sebagainya. Ini semua, menurut Adhi, akan memuluskan gerakan open government dan e-government di negeri kita tercinta.
“Di blik kmiskinan pcarmu. Seorng ank laki2 dg uang jajan seada’a. D beri ortu’a agar bsa mkn kntin atw ongkos. Kalian mrasa dy akn menggunakn smua uang jajan’a? Dy slalu menabung utkmu, utk mengajakmu prgi jln2 d weekend, mngkin hnya skedar ntn. Lalu ktika itu kau jwb: duh sory kykny gk bsa prgi sma kmu hri ini.. Maaf Kmu udh sukses mnghancurkn prasaan’a. Mngkn mreka tk nangis krna mreka tu laki! Mreka slalu mnyimpan prasaan’a sndiri. Ktika dwasa, pra wnita cntik hnya akn prgi sma cwok yg pny mobil. Ktika kau mau d ajk prgi dg cwok sderhana pke mtor, kau menjwab: duh rmbut gw rsk ni, pnas jg, laen kli aj deh. Mngkn kau tk sdar mngatakan’a. Tpi prcayalh hti mreka tu skit, pdhal mreka udh mti2an nabung buat bli mtor, tpi anda mlah gtu. So, cbalh hargai prasaan n usaha cwok:-) jgn cma cwek aja yg mnta d hargain.”
Berikut adalah versi esai tersebut setelah saya sunting agar lebih menaati kaidah EYD dan tata bahasa Indonesia.
“Seorang anak laki-laki dengan uang jajan seadanya. Diberi orang tuanya agar bisa makan di kantin atau ongkos. Kalian merasa dia akan menggunakan semua uang jajannya? Dia selalu menabung untukmu, untuk mengajakmu pergi jalan-jalan di weekend, mungkin hanya sekedar nonton.
Lalu ketika itu kau jawab: “Duh sorry, kayaknya gak bisa pergi sama kamu hari ini..” Maaf kamu sudah sukses menghancurkan perasaannya.
Mungkin mereka tak menangis karena mereka itu laki-laki! Mereka selalu menyimpan perasaannya sendiri.
Ketika dewasa, para wanita cantik hanya akan pergi sama cowok yang punya mobil. Ketika kau mau diajak pergi dengan cowok sederhana naik motor, kau menjawab: “Duh rambut gue rusak nih, panas juga, lain kali aja deh.”
Mungkin kau tak sadar mengatakannya tetapi percayalah hati mereka itu sakit, padahal mereka sudah mati-matian menabung buat beli motor, tapi Anda malah begitu. Jadi cobalah hargai perasaan dan usaha cowok. Jangan cuma cewek saja yang minta dihargai.”
Ini BUKAN kalimat gubahan saya. Saya hanya memuat dari sebuah pesan pendek yang dikirimkan anak ibu kos pada saya, yang saya tidak tahu motif sebenarnya. Mungkin karena salah kirim, terang bu kos saat saya selidiki.
Kalau saya boleh menganalisis, tulisan dalam bentuk esai persuasif ini tergolong panjang untuk kaum alay. Tercatat 146 kata (bukan karakter) ada di corpus di atas. Padahal mereka, kaum alay, adalah generasi yang lebih akrab dengan komunikasi pendek. Penuangan gagasan dan emosi kaum alay biasanya juga melibatkan pemilihan kombinasi karakter yang sesuai selera mereka untuk menyingkat. Dalam corpus di atas, karakter ‘ (apostrof) dipakai untuk mengganti “nya”, karakter spasi dipakai untuk menyingkat “i” dalam kata pasif. Sejumlah vokal yang dianggap bisa dihilangkan tanpa menyulitkan proses membaca pun dilakukan sang penulis. Diftong “ia” disatukan menjadi “y”, dan “au” diganti “w”.
Jelas tujuan penulisannya adalah persuasi yang ditujukan pada kaum Hawa terutama gadis-gadis alay yang terlalu menuntut kesempurnaan duniawi sang kekasih, yang diduga keras juga alay.
