Mau Bekerja Lebih Produktif? JANGAN Tutupi Kebencian pada Bos Anda, Kata Ilmuwan

Kebenaran yang pahit memang lebih baik dari kebohongan yang manis. Begitulah adanya. Bukan hanya para filsuf yang meyakini ini, ternyata ilmuwan juga.

Jadi kalau di kantor, Anda membenci atasan Anda atau merasa kurang cocok dengan bos Anda, jangan berpura-pura menyukainya atau berakting hubungan Anda dengannya baik-baik saja. Tunjukkan sewajarnya. Jangan terlalu diekspos tetapi juga jangan ditutup-tutupi. Sebuah studi terbaru menyatakan para karyawan akan bekerja lebih produktif jika kedua belah pihak – atasan dan bawahan – menerima kenyataan bahwa hubungan mereka memang tidak begitu erat dan dekat, apalagi harmonis.

Menurut Fadel Matta yang bekerja sebagai peneliti utama di dalam studi itu yang juga kandidat doktor di Broad College of Business, Michigan State University, menerima kenyataan mengenai hubungan atasan-bawahan sama pentingnya, atau jika tidak lebih penting, dari kualitas hubungan itu dalam kenyataannya. Dengan kata lain, kalau memang merasa benci, akui saja. Tidak ada gunanya berkelit atau memperhalus kebencian itu.

Studi sebelumnya menunjukkan simpulan bahwa bawahan dan atasan kerap memiliki pandangan berbeda mengenai kualitas hubungan mereka. Matta dan timnya ingin menemukan pengaruhnya pada pekerjaan atau motivasi.

Dan memang ada hubungannya. Menurut sebuah studi terbaru yang melibatkan 280 karyawan dan atasan mereka, motivasi menurun begitu karyawan yakin ia memiliki hubungan yang baik dengan atasan namun si atasan menganggap sebaliknya.

Temuan ini berlaku saat sisi sebaliknya memang benar dan sang atasan yakin bahwa hubungannya memang baik namun si bawahan tidak berpikir demikian. Kedua pihak disurvei secara terpisah, yang artinya atasan tidak tahu bagaimana pendapat bawahannya dan sebaliknya.

Menariknya, motivasi karyawan dalam bekerja lebih tinggi dan si karyawan lebih merasa bebas bekerja di luar pekerjaannya yang seharusnya. Bukan masalah besar saat bawahan dan atasan menerima kenyataan itu, bahkan jika memang hubungannya tidak terlalu baik.

Akhirnya, jangan sampai kita terjebak untuk berpura-pura menyukai atasan. Jujurlah mengenai apa yang dirasakan karena dengan begitu, Anda membebaskan diri dan bisa bekerja lebih baik. Siapa tahu dengan bekerja lebih baik dan produktif, ada atasan lain yang tertarik merekrut Anda? (Sumber:Michigan State University)

Anne Avanti tentang Ibu sebagai Motivatornya Berkarya dalam Entrepreneurship

“Pendidikan terakhir saya hanya SMP. Jadi saya tidak tahu komputer itu apa dan bagaimana. Saya juga tidak bisa berpura-pura mengerti di depan orang lain.

Sebagai seorang Anne Avanti yang sederhana, saya ingin menceritakan kisah saya bukan karena saya pandai tetapi saya ingin membongkar bagaimana saya menjadi seorang entrepreneur.

Menjadi seorang perempuan merupakan masalah takdir tetapi menjadi perempuan yang baik adalah sebuah pilihan. Namun, pada saat itu saya tidak memiliki pilihan apapun. Karena saya merasa ibu saya, ia diadopsi dari 24 bersaudara, kemudian menikah dan saya berasal dari keluarga yang bercerai (broken home).

Dan dari keluarga yang seperti itu, lahirlah anak-anak dengan luka batin. Kami adalah anak-anak yang tidak memiliki sesuatu yang pasti dalam kehidupan. Oleh karena itu, kami tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan alat. Apalagi bisa sekolah ke luar negeri! Itu mustahil untuk saya.

Saat saya mengalami keterpurukan, ibu saya adalah guru saya. Motivator dan inspirasi bagi hidup saya. Saya merasa tidak ada guru yang tersempurna dalam hidup ini selain ibu saya. Saat saya menerima apapun, ibu saya menjadi orang pertama yang menerima kebahagiaan dari saya.

Dulu saya tidak pernah berpikir bahwa talenta desain akan menyelamatkan hidup saya. Selama 25 tahun saya sudah berkarya sebagai desainer fashion, dan saya menemukan bahwa bukan sekolah kita, tetapi bakat-lah yang menyelamatkan hidup saya.

Saat masih belia, saya hanya sampai di kelas dua sekolah menengah Loyola College, dari SMP Regina Pacis dan saya tidak pernah mengikuti almamater apapun juga karena saya tidak pernah menyelesaikan bangku sekolah.

