Di Ubud akhir pekan lalu, saya bertemu dengan seorang teman. Ia baru saja merilis sebuah buku puisi. Ia menawari saya buku tersebut. Ia merasa sangat bersemangat untuk memperkenalkannya pada semua orang yang ia temui di Ubud Writers Readers Festival (UWRF) tahun ini.
Edrida, begitu namanya, menawari saya,”Kamu mau beli?” Matanya berbinar-binar. Dan saya mengangguk. Ia makin tidak percaya saya ingin membeli karyanya.
Sekali lagi ia bertanya,”Benar? Mau beli???”
“Berapa?”saya bertanya padanya.
“Lima puluh enam ribu,”ia berkata dengan sedikit haru, masih dengan antusiasme lalu mengambil tas besarnya di sebuah sudut.
Saya kaget dengan reaksinya. Jujur saja, saya tidak mengharapkan reaksi yang demikian meluap-luap. Ia seakan tidak percaya ada yang ingin membeli karyanya, padahal ini bukan karya pertamanya yang diperjualbelikan. Ia sudah menerbitkan beberapa buku.
Usut punya usut, setelah mengobrol saya tahu ia mengeluhkan harganya yang cukup mahal menurut beberapa orang. Tetapi apalah artinya Rp56.000 jika saya bandingkan dengan sebuah kumpulan cerpen hasil suntingan editor negeri kanguru Angela Meyer yang dibanderol, ehem, Rp400.000 lebih. Padahal tebalnya sedang saja. Mutu kertasnya juga tidak istimewa sekali. Apakah karya di dalamnya sangat bermutu? Entah. Itu sangat subjektif dan saya tak bisa meneliti lebih lanjut isinya karena tidak ada sampel yang bisa dibuka untuk sekadar baca cepat.
Setelah ia menerima uang itu, saya berkata santai,”Kalau saya nanti menerbitkan buku, saya juga mau buku saya dibeli. Bukan dibagikan gratis.”
Membagikan buku secara gratis memang tragis. Ada teman saya yang seorang jurnalis Pertamina selama berpuluh-puluh tahun yang, entah terpaksa atau tidak, membagikan buku puisinya yang sudah diterbitkan secara cuma-cuma untuk para kolega dan kenalannya.
Saya merasa ini kurang benar. Kecuali jika sastrawan itu benar-benar ingin memberikannya secara gratis, orang-orang di sekelilingnya haruslah membeli buku itu. Bukan, bukan nilai nominalnya yang menjadi poin utama tetapi bagaimana apresiasi itu diberikan. Sastrawan itu merasa sudah dihargai, sudah dianggap ada, sudah dianggap bekerja dan sukses berkarya. Ini bukan semata-mata belas kasihan tetapi dalam sudut pandang yang lebih luas juga bisa dianggap sebagai upaya awal untuk menggiatkan dunia seni kreatif kita. Tolonglah jangan menyalin tanpa izin, memfotokopi seenaknya lalu membagikan ke siapa saja. Berikan setidaknya penghormatan atas hasil kerja mereka.
Saya tahu hidup penulis tidaklah mudah. Banyak yang harus berjuang setengah mati mencari nafkah. Lihat saja NH Dini di masa tuanya. Ia sudah produktif menulis sekian lama, toh di masa uzurnya masih saja menderita di dalam deraan keterbatasan finansial. Meski tak harus kaya raya bak JK Rowling, setidaknya Dini dan semua sastrawan dan penulis kita di Indonesia memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih layak.
Edrida, seperti banyak penulis Indonesia lainnya, masih menunggu apresiasi kita. Apresiasi yang tak kunjung mengemuka. Malah apresiasi yang datang lebih banyak dari mancanegara. Ia ingin saya menerjemahkan buku puisinya. “Siapa tahu bisa diundang ke sana!,”jeritnya gembira.
Leave a Reply