Alay sendiri identik dengan anak-anak muda usia sekolah yang gemar menulis pendek sebagai salah satu cara berkomunikasi tertulis mereka. Aplikasi-aplikasi chat online selain SMS kerap dipakai oleh para alay, dari BlackBerry Messenger, WhatsApp, WeChat, KakaoTalk, dan sebagainya. Sebagian besar emosi yang tidak tersampaikan dengan lebih ringkas bisa diekspresikan dengan menggunakan emoticon atau emoji.
Dasbor platform pengelola akun jejaring sosial Hootsuite versi web mendapatkan perombakan yang lumayan signifikan kali ini. Perbedaan yang paling menyolok adalah ukuran font yang makin besar dan spasi antara satu tweet dan yang lain yang jauh lebih lapang. Efek dari semua itu ialah lebih lapang dan segar bagi mata.
Berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama bertahun-tahun dan berbincang dengan beberapa jurnalis, Roy Peter Clark yang pernah menulis “How to Write Short” menemukan kesamaan dalam diri para penulis terbaik.
Pertama adalah mereka semua kecanduan membaca sepanjang hayat. Mereka melahap semua bacaan dari fiksi sampai non-fiksi, novel sampai film.
Kedua, mereka cenderung suka menulis panjang dan mereka menyadarinya. Mereka menulis dengan sepenuh hati dan itu terpancar dari semua kalimat yang dirangkai. Anda sebagai pembaca pastinya akan merasakan kejanggalan bila penulis atau wartawan tidak begitu menguasai atau tertarik pada satu topik. Tulisannya akan terasa hambar atau monoton. Penulis yang baik ingin memanjakan pembacanya dengan menyajikan karyanya yang terbaik, dan kerap karya itu menjadi begitu panjang. Namun demikian, mereka juga bisa menyesuaikan diri bila harus menulis dengan singkat dan padat.
Ketiga, penulis unggul memandang dunia sebagai tempat mereka bereksperimen. Dengan persepsi ini, mereka tidak segan turun ke lapangan, tidak hanya berkutat dengan buku dan komputer di ruangan sepi tetapi juga mengobrol dengan orang-orang baru, berkunjung ke tempat-tempat baru, merasakan pengalaman baru. Semua itu pada gilirannya akan memperkaya cerita yang ia akan suguhkan ke pembaca.
Keempat, penulis berkualitas menyukai kebebasan dalam bekerja. Energi kreativitas mereka tidak bisa dikendalikan oleh orang lain termasuk editor. Mereka seolah memiliki kompasnya sendiri, semacam naluri yang mengatakan pada dirinya,”Ini pasti akan menarik untuk disajikan bagi pembaca saya.”
Kelima, penulis yang top tidak sungkan dan tidak malas mengumpulkan fakta dan informasi, termasuk anekdot, kisah yang membuatnya terkesan, dsb. Mereka menggunakan berbagai alat yang ada untuk mengumpulkan dan menyimpan data berharga tadi, dari mencatat di buku harian, merekam di alat tertentu, mengetik di perangkat mungil seperti ponsel, atau mengandalkan catatan mental di benaknya.
Keenam, penulis unggul bersedia menghabiskan waktunya menyempurnakan bagian pembuka dalam karyanya. Karena ia tahu, tanpa pembuka yang baik, orang akan sulit tertarik membaca tulisannya lebih lanjut sampai habis. Dalam jurnalisme, kita kenal bagian ini dengan istilah “lead”, yang memuat gagasan utama tulisan dan sekaligus membuat pembaca makin penasaran.
Ketujuh, penulis yang baik sanggup melarutkan diri dalam kisah yang mereka tuliskan. Ini berkaitan erat dengan totalitas dan fokus dalam berkarya. Mereka menulis dengan sepenuh hati, bukan hanya mencari uang atau memenuhi tuntutan editor dan pemilik modal.