Bahasa Inggris saya juga tidak terlalu baik. Dan kalau saya diundang untuk berbicara, saya tidak pernah malu menggunakan jasa penerjemah. Saya merasa inilah Anne Avanti yang utuh, seorang perempuan yang utuh yang tidak mengeluhkan siapa saya.

Saya tidak hanya terpuruk dalam bidang akademis. Kehidupan rumah tangga saya juga terpuruk. Namun, saya bersyukur sudah bersama dengan pasangan saya selama 24 tahun. Kami memiliki 3 anak dan 2 orang cucu.
Dengan begitu banyak keterpurukan dalam hidup saya, saya tidak menyangka hidup saya akan menjadi seperti sekarang.

Jadi saat saya disuruh memiliki mimpi, saya berkata,”Saya tidak bisa karena impian membutuhkan alat dan sarana. Dan apa yang bisa saya impikan sebagai anak yang hanya lulus SMP?”

Saat itu, pikiran saya melayang pada satu peristiwa dan saya berkata:”Kalau ingin menjadi orang sukses, lihat siapa yang kita kagumi.” Saat itu saya tidak memiliki sosok lain yang saya kagumi selain ibu. Karenanya, ibu selalu menjadi guru saya. Meskipun saya tidak bisa membuat pola, tidak menguasai “cutting”, saya memiliki energi yang luar biasa. Ibu saya berkata,”Percaya diri!” Dan saya berupaya tampil sebagai orang yang percaya diri.

Akhirnya, ketika saya di bangku sekolah, saat berjabat tangan dengan teman, teman saya berkata mereka sekolah di Boston, di tempat-tempat asing, saya hanya menjual senyum saya. Karena tidak ada satupun yang bisa saya sombongkan, yang bisa saya “jual”.

Bahkan saat anak saya yang sulung di kelas dua SMA, saya berkata padanya saya sudah memiliki dana dan ingin bersalaman dengan orang yang bertanya,”Anakmu sekolah di mana?” Saya ingin menjawab sekolah yang jauh, entah itu Amerika atau Jepang.

Tetapi malah anak saya memutuskan untuk pindah ke SMKK. Dia berkata,”Bunda, ini bukan dunia saya. Dunia saya itu dunia jahit menjahit seperti Bunda.”

Mengetahui keinginannya itu, saya berdoa pada Tuhan dan akhirnya anak sulung saya pindah ke SMKK.

Oleh karenanya, saat saya ditanya,”Putrinya sekolah di mana?”, saya hanya menjawab sekenanya.

Anak saya yang kedua Ernest yang seorang chef saat duduk di kelas dua SMA mengatakan pada saya,”Bunda, saya mau meninggalkan sekolah. Saya mau sekolah masak.” Akhirnya anak saya yang kedua juga lepas sekolah juga.

Dan anak saya sekarang yang ketiga, saya berpesan padanya,”Bunda hanya ingin melihat ijazah SMA-mu.”

Hal yang aneh adalah meskipun karya-karya saya dipakai wanita-wanita di luar negeri dan memiliki banyak uang, saya tetap tidak bisa ke mana-mana. Saya memiliki fobia terhadap ketinggian sehingga tidak bisa naik pesawat terbang. Tetapi saat saya akhirnya terbang dengan Garuda setelah bertahun-tahun belum pernah naik, saya menemukan foto saya terpajang di dalam majalahnya. Saya bersyukur pada Tuhan atas itu.

Begitu banyak hal yang terjadi yang membuat saya tetap sebagai Anne Avanti yang seperti dulu. Bukan siapa-siapa. Bahkan saat saya menjadi penerima penghargaan entrepreneurship Ernst & Young 2011, saya kaget dan tidak tahu. Entrepreneur itu maksudnya apa?

Dan saya merasa bahwa saat saya telah diberkati, saya harus juga memberkati. Saya membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Saya tulis besar-besar di depan rumah saya:”MENERIMA TENAGA KERJA TANPA IJAZAH”. Setiap hari orang berdatangan luar biasa! Karena saya merasa saya pernah tidak memiliki kesempatan sehingga saya ingin membuka kesempatan bagi ratusan oran. Hingga saat ini saya membawahi 12 perusahaan.

Dari sebuah talenta yang sederhana, keyakinan yang kuat, saya katakan bahwa sebelah kanan sisi tubuh saya adalah nilai jual. Begitu banyak brand ambassador yang harus saya perankan dan saya difoto dari sisi kanan.

Saya tidak bisa mengatakan bagaimana menjadi wirausaha tetapi yang saya ketahui wirausaha adalah jiwa, yang membangkitkan kepercayaan seseorang bahwa talenta bisa menyelamatkan hidup kita. Kita juga tidak akan ada artinya jika kita berkarya untuk memperkaya diri sendiri. Artinya membuka lapangan kerja. Apapun yang saya terima saat ini, jatah hidup saya, saya bagikan lagi kepada banyak orang.

