Jurnalis dan kolumnis New York Times Nick Bilton bisa dikatakan berhasil menciptakan sebuah biografi yang menarik. Hanya saja, karyanya yang satu ini bukan biografi yang membahas mengenai kehidupan satu individu. Bilton menuliskan Hatching Twitter, sebuah rentetan sejarah startup legendaris yang kerap disebut bersamaan dengan Facebook sebagai dua penguasa besar dunia jejaring sosial di dekade kedua abad ke-21. Ia menuliskan secara runut dinamika Twitter yang sebagaimana startup lainnya juga mengalami banyak momen-momen dramatis. Riwayat Facebook telah diprofilkan dalam film “The Social Network”. Sayangnya, Twitter belum. Namun, siapa tahu ada rumah produksi yang tertarik mengadaptasi karya Nick Bilton ini menjadi sebuah karya sinematografi yang elok dan sedap dihayati?
Entah disengaja atau tidak, Nick Bilton menurut pandangan saya sudah menggunakan metode penulisan yang berhasil membuat naskahnya menjadi lebih filmis, alias layak dijadikan sebagai film. Di sini, ia mengabaikan aspek-aspek kaku yang biasa dijumpai dalam dunia entrepreneurship dan bisnis. Anda sama sekali tidak akan menemukan kosakata khas keuangan seperti IPO, saham, atau sebagainya. Dengan begitu, tidak berlebihan kalau saya katakan buku ini bisa dikonsumsi siapa saja, tanpa membuat dahi berkerut, tanpa harus mencari kata yang asing di Google, tanpa harus merujuk glosarium. Singkat kata, Bilton meramu perjalanan Twitter hingga menjadi seperti sekarang agar mudah dicerna masyarakat awam, anak-anak sekolah dasar yang sudah bisa membaca sekalipun.
Pertama kali membaca, saya sudah bersiap untuk berpikir memahami kalimat-kalimatnya yang teknis dan pelik. Setelah banyak membaca artikel-artikel panjang di blog-blog teknologi dan startup seperti TechCrunch, Gizmodo, Pando, dan Recode yang kadang tidak jelas konteksnya, saya merasa lebih nyaman membaca penuturan Bilton yang sangat sastrawi.
Jelas Bilton menanggalkan gaya bertutur seorang kolumnis dan jurnalis, serta mengadopsi gaya storytelling yang membuat alur dalam buku ini terkesan mengalir seperti aliran air. Karena menulis tentang Twitter, Bilton juga menggunakan jargon khas jejaring sosial itu. Dalam judul dan sub-judulnya, Bilton menuliskan tagar (hashtag) seperti #START untuk menandai bab pengantar yang berisi penjelasan kondisi Twitter tanggal 4 Oktober 2010 pukul 10.43 pagi. Terdepaknya CEO Evan Williams diceritakan di sini. Detil-detil remeh yang sebelumnya hanya diketahui pihak internal Twitter kini terkuak dan justru menjadi kekuatan dari kisah itu karena Anda para pembaca bisa merasakan gejolak emosi para pelaku dalam kisah nyata itu. Misalnya, Anda bisa menemukan detil menarik di bab #START, saat Evan Williams merasa mual dan ingin muntah setelah “ditendang” dari kursi CEO dalam sebuah kudeta di ruang rapat direksi Twitter yang “berdarah”. Istrinya Sara yang juga bekerja di sana menghampiri Evan yang memiliki akun @ev dan bertanya,”Bagaimana perasaanmu?” Evan menjawab,”Sial (Fuck).” Ia harus mengumumkan pengunduran dirinya itu sembari memperkenalkan seorang suksesor, Dick Costolo.
Saya suka dengan gaya penulisan seperti ini. Sangat GQ. Maksud saya, mirip dengan gaya menulis para jurnalis Majalah GQ. Tulisan mereka berdasarkan fakta, bernilai jurnalistik, tetapi memiliki nilai sastrawi yang tinggi. Penuturannya lewat perspektif orang pertama. Di buku ini, sudut pandang orang ketiga tunggal dipakai agar penulis lebih bebas merangkai potongan-potongan kisah yang ia dapatkan dari “beberapa ratus jam wawancara dengan para pegawai dan eksekutif Twitter dan Odeo dan teman eksekutif, pejabat pemerintah, diskusi dengan hampir semua orang yang namanya disebut di dalam buku serta para pesaing mereka.” Jadi bisa dibayangkan betapa keras kerja Bilton mengumpulkan fakta dan informasi yang terekam dalam berbagai email internal, rekaman wawancara dan tentu saja data di jejaring sosial Twitter. Ia mengklaim telah memastikan kebenaran tempat, waktu terjadinya kejadian dengan melacaknya di Twitter.
Hatching Twitter cocok untuk Anda yang ingin membaca sesuatu yang bermakna tanpa harus banyak berpikir keras mengenai bisnis dan entrepreneurship. Anda akan dimanjakan dengan penuturan sisi-sisi humanis para entrepreneur ini, yang tentunya jarang dibeberkan di tulisan para jurnalis teknologi yang biasa menyorot angka dan data, untung dan rugi, tren dan pelemahan, dan hal-hal lain yang sangat jurnalistik.
Membaca buku ini membuat saya juga ingin bertanya,”Siapa yang perjalanan startupnya mau saya tulis jadi buku ya?” Seandainya ada yang bersedia.