Kepercayaan yang sangat besar bermata dua. Ia bisa membuat seseorang melejit karena berhasil mewujudkan amanah orang lain. Atau bisa menjadi batu sandungan yang akan mengakhiri riwayat bukan hanya orang yang menerima kepercayaan tetapi juga si pemberi kepercayaan. Toh kompleksitas kepercayaan ini tidak membuat Dahlan Iskan (selanjutnya disebut DI) menyerah begitu saja. DI tetap yakin dengan memberikan kepercayaan besar pada mereka yang dianggapnya patut menerima tanggung jawab itu, semua akan berjalan baik sebab dirinya bukan manusia super. DI tetap butuh orang lain untuk mendelegasikan tugas-tugas penting menjalankan bisnis atau organisasi yang ia pimpin.
Syaratnya bukan main-main. Si calon penerima kepercayaan mesti memiliki integritas dan antusiasme yang sangat baik. DI mengaku saat menjadi menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semasa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ia mengangkat seorang direktur utama dengan dua syarat tadi.
DI tidak banyak mempersoalkan mengenai kecerdasan calon tersebut. Logikanya, kata DI, jika seseorang sudah mencapai level setinggi itu (hampir menjadi direktur utama), pastinya ia sangat pintar. Tidak ada signifikansinya untuk mencermati aspek kecerdasan si kandidat.
Integritas seolah seperti sebuah daya pembeda di antara lautan orang cerdas seperti sekarang.
KESEIMBANGAN INTEGRITAS-ANTUSIASME
Antusiasme, yang ia definisikan sebagai keinginan untuk maju, juga memainkan peranan penting dalam menentukan terpilihnya seseorang menjadi pemimpin yang baik dalam kacamata DI. Jika seseorang sudah memiliki integritas yang sudah tidak diragukan lagi, belum tentu ia akan menjadi pimpinan yang ideal. Karena integritas tanpa hasrat membuat kemajuan dalam organisasi hanya akan membuat kemandekan. Apa artinya integritas itu jika ia tidak dilengkapi dengan antusiasme yang bisa ditularkan ke sekelilingnya dalam organisasi tempatnya berada dan bekerja untuk kemudian menggerakkan orang lain dalam mencapai kemajuan?
DI pun mengisahkan seorang direktur utama yang pernah ia berhentikan. Bukan karena dia sudah tertangkap basah atau terbukti dengan meyakinkan melakukan tindakan korupsi, tetapi ‘hanya’ karena dirut itu dianggap tidak kompeten dalam membuat kemajuan dalam organisasi yang dipimpinnya. Ia dikenal jujur, bergaya hidup bersahaja, sangat sederhana untuk ukuran seorang petinggi negara. Ke mana-mana naik angkot, kata DI. Singkat kata, ia memiliki dan menunjukkan standar integritas yang tinggi, jauh dari rekan-rekan sejawatnya.
Saat ia mencopot jabatan si direktur utama yang bersahaja dan jujur luar biasa itu, DI beralasan,”Maaf saya mencopot Anda meski Anda dikenal berintegritas tinggi karena integritas dan kejujuran itu hanya berguna untuk Anda sendiri tetapi tidak bisa memajukan organisasi ini. Bapak hanya ingin masuk surga sendirian, padahal kita mau masuk surga beramai-ramai.”
DI menyoroti bagaimana perlunya menjaga keseimbangan integritas dan antusiasme tersebut. Jangan sampai terjadi ketimpangan dalam diri seorang pemimpin terutama yang bergerak di bidang bisnis dan pemerintahan. Kedua aspek itu sama-sama penting dan dibutuhkan.
Kecemasan DI itu ia kaitkan dengan pemerintahan atau organisasi manapun yang mencoba menampilkan citra kejujuran dan mengabaikan aspek antusiasme. Apakah selain jujur, ia bisa membuat kemajuan nyata? Karena mereka yang jujur tetapi tidak bisa membuat kemajuan – menurut hemat DI – tidak diperlukan di sebuah organisasi. DI yakin masih banyak orang jujur lainnya yang bisa membawa kemajuan dalam organisasi. “Jangan silau dengan seseorang yang secara publik terkenal sangat jujur tetapi belum tentu memiliki keahlian, ketrampilan membuat kemajuan,”jelas DI. Apakah tokoh ini mencoba mengarahkan kritik pada pemerintahan sekarang atau pemerintahan lainnya? Saya tidak bisa gegabah mengartikan pernyataannya tersebut.