Saya juga diundang ke sana kemari, saya jalani sebagai ucapan terima kasih atas karunia Tuhan yang sudah menyelamatkan hidup saya, seorang manusia biasa tetapi bisa bergerak maju menjadi pemimpin bagi banyak orang.

Saya sangat beruntung bisa berkarya dengan hanya berbekal sebuah jarum dan benang.” (*/Akhlis)

Antonius Taufan tentang Integritas dalam Berbisnis

PADA saat kita mau berusaha dan bisnis yang kita jalani adalah bisnis yang benar dan bisa menolong orang lain tanpa melakukan cara-cara licik, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan pasti ada dan memang akan ada membantu kita.

Masa-masa sulit itu untuk saya adalah saat saya secara spiritual dan relijius juga bertumbuh. Karena mau tidak mau, siapa lagi yang bisa saya andalkan, kecuali diri sendiri dan Tuhan. 

Jika ada pelajaran yang bisa saya sampaikan, pertama-tama adalah mulailah sedini mungkin. Alasan kedua adalah karena perjalanan akan sangat panjang dan Anda akan banyak mengalami kegagalan. Anda juga bisa mengalami patah arang. Ketiga, kita perlu melakukan semua yang diperlukan untuk bertahan di bidang industri kita. 

Terkait yang ketiga, seorang entrepreneur perlu menjadi CEO, Chief Everything Officer, dan CHO, Chief Hustling Officer. Saya adalah orang yang bisa bekerja tercepat di perusahaan saya. Lakukan apa saja yang diperlukan agar startup Anda bisa bertahan. 

Hustle, hustle, hustle and pray! (*/)

Indonesia Kekurangan 4,8 Juta Entrepreneur

GLOBAL Entrepreneurship Week (GEW) 2014 yang digelar serentak di berbagai kota di Ciputra Artpreneur Theater, Jaksel, kemarin (21/11). Rangkaian pekan entrepreneur itu menjadi bagian gerakan yang dilakukan Ir Ciputra di tanah air.

Kegiatan itu menghadirkan puluhan entrepreneur sukses yang berdiskusi di hadapan audiens di ruang theater tersebut. “GEW menjadi perhatian dunia dan digerakkan serentak di belahan dunia termasuk Indonesia. Anak-anak muda, mahasiswa dan pelaku usaha turut berpartisipasi menggerakkan GEW,”terang Pak Ci- sapaan Ciputra.

Dia juga mengatakan jumlah entrepreneur di Indonesia masih di bawah negara-negara Asia. Misalnya, dari Tiongkok da Jepang yang diperkirakan lebih dari 10% dari total populasinya, Bahkan untuk wilayah Asia Tenggara, entrepreneur di Indonesia masih ketinggalan dari Malaysia dan Singapura.

Padahal ahli sosiologi, David McClelland mengatakan sebuah negara membutuhkan setidaknya 2% entrepreneur dari total populasi untuk mempertahankan pertumbuhan optimal perekonomiannya. “Ini berarti bahwa Indonesia masih membutuhkan setidaknya 4,8 juta entrepreneur lagi. Sementara itu, bisnis yang tercipta di Indonesia di Indonesia kebanyakan termausk kategori mikro dan skala kecil yang memperkerjakan hanya sejumlah orang,”katanya.

Bisnis-bisnis itu kebanyakan gagal berkembang menjadi skala medium atau bahkan menjadi bisnis berskala lebih besar. Salah satu penyebabnya karena pendirinya kurang kreativitas dan inovasi. Masalah ini mengilhami Pak Ci untuk mempromosikan entrepreneurship di Indonesia,

Hal ini termausk dukungan terhadap acara-acar seperti Global Entrepreneurship Week di tanah air. 

Kemajuan negara yang cakap berentrepreneurship tentunya didukung pemerintah, akademisi, bisnis dan organisasi sosial.

“Masih kurangnya koordinasi yang mampu mempersatukan seluruh pemegang kepentingan entrepreneurship di Indonesia, karena itu mari bersama-sama mengupayakan terciptanya ekosistem startup yang lebih matang di Indonesia,”ujarnya.

Ia juga menjelaskan orang-orang Indonesia memiliki kemampuan mendirikan startup. Kendalanya adalah bagaimana menjangkau pasar dunia dengan inovasi-inovasi yang merupakan tantangan terbesar. Karena itu, Ciputra meminta akademisi, komunitas bisnis, dan pemerintah butuh kerjasama untuk menciptakan entrepreneur baru.

Dengan membangun ekosistem yang dapat merangsang pertumbuhan para entrepreneur terutama menjelang diimplementasikannya ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015. Memahami kebutuhan menjembatani berbagai pemegang kepentingan itu, Ciputra Foundation menggandeng Global Entrepreneurship Program Indonesia.

Sejumlah pihak digandeng untuk terlibat dalam penyelenggaraan event ini, di antaranya Endeavor Indonesia, Startup Lokal, Sinar Foundation, KKMK, Pukat, Perkantas dan freelancer.com.

