Hidup di Jakarta tidak hanya harus tangguh menghadapi tantangan hidup tetapi juga harus kuat menghadapi CUACA yang fluktuasinya menggila. Di awal tahun saya masih ingat betapa dinginnya suhu ibukota yang bisa turun hingga 25 derajat celcius. Bayangkan udara Bogor dipindah ke Jakarta (cuma dinginnya, bukan bersihnya). Penderitaan belum cukup sampai di situ karena pendingin ruangan di kantor membuat suhu yang sudah turun makin turun lagi hingga sampai terasa menggigit di kulit.
Beberapa pekan belakangan, Oktober yang semestinya mulai basah justru malah memberi curahan panas yang membakar. Tercatat suhu ibukota pernah mencapai 35 derajat celcius lebih. Serasa hidup di Gurun Sahara. Panasnya membuat jemuran kering secepat kilat dan ketahanan stamina banyak orang tergoyahkan. Siang terasa seperti neraka dan malam yang seharusnya sejuk malah membara. Kelembabannya begitu tinggi, seolah udara mandek di sini. Tak mengalir. Angin begitu langka. Dan hal ini tak cuma dialami penduduk Jakarta, kebanyakan warga di daerah juga demikian. Teman-teman di provinsi lain juga keluhkan soal temperatur yang meninggi di bulan yang mestinya menjadi awal musim hujan.
Syukurlah petang ini warga Jakarta bisa menikmati hujan. Orang-orang mungkin akan kesulitan pulang karena kemacetan akan merajai jalanan. Tetapi setidaknya mereka.. dan saya tentunya, akan menikmati malam yang lebih sejuk di rumah. Lalu tidur lebih pulas dengan selimut tebal.
Leave a Reply