PENTINGNYA JADI ORANG TIDAK PENTING
Tidak memiliki jabatan itu penting, ungkap DI. Dengan begitu, kita bisa mengetahui kita bisa hidup atau tidak. Tahapan inilah yang ia sedang lalui.
DI pernah menjadi direktur utama kira-kira 100 perusahaan di Grup Jawa Pos dan sekonyong-konyong DI suatu hari ingin berhenti dari jabatan strategis itu. Tanpa ragu, ia mengumumkan pengunduran dirinya itu.
Namun, itu belum apa-apa karena DI masih menjabat sebagai komisaris utama. Setidaknya selama pengalaman tak menjabat posisi dirut itu, ia merasa baik-baik saja.
DI kemudian mengambil langkah radikal dalam karir bisnisnya. Ia mengundurkan diri juga dari posisi komisaris utama dalam seluruh perusahaan tempat ia terlibat. Ia ingin tahu bagaimana rasanya hidup tanpa jabatan sama sekali.
“Ternyata baik-baik saja, tidak ada masalah karena saya masih meminta satu hal pada Grup Jawa Pos. Silakan mereka melakukan apa saja, angkat siapa saja menjadi apa saja. Saya tidak akan ikut campur lagi, ikut menilai kelayakannya. Beri saya satu kewenangan saja:memberhentikan siapa saja,”DI berceloteh. Alhasil, pengangkatan pun dilakukan dengan lebih cermat karena jika si orang tidak bekerja dengan baik, ia akan diberhentikan langsung oleh DI.
DI harus rehat dari semua aktivitas bisnisnya pasca vonis kanker hati yang hampir merenggut nyawanya. Ia harus menjalani perawatan agar bisa bertahan hidup dengan melakukan transplantasi hati (liver) di Tiongkok selama hampir 2 tahun. Setelah sembuh, ia berjanji akan mengabdikan dirinya untuk hal lain yang lebih besar daripada bisnis dan mencari uang. Kini ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk masyarakat luas melalui entrepreneurship sosial.
Saya sempat ingat kisah DI yang dimuat di Koran Jawa Pos suatu hari di tahun 2009. Saat itu saya sedang istirahat di sela-sela jam mengajar di sebuah kampus swasta di kota asal. Berita di televisi penuh dengan Tragedi Lumpur Lapindo, atau kata ANTV, TV One dan Viva News, Lumpur Sidoarjo.
KEHIDUPAN PASCA MENTERI BUMN
DI merasa pesimis dengan kansnya menduduki jabatan di pemerintahan lagi. Apa pasal? Dirinya tidak memiliki partai, tidak memiliki hubungan dekat apapun dengan poros kekuasaan dari pihak pemenang Pemilu Presiden lalu, dan jabatan Menteri BUMN sangat strategis sehingga banyak sekali diincar orang.
Dua bulan sebelum diumumkannya susunan kabinet pemerintahan Jokowi-JK, DI sudah yakin dirinya tidak terpilih. Dan ia harus memutar otak mengenai bagaimana cara menghabiskan waktunya nanti.
Kualitas kepemimpinan seseorang bukan hanya dilihat dari keinginannya untuk maju bersama orang-orang yang ia pimpin dan ajak kerjasama, tetapi juga dilihat dari bagaimana ia bersikap objektif dan tidak memaksakan kehendak demi kebaikan bersama. Itulah yang persisnya yang dilakukan oleh DI saat ia sadar kemungkinannya bekerja sebagai aparatur negara sudah sangat tipis, dan memang akhirnya ia tidak terpilih.
DI sempat terpikir untuk kembali ke Grup Jawa Pos (GJP). Akan tetapi, sesudah menimbang masak-masak, DI mengurungkan niatnya. Ia memutuskan tidak kembali ke perusahaan yang sudah membesarkan namanya itu. “Karena saya sudah 8 tahun meninggalkan GJP. Omong kosong kalau saya masih tahu detil GJP. Seseorang yang tidak tahu detilnya bisa salah mengambil keputusan.”
Alasan keduanya ialah bahwa DI mengamati perkembangan GJP tanpa dirinya selama sewindu itu lebih pesat daripada masanya dulu. “Berarti sistem di sana (GJP-pen) berjalan, kepemimpinan di sana berjalan, dan segala macam parameter berjalan sesuai harapan,”ia mengatakan. Bila ia kembali ke GJP, DI ragu dirinya akan bisa bekerja tanpa merusak sistem dan tatanan yang sudah ada dan berjalan baik itu. Kebesaran hati semacam inilah yang perlu dimiliki banyak pemimpin kita. Keluasan pemikiran yang membuat kita tidak menjadi gila kekuasaan.