Kedelapan, ketekunan selalu bersemayam dalam diri penulis-penulis unggul. Mereka sanggup bekerja sehari semalam untuk memberikan tulisan terbaik mereka.
Kesembilan, mereka menyukai keteraturan terkait bahan tulisan yang akan digunakan karena mereka sadar pekerjaan akan jauh lebih mudah bila literatur dan sumber yang dibutuhkan dikelompokkan dengan baik.
Kesepuluh, penulis-penulis berkualitas “tega” untuk menulis ulang atau bahkan membuang bagian yang tak perlu. JK Rowling, misalnya, mengaku membuang bagian cerita tentang otopsi Barry Fairbrother dalam The Casual Vacancy meski sudah susah payah menulisnya selama berhari-hari hanya karena ia kemudian merasa bagian itu terlalu melenceng dari isi cerita. Menyelesaikan draft pertama adalah sebuah langkah yang baik tetapi belum bisa disebut akhir proses kreatif penulisan. Menulis adalah menulis ulang, begitu kata seorang penulis. Buku-buku laris biasanya hasil dari penulisan ulang yang makin menyempurnakannya.
Kesebelas, mereka biasa membaca keras-keras tulisannya untuk mengetahui kejanggalan. David Sedaris membaca lantang hasil tulisannya sebelum menyerahkan ke editor atau penerbit. Sekali dua kali belum cukup. Belasan kali juga belum cukup kalau masih bisa diperbaiki lagi. Alasannya? Dengan membaca, kita bisa mengetahui seberapa mengalirnya kisah yang kita ceritakan dalam tulisan.
Keduabelas, penulis unggul suka bercerita. Elizabeth Gilbert mungkin contoh terbaik dari penulis yang begitu suka mengobrol tentang hal-hal konyol dan remeh temeh tetapi menarik dan menghibur. Ia kerap mengumpulkan anekdot-anekdot berharga dalam ingatan dan catatan hariannya untuk kemudian meleburkannya dalam karyanya. Daripada mentah-mentah menyuguhkan informasi dalam pola 5W dan 1H, ia memakai gaya bercerita yang mengalir dan menarik karena tulisannya padat dengan narasi, anekdot, kronologi dan suasana yang detil.
Ketigabelas, penulis yang baik mampu memberikan keseimbangan antara memuaskan idealisme diri dan selera pembacanya. Mereka berusaha menarik tanpa harus menjadi orang lain dalam tulisannya.
Keempatbelas, penulis berkualitas tahu ia tidak bisa terjebak dalam satu gaya penulisan selamanya. Ia mau mengeksplorasi diri dengan mencoba berbagai bentuk dan gaya menulis. Dengan keluar dari zona nyaman itulah, ia akan memperkaya pengalaman dan ketrampilan menulisnya.
Itu semua menurut Clark adalah ciri-ciri umum penulis yang berkualitas. Dan menurut saya masih ada satu lagi ciri lainnya, yaitu kemampuan bekerja di dalam berbagai kondisi apalagi jika mereka diburu waktu. Mereka tidak memiliki ketergantungan yang begitu mengganggu pada suatu hal, dari kafein sampai keharusan menulis di tempat dengan kondisi tertentu. Kita tentu pernah menjumpai penulis-penulis eksentrik yang hanya bisa bekerja di dalam suasana tertentu atau dengan alat menulis tertentu. Ini hanya akan menghambat produktivitasnya sebagai penulis.
Profesor Saras Sarasvaty pernah mencibir seorang profesornya yang mengklaim diri sebagai poliglot di depan kami. “Seorang profesor saya menguasai puluhan bahasa asing! Dua ia kuasai dengan sangat baik. Sisanya? Buruk sekali.”
Kata-kata Saras itu membuat saya skeptis dengan orang-orang yang mengaku poliglot. Apakah mereka benar-benar bisa berkomunikasi lancar dalam banyak bahasa asing? Atau mereka hanya sekadar menguasai gambit atau eskpresi sehari-hari yang sangat mendasar dan mudah dihapal lalu mengaku sudah lancar? Apakah itu klaim sepihak yang terlalu pongah dan sembrono?