Sebagai informasi, GEW merupakan perayaan terbesar dunia yang menghadirkan para inovator dan pencipta lapangan kerja yang telah meluncurkan startup yang membawa ide-ide segar. (*/)

Ahok Gagas Beasiswa Menyeluruh untuk Anak Kurang Mampu

GUBERNUR DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap dipanggil Ahok mengungkapkan gagasan untuk memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak kurang mampu. Berbicara sebagai salah satu tamu kehormatan dalam Global Entrepreneurship Week Summit Indonesia 2014 di Ciputra Teater Jumat lalu (21/11), pria yang dikenal dengan gaya bertutur yang lugas dan tegas itu mengatakan peliknya masalah pendidikan dan sumber daya manusia di tanah air terutama di Jakarta yang ia pimpin. Padahal keduanya menjadi kunci utama bagi sebuah bangsa dalam menghadapi persaingan global yang sudah di depan mata.

“Kami (pemerintah DKI Jakarta -red) mengeluarkan beasiswa, bukan lagi KJP yang sifatnya bulanan. Tetapi beasiswa menyeluruh sampai dia (anak yang kurang mampu – red) selesai,”tutur pria yang baru saja pekan lalu dilantik sebagai orang nomor satu di ibukota. 

Akar masalahnya sungguh kompleks, demikian menurut Ahok. Ia menyorot masalah gaji dan pendapatan banyak warga Jakarta yang sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan dasar dan pendidikan yang diperlukan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. 

“Ini ada hubungannya dengan gaji kita dan keserakahan. Yang kecil nyolong untuk hidup,”tukas Ahok di depan hadirin. Ia mengatakan betapa minimnya pendapatan seseorang yang pasangannya tidak bekerja, yang minimal adalah Rp2,4 juta (UMR tahun ini). Jika memiliki 3 anak dengan biaya pendidikan Rp800.000 per anak saja, penghasilannya sudah ludes. Maka dari itu, tidak heran jika banyak warga yang menyuruh anak-anaknya menyelesaikan pendidikan semampunya saja di sekolah menengah karena kemampuan finansial mereka dalam mendanai pendidikan anak-anak yang lemah. Atau jika pun bisa sekolah, anak-anak itu harus bersekolah di sekolah swasta dengan kualitas guru yang kurang dan jaraknya jauh dari rumah mereka. Di sini, Ahok merasa pemerintah perlu turun tangan.  

Namun, untuk memberikan bantuan pendidikan itu ada masalah yang harus dipecahkan terlebih dahulu yakni penentuan standar garis kemiskinan. Hanya anak-anak dari keluarga miskin yang patut dibantu. Akan tetapi dengan standar kemiskinan yang terlalu rendah, kata Ahok, semua penentuan alokasi bantuan pendidikan itu menjadi kurang efektif. Jakarta dikatakan memiliki warga miskin sebanyak 3,7% dari populasi total. 

“Kalau saya lihat PKL begitu banyak, separuh warga Jakarta adalah warga miskin,”tandas Ahok dalam sambutannya. Meski pandangannya itu ditentang sebagian orang, ia memiliki alasan atas itu. “Standar garis kemiskinan yang pemerintah buat itu salah. Jangan memakai standar kemiskinan 2500 kkal per hari. Jika dikonversikan ke rupiah menjadi Rp347.000. Bagaimana bisa menjajarkan kebutuhan Rp2,4 juta tadi dengan standar Rp347.000!”

Ahok hadir dalam event Global Entrepreneurship Week Summit Indonesia 2014 untuk memberikan semangat berentrepreneurship bagi anak-anak muda. “Kalau untuk anak-anak muda, saya datang,”kata Ahok sebagaimana dikutip oleh Harun Hajadi, Direktur Ciputra Group dalam press conference yang diadakan di hari yang sama. (*/)

Bedanya Mewawancarai Guru Yoga dan Entrepreneur

IMG_4782.JPG
Berada di dua event yang berbeda sepanjang akhir pekan ini, saya mengamati ada perbedaan yang menyolok antara mewawancarai entrepreneur dan guru yoga. Acara Global Entrepreneurship Week Summit dan Namaste Festival ini sungguh seperti dua dunia yang berbeda. Saya ibaratkan seperti ada sebuah pintu atau portal penghubung di antara keduanya yang kadang tersamar dan tidak sadar saya lalui begitu mudahnya.

Di event entrepreneurship, acara berlangsung di dalam ruangan berpendingin udara. Semuanya bernuansa formal karena ada protokol yang berlaku. Orang-orang berlalu lalang memakai pakaian terbaik mereka, entah itu setelan jas mahal, kemeja lengan panjang yang diseterika sempurna dan dikanji hingga licin, jaket almamater bagi para mahasiswa.

