Berkecimpung dalam dunia jurnalistik selama bertahun-tahun dan berbincang dengan beberapa jurnalis, Roy Peter Clark yang pernah menulis “How to Write Short” menemukan kesamaan dalam diri para penulis terbaik.
Pertama adalah mereka semua kecanduan membaca sepanjang hayat. Mereka melahap semua bacaan dari fiksi sampai non-fiksi, novel sampai film.
Kedua, mereka cenderung suka menulis panjang dan mereka menyadarinya. Mereka menulis dengan sepenuh hati dan itu terpancar dari semua kalimat yang dirangkai. Anda sebagai pembaca pastinya akan merasakan kejanggalan bila penulis atau wartawan tidak begitu menguasai atau tertarik pada satu topik. Tulisannya akan terasa hambar atau monoton. Penulis yang baik ingin memanjakan pembacanya dengan menyajikan karyanya yang terbaik, dan kerap karya itu menjadi begitu panjang. Namun demikian, mereka juga bisa menyesuaikan diri bila harus menulis dengan singkat dan padat.
Ketiga, penulis unggul memandang dunia sebagai tempat mereka bereksperimen. Dengan persepsi ini, mereka tidak segan turun ke lapangan, tidak hanya berkutat dengan buku dan komputer di ruangan sepi tetapi juga mengobrol dengan orang-orang baru, berkunjung ke tempat-tempat baru, merasakan pengalaman baru. Semua itu pada gilirannya akan memperkaya cerita yang ia akan suguhkan ke pembaca.
Keempat, penulis berkualitas menyukai kebebasan dalam bekerja. Energi kreativitas mereka tidak bisa dikendalikan oleh orang lain termasuk editor. Mereka seolah memiliki kompasnya sendiri, semacam naluri yang mengatakan pada dirinya,”Ini pasti akan menarik untuk disajikan bagi pembaca saya.”
Kelima, penulis yang top tidak sungkan dan tidak malas mengumpulkan fakta dan informasi, termasuk anekdot, kisah yang membuatnya terkesan, dsb. Mereka menggunakan berbagai alat yang ada untuk mengumpulkan dan menyimpan data berharga tadi, dari mencatat di buku harian, merekam di alat tertentu, mengetik di perangkat mungil seperti ponsel, atau mengandalkan catatan mental di benaknya.
Keenam, penulis unggul bersedia menghabiskan waktunya menyempurnakan bagian pembuka dalam karyanya. Karena ia tahu, tanpa pembuka yang baik, orang akan sulit tertarik membaca tulisannya lebih lanjut sampai habis. Dalam jurnalisme, kita kenal bagian ini dengan istilah “lead”, yang memuat gagasan utama tulisan dan sekaligus membuat pembaca makin penasaran.
Ketujuh, penulis yang baik sanggup melarutkan diri dalam kisah yang mereka tuliskan. Ini berkaitan erat dengan totalitas dan fokus dalam berkarya. Mereka menulis dengan sepenuh hati, bukan hanya mencari uang atau memenuhi tuntutan editor dan pemilik modal.
Kedelapan, ketekunan selalu bersemayam dalam diri penulis-penulis unggul. Mereka sanggup bekerja sehari semalam untuk memberikan tulisan terbaik mereka.
Kesembilan, mereka menyukai keteraturan terkait bahan tulisan yang akan digunakan karena mereka sadar pekerjaan akan jauh lebih mudah bila literatur dan sumber yang dibutuhkan dikelompokkan dengan baik.
Kesepuluh, penulis-penulis berkualitas “tega” untuk menulis ulang atau bahkan membuang bagian yang tak perlu. JK Rowling, misalnya, mengaku membuang bagian cerita tentang otopsi Barry Fairbrother dalam The Casual Vacancy meski sudah susah payah menulisnya selama berhari-hari hanya karena ia kemudian merasa bagian itu terlalu melenceng dari isi cerita. Menyelesaikan draft pertama adalah sebuah langkah yang baik tetapi belum bisa disebut akhir proses kreatif penulisan. Menulis adalah menulis ulang, begitu kata seorang penulis. Buku-buku laris biasanya hasil dari penulisan ulang yang makin menyempurnakannya.
Kesebelas, mereka biasa membaca keras-keras tulisannya untuk mengetahui kejanggalan. David Sedaris membaca lantang hasil tulisannya sebelum menyerahkan ke editor atau penerbit. Sekali dua kali belum cukup. Belasan kali juga belum cukup kalau masih bisa diperbaiki lagi. Alasannya? Dengan membaca, kita bisa mengetahui seberapa mengalirnya kisah yang kita ceritakan dalam tulisan.
Keduabelas, penulis unggul suka bercerita. Elizabeth Gilbert mungkin contoh terbaik dari penulis yang begitu suka mengobrol tentang hal-hal konyol dan remeh temeh tetapi menarik dan menghibur. Ia kerap mengumpulkan anekdot-anekdot berharga dalam ingatan dan catatan hariannya untuk kemudian meleburkannya dalam karyanya. Daripada mentah-mentah menyuguhkan informasi dalam pola 5W dan 1H, ia memakai gaya bercerita yang mengalir dan menarik karena tulisannya padat dengan narasi, anekdot, kronologi dan suasana yang detil.
Ketigabelas, penulis yang baik mampu memberikan keseimbangan antara memuaskan idealisme diri dan selera pembacanya. Mereka berusaha menarik tanpa harus menjadi orang lain dalam tulisannya.
Keempatbelas, penulis berkualitas tahu ia tidak bisa terjebak dalam satu gaya penulisan selamanya. Ia mau mengeksplorasi diri dengan mencoba berbagai bentuk dan gaya menulis. Dengan keluar dari zona nyaman itulah, ia akan memperkaya pengalaman dan ketrampilan menulisnya.
Itu semua menurut Clark adalah ciri-ciri umum penulis yang berkualitas. Dan menurut saya masih ada satu lagi ciri lainnya, yaitu kemampuan bekerja di dalam berbagai kondisi apalagi jika mereka diburu waktu. Mereka tidak memiliki ketergantungan yang begitu mengganggu pada suatu hal, dari kafein sampai keharusan menulis di tempat dengan kondisi tertentu. Kita tentu pernah menjumpai penulis-penulis eksentrik yang hanya bisa bekerja di dalam suasana tertentu atau dengan alat menulis tertentu. Ini hanya akan menghambat produktivitasnya sebagai penulis.