Saya sendiri selalu ingin menjadi poliglot, seperti Gabriel Weyner yang mengklaim lancar berbicara dalam 6 bahasa berbeda. Tetapi di saat yang bersamaan, saya juga percaya bahwa otak kita memiliki keterbatasan. Saya berupaya menghilangkan batasan yang saya ciptakan sendiri itu dengan membaca buku ini, karena saya yakin saya bisa menguasai bahasa lain selain bahasa Inggris dan Indonesia serta Jawa.
Jika Anda mau jadi poliglot, ini buku yang pasti Anda suka! Di dalamnya ada banyak trik dan tips mempelajari bahasa-bahasa asing sampai lancar berbicara dan menulis dengan lebih cepat. Gabriel Wyner, lulusan USC yang dikenal dengan situs belajar bahasa asingnya Fluent-Forever.com, menuangkan semua itu di buku yang berjudul sama:Fluent Forever.
Setelah belajar bahasa Inggris sejak kecil, saya masih sulit menjelaskan bagaimana cara menguasai bahasa. Karena saya belajar secara otodidak lebih banyak, saya hanya bisa mengatakan: gunakan bahasa itu dalam keseharian. Makin banyak kita pakai, akan makin bagus, seperti makin tajamnya pisau yang terasah setiap hari.
Pun saat saya mengajar bahasa Inggris selama 4 tahun, saya lebih menekankan jumlah latihan yang lebih intensif daripada hanya sekadar menghapal dan menulis. Saya sadar siswa-siswa saya kebanyakan lemah dalam mempelajari bahasa secara komunikatif dan praktis, bukan teoretis. Saya ajak mereka lebih banyak mengamati penggunaan bahasa dalam konteks sehari-hari, seperti dalam lingkungan kerja, kelas, rumah, dsb.
Dalam bukunya, Wyner memiliki caranya sendiri untuk mempermudah belajar bahasa. Ia mengemukakan 3 poin vital belajar bahasa asing:
Belajar pengucapan dulu: Saya sangat setuju bahwa kita perlu meniru cara belajar alami seorang bayi. Mereka mendengar dulu kemudian meniru ucapan. Karena itu, mengajarkan tata bahasa di awal adalah sebuah kekeliruan, yang akhirnya membuat pembelajar takut membuka mulut. Kasusnya sudah banyak. Siswa-siswa yang ketakutan membuat kesalahan saat harus mengucapkan kalimat dari pikiran mereka. Itu karena mereka diajari tata bahasa dulu. Dengarkan dan pelajari dulu aksen dan pengucapan sebuah bahasa asing yang mau dipelajari setelah itu tirukan. Mau belajar pengucapan gratis? Coba Forvo.com, database raksasa dengan lebih dari 2 juta rekaman suara dalam lebih dari 300 bahasa di dunia.
Jangan menerjemahkan: Wyner ingin mengajak kita menceburkan diri bukan hanya dalam tataran ucapan tetapi juga pemikiran selama kita belajar bahasa tertentu. Belajarlah bagaimana berpikir dalam bahasa asing itu, katanya. Menerjemahkan kata per kata kurang efisien bagi mereka yang ingin lancar berbahasa asing dalam jangka panjang. Ingatan akan lebih mudah pudar dengan menerjemahkan. Menurut saya, ada benarnya ia menyarankan seperti itu karena bahasa adalah produk suatu masyarakat, dan belajar bahasa juga berarti belajar pemikiran dan budaya mereka. Karenanya, jika Anda ingin lebih menghayati sebuah bahasa, pelajari juga aspek-aspek kultur, sejarah dan pemikiran mereka. Memakai kamus monolingual (entri dan penjelasan dalam bahasa asing) akan menghindarkan kita dari kebiasaan menerjemahkan dalam belajar bahasa. Bukannya menerjemahkan itu buruk tetapi saat Anda belajar, ia akan menjadi hambatan yang membuat Anda lebih lama menguasai bahasa.
