Seperti manusia, sebuah bangsa juga memiliki banyak wajah. Wajah Indonesia sering digambarkan sebagai bangsa yang ramah tamah dengan segala kemajemukan budayanya, tetapi pada kenyataannya wajah yang sebenarnya juga tidak semulus itu. Ada wajah intoleransi dalam bangsa ini, yang Anda bisa temukan dari kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal ini kementerian agama yang dikuasai kaum mayoritas.
Jepang juga sama. Mereka kerap dianggap sebagai bangsa yang ekspansif, agresif, menghalalkan segala cara agar bisa membuat negerinya jaya di mata dunia. Itulah mengapa Jepang sampai ke Indonesia beberapa dekade lalu dan menindas rakyat kita tanpa ampun. Cerita tentang rakyat Indonesia yang sampai harus memakai karung goni dan makan umbi dan bonggol pisang karena kelaparan yang amat sangat di masa pendudukan Jepang di masa Perang Dunia 2 masih terngiang-ngiang. Istilah romusha juga masih tertancap di benak kita. Belum lagi kekejaman seksual para serdadu Jepang yang menggunakan wanita-wanita pribumi sebagai budak libido mereka saat berada jauh dari istri.
Dalam diskusi “Life After Fukushima” di Ubud Writers Readers Festival (4/10) yang bertempat di Left Bank Jl. Raya Sanggingan Ubud, saya mendapatkan deskripsi wajah Jepang yang lain sama sekali. Dipandu oleh MC kocak Eiji Han Shimizu (di foto tampak ia sedang tidur siang di Hubud), acara yang didukung oleh Japan Foundation ini menghadirkan pembicara aktivis lingkungan hidup Keibo Oiwa yang juga dikenal dengan nama Tsuji Shin’ichi. Oiwa mendedikasikan waktunya sebagai antropolog budaya, pembuat film, penerjemah, dan pembicara publik. Selain itu, ia juga sudah membuahkan lebih dari 50 karya berupa buku (sangat produktif!). Oiwa yang meski rambutnya sudah mulai memutih tetapi pancaran semangat muda dari sepasang mata kecil dan wajahnya masih kuat itu mengajar di Meiji Gakuin University dan mendirikan serta memimpin organisasi bernama “The Sloth Club”, sebuah organisasi swadaya masyarakat bertema ekologi dan kehidupan yang lebih tenang dan lambat sebagaimana seekor sloth menjalani kehidupan.
Saya suka dengan gagasan-gagasan Oiwa yang kontra globalisasi dan ekspansi. Ia menunjukkan semangat anti korporasi global yang dalam beberapa dekade belakangan makin mencengkeram ekonomi dunia. Pemerintah Jepang, kata Oiwa, lebih banyak disetir oleh perusahaan-perusahaan ini daripada memikirkan kepentingan rakyatnya yang lebih luas.
Saat bekerja sebagai reporter bisnis, saya menemukan venture capitalist dari Jepang yang merambah ke Indonesia. Mereka ingin mencicipi juga ‘kue’ di pasar Indonesia yang konsumennya ratusan juta kepala ini dengan mendanai startup-startup potensial di Jakarta dan sekitarnya. Dan itulah mengapa citra orang Jepang dalam pikiran orang Indonesia adalah bangsa yang bekerja paling keras, paling cepat, gesit, cekatan, pokoknya hebat!
Akan tetapi, Oiwa menguak sisi lain Jepang yang ia rasa sudah melampaui batas dengan menjadi terlalu ekspansif. Ia juga mengkritik pemerintahan Jepang saat ini dengan berkata “pemerintahan sekarang adalah yang terburuk”, yang kemudian diikuti ledakan tawa kecil di antara audiens. Karena semua orang – tanpa peduli dari negara mana – bisa merasakan kekecewaan yang sama. Orang Indonesia kecewa dengan SBY, orang Jepang dengan Shinzo Abe, orang Inggris dengan David Cameron. Semua orang tampaknya selalu memiliki alasan sendiri untuk membenci pemerintah tempat mereka berasal. Mungkin karena rakyat adalah konsumen yang tak akan pernah puas.
“Pasca tsunami dan musibah bocornya PLTN Fukushima, Jepang mengalami banyak perubahan,”ujar Oiwa. Dan perubahan yang ia maksud termasuk sikap antipati terhadap tenaga nuklir yang risikonya sungguh tidak terperi. Sekali bocor, habis sudah semua kehidupan di sekitarnya. Yang selamat pun tidak akan bisa hidup normal.
Saya pernah membaca kisah-kisah patriotik warga senior Jepang yang pasca tsunami rela bekerja membersihkan limbah radioaktif agar generasi berikutnya bisa selamat dari dampaknya. Satu orang kakek berusia 70-an mengaku terpanggil menjadi relawan pembersih sampah radioaktif karena ia siap jika nanti terkena dampak radioaktif. Ia sudah tua, toh masa hidupnya akan habis juga. Lain dengan mereka yang usianya lebih muda, mereka memiliki harapan hidup yang lebih panjang. Dan kakek itu tidak sendirian. Masih banyak orang-orang usia senja di sana yang memiliki pikiran yang sama. Mungkin terdengar seperti bunuh diri, tapi saya pikir inilah bunuh diri yang paling mulia di dunia, yaitu dengan bisa memberikan manfaat bagi banyak orang. Sangat bermanfaat daripada cuma menyayat pergelangan tangan atau terjun dari gedung pencakar langit atau jembatan tinggi atau gantung diri.
Eiji yang juga pembuat film indie itu juga melontarkan kisah pribadinya tentang gaya hidup minimalis yang sesuai dengan keyakinan Oiwa. Eiji yang dulunya bekerja di korporasi meninggalkan pekerjaannya untuk bekerja sendiri dan bebas. Kini penghasilannya hanya sepertiga dari yang dulu, tuturnya pada seorang teman yang bertanya tentang kehidupannya pasca mengundurkan diri. Tetapi pengeluarannya juga sepertiga dari sebelumnya. Jadi sama saja. Gaya pakaiannya lebih sederhana dan ia berani mengkritik kebiasaan konsumtif orang perkotaan yang membeli pakaian bak makanan pokok.
Satu kebanggaan Eiji yang dikenal dengan film Happy (yang sempat jadi nomor wahid di iTunes) mengenai enaknya bekerja sebagai pembuat film indie dan bukan lagi menjadi budak korporasi ialah keleluasaan waktu. Temannya mungkin lebih kaya, tapi waktunya banyak yang tersita untuk majikannya. “Saya lain. Saya lebih banyak punya waktu untuk diri saya sendiri sekarang,”katanya bangga. Oiwa mengamini kalimat Eiji,”Manusia pada dasarnya tak punya apa-apa. Anda hanya punya waktu. Dan dengan waktu itu kita menukarnya dengan uang, karena itulah ada anggapan waktu adalah uang”. Tapi begitu kita punya uang, kita jadi fakir waktu. Tak punya waktu bahkan untuk diri dan orang yang dikasihi. Itulah tragedi yang banyak kita temui saat ini.
Leave a Reply