Di event yoga, jangan harap ada formalitas berpakaian semacam itu. Semua orang tidak peduli apa yang Anda pakai. Maksud saya, entah itu sedikit terbuka atau sangat terbuka. Pakaian tipis dan minim sudah dimaklumi, mengingat iklim tropis negeri ini. Sinar matahari dan hawa yang lembab sekali membuat semua orang kegerahan meski November telah datang.

Di event entrepreneurship, orang-orang berlomba memberikan presentasi memukau, yang membuat orang percaya bahwa mereka sukses dan sudah berhasil mengatasi tantangan meski mungkin saat itu pun masih berjuang menghadapi tantangan lain yang jauh lebih besar dan melelahkan. Saat wawancara mereka duduk bersama saya dengan posisi yang sopan, berpakaian lengkap dan formal, tak ada minyak atau keringat di wajah mereka yang banyak terkena terpaan sinar LED, layar laptop dan pendingin ruangan. Ada yang agak dilebih-lebihkan, ada yang terlalu jujur hingga menjadi menggelikan tetapi ada juga yang berusaha menutup-nutupi apa yang tidak ingin dibeberkannya pada publik. Mereka juga adalah orang-orang yang sanggup menerima kenyataan bahwa gaji sebagai karyawan pada awalnya lebih tinggi daripada pendapatan bisnis mereka di masa awal berwirausaha. Atau orang-orang yang begitu kayanya dari lahir hingga berbisnis adalah satu-satunya cara agar bisa memberi manfaat bagi diri dan masyarakat. Ada yang bangkrut, bosan karena menjadi pekerja korporat, hingga ada juga yang menerima tuntutan hukum hingga miliaran rupiah.

Sementara itu di event yoga, mewawancarai guru yoga jauh lebih bebas dalam artian tata laksana dan tata berbusana. Guru-guru yoga lebih mementingkan bagaimana menjadi diri mereka apa adanya. Seorang guru wanita diwawancarai dalam kondisi berkeringat sehabis berdansa, rambut terurai, sedikit terengah-engah, berjalan ke sana kemari tanpa alas kaki dan tanpa segan menaikkan satu kaki ke atas kursi saat saya menyodorkan perekam ke mulutnya yang melontarkan jawaban panjang lebar. Tidak ada yang mencelanya. Seolah hal yang alami saja. Ada juga yang saat saya wawancara bahkan dalam kondisi telanjang dada, bertato di bahu, hanya bercelana pendek seadanya. Tak tampak rasa malu atau rikuh karena bisa jadi itulah yang ia senantiasa lakukan setiap hari. Ia telah nyaman menjadi dirinya sendiri tanpa riasan dan pakaian atau aksesoris berlebihan. Ada yang membiarkan rambut di wajahnya tumbuh begitu tebal dan rambut kepala dengan potongan bergaya asimetris yang sama sekali antimainstream, dan bulu dada dan ketiak yang menjalar liar. Tetapi toh mereka disukai.

Di event entrepreneurship, mewawancarai mengenai topik untung rugi bisa blak-blakan. Kata passion juga sering didengungkan. Di event yoga, masalah untung rugi termasuk haram, atau makruh (artinya akan lebih baik jika ditinggalkan). Tak ada guru yoga yang “mau” membahas kalkulasi bisnis yoga mereka ( dan juga karena wartawan tidak ada yang berani bertanya demikian karena sangat kontraintuitif).

Grab 4 Free Class Pass Tickets Now

IMG_4797.JPG
Come to hotel sultan now and i will give you 4 free tickets. Call me at 085641960955.

Namaste Festival 2014 Has Begun!

IMG_4780.JPG

IMG_4781.JPG
As I took the pictures, I can feel the breeze up here at the media center of Namaste Festival 2014 at Hotel Sultan Jakarta. Being a volunteer for a couple of hours pays. A yoga buddy gave me a free pass to one class and I choose Patric Beach’s Core on Fire. I like the core work, which proves to be my prominent weakness so far.

After a whole day being with entrepreneurs yesterday, now I am surrounded by different species of creatures. These are flexible and physically agile and strong people. They pursue physical fitness and more importantly, peace of souls. Unlike entrepreneurs I saw yesterday, yogis don’t really care about material success or fame or impression. But I may be wrong. Some yogis now even have marketing and selling skills anyone never imagined before. They know what to copyright so they can sue anyone who copies or adopts or uses things they think they have invented. It’s not wrong. But some limitations might apply to avoid public outrage and disappointment over overly commercialized yoga. You know…

It’s really damn hard to find the balance, how to make a living from yoga without being like a pushy salesman or pure hard seller who keeps bugging people who don’t want to buy stuff they sell.

Ahok, “The Mad Man” of Jakarta, Tells Us More about His Views on Entrepreneurship and Jakarta (1)

ahokBasuki Tjahaja Purnama – the complete name of Ahok – never tries to please everyone. Especially those haters. The relatively young, amazingly blatant and straight-to-the point leader of Jakarta seems to be undismayed even by the agressiveness of Front Pembela Islam (FPI). But he has really strong reasons to support what he does now as the man in charge of the capital.