Gunakan sistem repetisi berjeda: Wyner mengajak kita memakai Spaced Repetition Systems (SRSs) yang mirip flash cards dengan kemampuan membuat rencana belajar yang sesuai dengan kondisi kita agar ingatan linguistik bertahan lebih lama dalam otak. Saya sendiri belum pernah menggunakannya dan memang Wyner mengatakan cara ini belum banyak dipakai orang. Ada ANKI, SRS yang bisa dipakai di komputer kita secara cuma-cuma. Unduh saja di ankisrs.net.
Wyner juga dengan gamblang menjelaskan bahwa pertanyaan “berapa lama saya bisa menguasai bahasa X?” memiliki jawaban yang bervariasi. Ada banyak faktor yang memainkan peran dalam lama tidaknya seseorang belajar bahasa. Salah satunya adalah karena setiap bahasa memiliki tantangannya sendiri bagi penutur asli bahasa lain. Misalnya, mereka yang berbahasa ibu bahasa Inggris akan lebih mudah belajar bahasa Prancis daripada orang Jepang yang hendak belajar bahasa Prancis. Kenapa? Karena ada sejumlah kemiripan antara bahasa Inggris dan Prancis yang membuatnya lebih mudah dipelajari bagi masing-masing penutur asli tetapi penutur asli bahasa Jepang harus berjuang lebih keras untuk belajar alfabet dan pengucapan bahasa Prancis. Wyner mengkelompokkan tingkat kesulitan bahasa itu menjadi 3. Kelompok satu adalah yang paling mudah (bagi penutur asli bahasa Inggris) untuk dipelajari, misalnya bahasa Prancis. Lalu kelompok dua memilki tingkat kesulitan yang lebih tinggi, misalnya bahasa Ibrani dan Rusia. Kemudian kelompok yang paling sulit ialah bahasa Korea, Mandarin, Jepang dan Arab.
Satu gagasan Wyner yang paling saya sukai adalah membuat belajar bahasa menjadi lebih menyenangkan dan adiktif. Saat kita bisa meleburkan pembelajaran dalam kegiatan sehari-hari dengan cara yang lebih menyenangkan, kita akan menjalaninya dengan lebih bersemangat. Ia memakai cara-cara yang kreatif untuk membuat suasana lebih mengasyikkan. Ia mengajak menemukan kata-kata baru dan belajar tata bahasa dari Facebook, menggunakan flash cards dengan campuran nuansa seni dan proses menghapal dengan video games, film, audiobook berbahasa asing, dst.
Dengan banderol Rp202.000, buku ini relatif mahal, apalagi tidak ada DVD pembelajaran yang disertakan. Tetapi dengan adanya daftar sumber belajar dan situs fluent-forever.com, DVD juga terasa sia-sia karena isinya bisa usang dalam hitungan bulan tetapi di situs, konten bisa terus diperbarui. Namun, bagi Anda yang serius ingin menguasai sebanyak mungkin bahasa asing, buku ini investasi yang sungguh murah.
Selain humor di kantor, ada juga horor di kantor. Keduanya cukup mengasyikkan jika dibahas. Untuk humor di kantor, saya akan bahas lain kali. Sekarang saya akan bahas kejadian-kejadian horor di kantor dulu.
Desember tahun lalu kami baru saja pindah ke gedung baru di sebuah pencakar langit. Saya tentu tidak bisa menuliskan di sini nama gedung itu. Siapa tahu ada yang ingin menyewa ruang kantor di sana tetapi begitu membaca tulisan ini langsung berubah pikiran.
Saya pernah menceritakan dulu (baca di “Kumpulan Kisah Nyata: Kantorku Berhantu) bahwa di kantor kami yang lama ada kemunculan yang tidak diharapkan, setidaknya menurut pengamatan indra saya. Dari lampu yang mati secara tiba-tiba saat saya bekerja sendirian yang membuat saya terbirit-birit karena saya pikir kantor hendak dikunci sekuriti hingga sekelebat orang yang mirip atasan tetapi ternyata bukan.
Tetapi kantor lama ternyata tidak berhenti menghasilkan kisah horor begitu saya tinggalkan, karena ada penghuni baru di sana. Staf baru yang belum tahu apa-apa ini mengira semua ruangan aman. Karena itu, dengan santai seorang dari mereka mengangkat barang-barang untuk ditumpuk di sebuah ruangan kecil di rumah contoh yang masih berdiri di kantor bagian belakang. Rumah ini memang sudah memiliki rekam jejak yang negatif di antara para staf kantor sebelumnya. Suasananya sungguh membuat bulu kuduk meremang di petang dan malam hari. Sangat sepi dan dikepung pepohonan lebat. Pohon-pohon besar memang baik bagi lingkungan tetapi juga menjadi sarang idealnya makhluk dunia lain.
Meski sudah disarankan oleh sekuriti agar tidak menumpuk barang di ruangan itu terlalu banyak, si staf itu tidak menghiraukannya. Padahal ia tidak tahu bahwa si sekuriti tahu ada ‘makhluk’ bersemayam di situ. “Seorang perempuan”, kata sekuriti yang mengetahui itu pada saya tadi malam. Tetapi karena perempuan itu sendiri bukan orang, saya pikir perkataannya itu kurang tepat. “Sehantu perempuan” terdengar lebih tepat meski aneh. Akibat menjejalkan barang terlalu banyak di dalam ruangan remang-remang itu, si staf baru tiba-tiba kesurupan di suatu petang.
Beberapa waktu sebelumnya kantor juga pernah mengundang pendeta untuk memberkati semua sudut di kantor ini dengan air sucinya. Ia berkeliling dan mencipratkan air yang sudah didoai tadi ke sudut-sudut ruangan kantor, termasuk di ruangan-ruangan angker dekat meja kerja saya. Ternyata makhluk-makhluk itu lebih bandel dari perkiraan.
Pindah ke kantor baru tidak berarti lebih aman dari gangguan ‘makhluk lain’. “Di sini memang lebih aman dari gangguan makhluk kasar (baca : manusia),”komentar seorang sekuriti yang saya kenal baik,”tetapi kalau soal makhluk lain memang masih ada.”
Lebih lanjut ia bercerita tentang riwayat gedung ini,”Dulu kan pembangunan basement gedung ini pernah berhenti lama.” Saya menduga pembangunan pondasinya sudah dilakukan 5 tahun sebelum diresmikan penggunaannya oleh perusahaan yaitu sekitar tahun 2007-2008. Namun, sempat terhenti karena mungkin terjadi guncangan di pasar keuangan dunia karena krisis finansial Amerika Serikat dan Eropa tahun 2008-2009. Ironis memang mengapa ekonomi dan properti kita sedemikian terimbasnya oleh kondisi moneter dan keuangan negara lain, tapi negara mana yang bisa sepenuhnya menghindar dari gejolak keuangan yang dikirim negara sebesar Amerika? Namun, kata seorang direktur yang lebih tahu menahu mengenai pembangunan proyek gedung pencakar langit ini, proses pembangunan sudah dimulai sejak 1998. Basement sudah dibangun sebanyak 3 lantai, lalu karena krisis moneter yang melanda perusahaan menghentikan proyek hingga situasi ekonomi pulih. “Baru mulai kembali kemarin 2008,”katanya. Jadi ada jeda 10 tahun. Dan bayangkan bagaimana kondisi sebuah proyek yang mangkrak selama 10 tahun.
Kantor lama di ketinggian ini lebih minim gangguan ‘halus’. “Cuma suara-suara sih,”sekuriti tadi bersaksi. Tidak seburuk di kantor lama, jika mau dibandingkan.
Suara itu pernah menyapa salah seorang karyawan malang kami yang dengan tekun mengerjakan tugasnya hingga pukul 9 malam. Hanya ada dia dan satu orang lagi yang tinggal.