In front of the youthful audience of Global Entrepreneurship Week Summit Indonesia yesterday (21/11), Ahok stunned us, again. He mentioned several STRONG words that any other public officials are likely to say, even when they’re most aggravated in public. Truly, he sets a new trend of how someone should work as a public official. You can’t be as lazy and sluggish as a donkey and just work as usual.

During his 40-ish minute speech, Ahok told us his insights about just everything. From his interest in entrepreneurship to the recently launched BPJS program. His extent of knowledge might amaze you all.

The current era is very much different from the industrialization era, he said. These days, a nation’s comparative strength lies on its creativity. This proves to be the issue for Indonesia.

“With the plurality of this nation, we may generate more creativity,”Ahok remarked. Indonesia is hugely remarkable in terms and if you see any other nations seem so amazing when it comes to ideas and products, you’re wrong. Indonesia can do it much better. Only if we want to do better with our potentials though.

(To be continued)

Two Things Foreign Entrepreneurs Complain Most About Indonesia

“To build business in Indonesia is actually really good,”said he. Steven Kim of Qraved.com claims the reason is because Indonesians are familiar with English. This is considered a plus. Language barrier is minimum. It’s also network-oriented. “When I worked for Zalora Singapore, it was very tough because there were additional problems I had to solve.”

Indonesia, however, needs to fix these two things: INTERNET and TRAFFIC. The Internet speed is miserable, I should say. No service provider can solve it by consistently doing great at every place. On and off Internet connection, there’s nothing more pissing avid Internet users off than that. Even wi-fi connection doesn’t really provide satisfactory speed you’ve always wanted. But if you’re used to super fast Internet such as one in Korea just like Mr. Kim, of course it’s understood you’d whine over the speed here.

Meanwhile, the traffic issue especially holds true in Jakarta. Painfully clogged and chaotically managed. Needless to say. And it takes more years to untangle the mess because it’s the accumulation of problems spanning for decades.

Steven Kim on Qraved and His Craving for Entrepreneurial Challenges

Korean Wave is now in the culinary industry as well. Steven Kim is the CEO and co-founder at Qraved, Managing Partner at Imaginato who happened to be on stage at Global Entrepreneurship Week Summit Indonesia yesterday (21/11). Here’s the excerpt of our conversation for you. It’s the uncut version of our brief interview after his performance on Talkathon at the end of the event. I’m AP (Akhlis Purnomo) and Steven Kim is SK.

AP: So what startup are you running now?

SK: Currently running Qraved.com,  it’s a restaurant discovery reservation platform. Both are mobile apps on Android and iOS and web as well. We just launched our new iOS app so we’re quite excited about the different design and different features we have now.

AP:How does it work?

SK: So recently why we use our Qraved is one, I wanna know where to go to eat..to have dinner.. various different occasions, right? So either you discover, you find it by occasions, or you find about different types of restaurants. So ramen restaurants, barbeque places, Chinese flavor, or let’s say, I just wanna get an offer. That scenario you can actually just find restaurants that have offers. The offers are just very similar to Agoda offers, so depending on the day or time, the offer inventory changes. It’s only limited number of people that can get discounts so …and you have to book. That’s why if you plan to  …more and more Indonesians now are using our platform..yes everyboody used to be last minute. Everybody like “Oh Friday dinner, where should we go?” and book it right away like 2 hours in advance. Because of more and more discounts coming in, people actually book a bit earlier to secure that discount.

AP: So it’s like Groupon but in culinary industry or…?

SK: It’s different to Groupon in a few different ways. So …One, to the restaurants, our merchants..Hmm we’re actually just filling the empty tables they have anyway so similiar to hotel industry, right? So hmm, Friday Saturday dinners, this is easy but Sunday to Thursday dinners, like you have 10 to 15 empty tables. So it’s gonna be empty unless there’s something to assist it. So actually we’re helping restaurants to make more money. Whereas Groupon is just a marketing platform. So the discount itself is almost like a marketing expense, our situation is actually more yield management where restaurants actually make more money.

AP: How did you get the idea?