“Tok tok tok…”suara itu datang dari jendela. Ia menoleh ke jendela kaca yang gelap itu. Siapa yang malam-malam pukul 9 mau bergelantungan dengan gondola di ketinggian untuk mengetuk jendela kaca ruangan lantai 39? Kecuali yang mengetuk itu bukan manusia.
Seolah diingatkan untuk pulang secepatnya, karyawan naas itu pun berkemas sembari terkencing-kencing. Di meja sekuriti depan ia bertanya,”Siapa tadi yang di luar?” Sekuriti kebingungan.
Siapa? Mana mereka tahu? Tidak ada orang yang mungkin tahu!
Hidup di Jakarta tidak hanya harus tangguh menghadapi tantangan hidup tetapi juga harus kuat menghadapi CUACA yang fluktuasinya menggila. Di awal tahun saya masih ingat betapa dinginnya suhu ibukota yang bisa turun hingga 25 derajat celcius. Bayangkan udara Bogor dipindah ke Jakarta (cuma dinginnya, bukan bersihnya). Penderitaan belum cukup sampai di situ karena pendingin ruangan di kantor membuat suhu yang sudah turun makin turun lagi hingga sampai terasa menggigit di kulit.
Beberapa pekan belakangan, Oktober yang semestinya mulai basah justru malah memberi curahan panas yang membakar. Tercatat suhu ibukota pernah mencapai 35 derajat celcius lebih. Serasa hidup di Gurun Sahara. Panasnya membuat jemuran kering secepat kilat dan ketahanan stamina banyak orang tergoyahkan. Siang terasa seperti neraka dan malam yang seharusnya sejuk malah membara. Kelembabannya begitu tinggi, seolah udara mandek di sini. Tak mengalir. Angin begitu langka. Dan hal ini tak cuma dialami penduduk Jakarta, kebanyakan warga di daerah juga demikian. Teman-teman di provinsi lain juga keluhkan soal temperatur yang meninggi di bulan yang mestinya menjadi awal musim hujan.
Syukurlah petang ini warga Jakarta bisa menikmati hujan. Orang-orang mungkin akan kesulitan pulang karena kemacetan akan merajai jalanan. Tetapi setidaknya mereka.. dan saya tentunya, akan menikmati malam yang lebih sejuk di rumah. Lalu tidur lebih pulas dengan selimut tebal.
Previously on my blog post dated October 17th , you saw me ranting about something I suspected as a malware that kept bugging me when I opened a window on my Mozilla Firefox web browser. I thought I had to reinstall the operating system to fix the problem but thank God I hadn’t done it since I’m not a person who backups my data on a regular basis.
So the notification read like this:
“The page at http://s87.mezdiat.com says:
Your computer may have virus!
The virus may corrupt your data!
Please follow the instructions to remove the virus.”
And when you click the OK button showed below the notification, you’d be directed to a web page which I strongly believe to be fake but resemble a lot like Java download page. They really want you to download and activate the God-knows-what software. When I read the web address (URL), it showed unusual names, which no reliable companies on earth would ever use. Something was off. I just knew it. It doesn’t take a geek to know this.
I went to Twitter to complain on this issue, cursing GoSave as this name was just what I found on the pop-out ads on my web browser. And this didn’t only happen on my Mozilla but also my Gogle Chrome. That explained why I was freaked out. Did my PC get infected? But how come, since my Microsoft Security Essentials is working and surely protecting me when I’m online and I always update it every single day?
Being so pissed off by the situation (because I had to do some live blogging on Monday when President Jokowi was appointed and the malware kept popping out), I was frustrated and consulted my geek coworker. He said I was browsing in a “dirty” way. I don’t now what that is supposed to mean but he showed me how to get rid of this issue by a few clicks without reinstalling the Windows.
If you’re using Windows like I do, go to ADDONS section on Mozilla and please do deactivate or unable all these addons:
SoftForum XecureWeb File Control Plug-in 7.2.6.6.
SoftForum XecureWeb Control Plug-in 7.2.6.6.
SoftForum XecureWeb Unified Plug-in 1.0.4.8
“Where did you get all these?”he asked me. How do I know? It just happened.
GoSave found my tweet, which said pretty much like:”Whoever invented GoSave, I wish he gets burned in the bowel of hell for good”. And they replied:”We hope they do too!this is somebody using our name to trick people into dowloading the adware. Were you able to uninstall?” I was glad I cursed because that way I would never have known what is going on.
So I asked @GoSave whether I could get in touch with their CEO or founder or whoever can explain me about this. And they provided me Dane McLeod‘s email address. McLeod serves as the founder and current CEO of GoSave, Inc., and former co-founder of Extrabux.com, wrote CrunchBase.com.
Dane McLeod, CEO and founder of GoSave Inc.
McLeod (whose name keeps reminding me of Duncan McLeod of “The Highlanders” in 1990’s) kindly returned my emails and explain the whole situation in his perspective. Here’s what he told me.
Me: “How and when did GoSave find its name being used by irresponsible culprits like now?”
McLeod: “To give you some background – we are a startup tech company based in Los Angeles, California.
The real GoSave is a loyalty platform that rewards consumers with virtual currency for the things they love to do online everyday – like shop, search the web, watch videos, discover special offers, and play games. You redeem your virtual currency for gift cards to popular retailers like Amazon.com
We are a hard-working team of 15 people. We work with 100s of advertisers. And dozens of mobile app developers integrate our rewards into their mobile apps and games.
We were just getting ready to launch our website, when we learned that beginning in September 2014, some company was distributing this malware under the name “GoSave.” We discovered that somebody was infringing on our brand name when we started receiving angry messages from people across the world telling us how much they “hated GoSave.” We were a bit shocked, and realized something was definitely wrong….
The “Fake GoSave” as we call it, claims to offer a free service that helps users save money by showing them the lowest prices on products from websites like Amazon.com. However, this software is really adware or malware in disguise, using our name. Once it installs itself on users computers, it is bombarding people with annoying popup ads and slowing down their computers.
This fake GoSave has really killed our brand name in search engine results. Our name “GoSave” is now being associated with this virus / malware / adware. In fact, when you google “GoSave” – our website and mobile app no longer appear in the top results. In the last month, our real website and mobile app have been replaced by articles like “Remove Ads by GoSave” and “Remove GoSave Virus.” As you can imagine, this really hurts our reputation.
To fight back, we have decided to launch our website ASAP – even before it’s “finished.” Just so that we have a place to share our story. We will also be writing a blog post with details on the situation, and tips for how to remove this fake GoSave.
To restore our search engine credibility, we are kindly asking those authors of websites to remove the improper reference of our name “GoSave” from articles about the virus / malware / adware. Obviously, this is really hard – because there is some fake program out there called “GoSave” – and thousands of people are searching for “GoSave Virus” or “GoSave Adware.” It’s going to be a long battle, but we will win.
Me: Is there any effective way to get rid of the malware? Because it seems persistent even the PC is protected by an antivirus program.”
Me: “Are there any other efforts to explain the situation and clarify besides telling people on Twitter your company is victimized by this?”
McLeod: “We are fighting back to restore our good name. We are doing our best to track down the person responsible for this. Unfortunately, tracking people down on the internet is hard. Spammers like this deserve to be held accountable for their actions. We will find the people responsible for this – and we will document our story more on our blog.”
Me: “Are you taking any legal actions once the suspect(s) is found?”
McLeod: “We plan to pursue all legal remedies to protect our brand and our loyal community against the people responsible for distributing this malware under our name.
We’re also going to ask bloggers who have posted about the “GoSave” virus to kindly remove the post referencing our name “GoSave.” We will provide an in depth blog post on our website in the next 48 hours with instructions to remove the fake GoSave Virus. We hope these bloggers will understand, and we completely understand they are doing the right thing by helping people find resources go remove the GoSave Virus. We can work together to stop this mess.”