SK: Well, uhmm, one of the things ..when I came to Indonesia about 3 years ago, I was looking for restaurants because I’m a foodie and searched for different things. Back then the only two platforms existed was Sendok Garpu and …. (I can’t hear it perfectly -AP). I searched for Italian, I got Pizza Hut. And I’d say for burger and I got Burger King. So basically I wasn’t able to find this kind of unique..like specialty restaurants or a certain topic. And the biggest reason is because of the incentive of people to write reviews. It’s the mess of 18..19 writing reviews because they’ll get something free. That’s why ..I meant fastfood becomes the most popular thing. But actually I mean ..if you’re a culinary person, which I think a lot of Indonesian are now especially more on Instagram and Path. Now food and dining out is almost like ..it’s a lifestyle, it’s not only about dining. You take a picture, you are dressed up and post it up and that kind of stuff. So that good platform didn’t exist and that’s why …OK, how we make something that for people to look for something specific depending on the situation, depending on the dish, depending on the cuisine, they wanna try something new, or hmm.. yeah they just wanna find different places. What we’re trying to do is provide different experience, just better. Really making it easy to find different things and that’s why our value proposition is different things, so discovery of different types of offer, set menu and so on, super easy resevations, so like if you’re going out in big groups or you’re going out on a date, you want that window seat, because there’s only one or two window seat but you want your date to be at that good spot, you need to make resevations, but beforehand you have to make a phone call, so yeah OK we’ll see if we can get that window seat when we get there but now you don’t have to do that. Now you can just easily put it “window seat” in the reservation and it’s done. More and more people are using it. Specifically like this (Steven showed me his app on the phone) and you see the more you book and dine, you also get reward points, whch can be redeemed later on to get discounts as well. Ten times of you book and dine, it goes up to 1000 points which means 100K. If you get 2000 which uses 20 times, it becomes 500K. 30 times you’ll get 400K Rupiahs deduction. So let’s say nobody has to reserve, true, fine…if you just use it to track your dining behavior then you’re getting just more and more possible to get discounts in the future.

AP: Does the service also work in other cities aside from Jakarta?
SK: Right now we’re in Jakarta. We’re launching in Bali. next month. We plan to launch in Bandung, Surabaya and afterwards Yogyakarta, Medan, all in the next few months.

AP: You’re travelling around Indonesia?
SK: I am going quite a bit, my team is also …We currently have 30 people in Jakarta. Our office is in City Loft since November 2013. Before that we were in Menteng.

AP: How old is the startup (Qraved) now?
SK: One year now.

AP: Who’s the investor?
SK: We have 500 Startups, SIlicon Valley investor, Skype cofounder, a Japanese investor. We’re already in A Round.

AP: Any plan to expand to other countries?
SK: Sure, the reason why we choose Indonesia, apart from the market opportunity and everything else, is when I started Zalora in Singapore and then I went to Thailand to help build the business there, the operations there, there’re so many different problems. So what we can think is OK.. To develop in a location, you can’t expand easily. It’s very difficult, you have to change so many things. We have to start in Indonesia and go to Singapore even Bangkok and others, we’ve gone through a lot of different challenges that we’ve overcome, whether it be products or processes or whatever ..yeah I think it’s a good launchpad.

AP: That means Indonesia is a key market to your startup?
SK: I think it’s a great foundation because it’s challenging. At the end of the day, there’s a lot of challenges but that means there’s a lot of opportunity. I think when it comes to foreigners, like..this is my business, there’re more businesses coming into Indonesia. We started in here but some are concerned to start in amarket very early but for me, me being Korean and experiencing how Korea developed or seeing how Japan and China  developed, I think we’re in Indonesia right now because all the communication is now super super high. Social media penetration, Path, Instagram, going nuts, mobile…Internet penetration going crazy…Xiaomi coming in. The communication is being fixed. So now companies need to figure out what services we could put on that. And what we’re doing is putting F and B as a service on top of this communication platform that exists already.

AP: Is it difficult to set up a business in Indonesia?
SK: I think it is very difficult. Honestly…In every market it’s important to have a good local team and local partners and Indonesia makes that as well. It’s very important that you have local insights. I wouldn’t say it’s the hardest because I think Indonesians are amazing in the sense of English level, their acceptance of global services, curiosity on something new. These elements are already here. The biggest challenge of Indonesia in the way…and this is why this kind of event (GEW) is important…the younger people are not really leaping to embrace this opportunity. I think there’re lots people who go to corporate world. And I think that’s a bad decision because really when you’re younger, that’s when you can actually do a startup and experience it hardcore and try to build your individual division, or department or team and be like to grow it and work hard to make that happen. Let’s say you do it for a year and “OK, this is not for me”, still you can go back to corporate jobs. So I think young people in Indonesia have to really much more jump into entrepreneurship. They don’t necessarily start themselves, being a contributor to big visions of startup like Qraved.
I’m always looking for talents, looking for anybody who really is alligned with this type of vision, that Indonesia is a cool market and we’re building like one of the biggest in Indonesia. I’m always interested in people who share same visions.

AP: Is it that hard to recruit talents in Indonesia?
SK: IT think it’s more challenging than other locations, not because… there’s good talent but the supply and demand right now, there’s definitely more demand of talent than actually the supply. Also secondly, a lot of smart people currently in corporate jobs. They’re very good but they’re not looking for jobs so they’re comfortable. They’re not looking for more yet. When it comes to hiring, it’s easier in the market where people are genuinely thinking:”How do I improve my life?” But there’s still like..”Oh, I’m comfortable. I just wanna be here.” Kind of a bad attitude as well.

AP: Is it your first startup?
SK: It’s my fourth. I was with Rocket Internet before this, so I started a travel accomodation site like AirBnB,  Windu (2011), So I built up Asia Pacific and then I started Zalora Singapore. Up to 50 employees in six months and …then I came over to start in Indonesia at a B2B office supplies company and then I left about a year and a half year ago to start Qraved.

AP: Indonesia has recently a new government. Is there any expectation as a businessman or entrepreneur?
SK: Yeah, there’re some policies being announced that show positive trends in the business persepective. Obviously, the execution itself would be very important. Some are positive like the government’s plan to invest billions of dollars. The subsidy situation and it’s interesting that some don’t go nuts about this. There’re a lot of positive indicators. The momentum is what we believe in. And hopefully their execution of this policy is going to the right direction.

AP: Can Indonesia build a better entrepreneurship ecosystem just like Korea?

SK: To a certain extent, yes. It’s really depending on how you define an ecosystem like how you define entrepreneurship. Just because you’re trying to enhance entrepreneurship, it doesn’t mean “Oh, everybody! Start your own business!”. You can be entrepreneurial with an organization, being a part of companies especially if you’re early on in your career, it makes a lot of sense to do that so that you get the experience first and then when you’re actually ready, you can do it yourself. You have a lot of knowledge, network of people, have different pieces together. When it comes to ecosystem, Indonesia…hmm it’s getting there. This kind of platform and companies… A lot of bigger companies should be more supportive. We wanna hire more people as well. It’s always great to have people to build up that kind of profile.

Pertanyaan yang Membungkam

Why_Did_You_Come_to_JapanTidak biasanya saya menanyakan pertanyaan yang ‘riskan’ pada narasumber. Tetapi tadi, saya mencobanya.

Startup itu sedang mengalami masalah dengan publik. Citra perusahaan mereka sedang mengalami sorotan tajam. Ada yang mencaci, seperti Sarah Lacy yang mengecam karena menganggap pendirinya tidak mengutamakan keselamatan pengguna terutama kaum perempuan. Ada yang bersikap biasa-biasa saja seperti Ashton Kutcher, salah satu investornya. Ada yang belum tahu apapun sehingga tidak bisa berkomentar banyak.

Karena ia tampil terakhir dalam event yang saya hadiri tadi, saya pun tergoda untuk meminta wawancara singkat. Saya sudah menyiapkan ‘amunisi’, sebuah pertanyaan tentang krisis humas tadi.

Kami pun duduk. Ia menjawab beberapa pertanyaan dari saya. Semuanya standar. Semuanya biasa. Semuanya lancar ia jawab.

Hingga satu pertanyaan terakhir saya muntahkan dari mulut. “Terkait krisis humas yang saat ini dihadapi startup Anda, bagaimana perusahaan Anda menghadapinya?” Ia tampak tersentak tetapi berhasil menampilkan ketenangan. Sedetik, dua detik, ia tak memberikan jawaban. “Startup kami masuk ke kota-kota….” Hening kembali. Waktu lama sekali berlalu rasanya. Saya menunggunya dengan ponsel teracung ke depan mulutnya. Pria yang masih berpikir itu masih diam. “Tunggu sebentar,”tangannya terkepal dan menempel ke mulutnya. Sangat kentara sekali ia sedang merangkai kata, menimbang-nimbang. Mungkin tentang akibat yang akan ditimbulkan dari perkataannya.

Lalu ia menegakkan kepala dan membuka mulut,”Startup kami masuk ke kota-kota baru dan kami berupaya memberikan layanan yang terbaik dan aman bagi konsumen. Begitu saja.” Pria muda itu tersenyum kecut. Ia bukan seperti pendirinya yang lantang berbicara. Jelas, risikonya terlalu tinggi, dan ia tidak mau memperparah kondisi di pasar yang penuh potensi ini.

Jawaban yang sama sekali tidak relevan. Kami berdua merasa sangat kikuk. Mata kami liar mengembara ke berbagai sudut ruangan, dan saat beradu, bergerak-gerak tak terkendali karena grogi.

Kami saling melempar senyum kecut. Ini sungguh akhir wawancara yang aneh. Saya pikir ia akan mengelak dengan berkata “no comment” atau semacamnya, tetapi memberikan isyarat yang penuh ketegangan semacam ini malah seolah membenarkan apa yang sedang beredar di luar sana.

Dan saya tidak akan mengatakan siapa dan apa startup ini. Karena mungkin ia akan melacaknya di Google atau Yahoo!, sebab di akhir wawancara ia berkata,”Kamu akan terbitkan kapan dan di mana?” Nada suaranya penuh kecemasan, seperti terancam. Ia sangat defensif. Dan saya sangat kasihan. Karena itulah, saya akhiri saja wawancara yang aneh itu.

Saya jawab singkat, “Di situs X…mungkin minggu depan dipublikasikan…” (Image credit: Wikimedia)