(Baca bagian 1)
Karena ia murid, ia pun menuruti perintah Go untuk belajar maes manten ke Astuti Hendratmo, seorang akademisi sastra Jawa yang mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dari Astuti, Neneng belajar banyak detil-detil menarik dalam budaya Jawa. “Yang namanya tibi dodo (untaian bunga melati di dada pengantin – pen) harus dironce (rangkai) sendiri. Tidak boleh beli di Rawa Belong. Ternyata memang ada hubungannya dengan batik, seperti wahyu tumurun.
Neneng adalah orang yang menyarankan Go untuk mengarsipkan karyanya dalam bentuk sebuah buku dwibahasa. Go sepakat dengan idenya tetapi memberikan syarat bahwa Neneng-lah yang barus menulis buku itu. Meski bukan seorang penulis, Neneng menyanggupinya juga. Begitu draft buku itu selesai dibuat dan siap dicetak, Go mengatakan Neneng harus secepatnya menerbitkannya. “Ora nututi (tidak bisa mengikuti – pen),” kata Goh. Neneng baru tahu bahwa kata-kata itu memberikan sebuah pertanda bahwa akhir hidup Go sudah dekat. Sebelum diterbitkan, akhirnya Go menghembuskan napas terakhir.
Sebagai seorang yang berdarah asing, Go menjalani kehidupan lebih daripada orang Jawa kebanyakan, apalagi jika dibandingkan orang-orang Jawa masa sekarang. Bekas rumah Go, Dhalem Harjonegaran di Solo, masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, misalnya. Karena Go sendiri tidak memiliki keturunan (ia pernah menikah kemudian bercerai dari Nora Gunawan), akhirnya rumah itu diwariskan ke pasangan suami istri yang menjadi abdi dhalemnya.
Sekar Jagad, Petanya Dunia
Filosofi batik sekar jagad bervariasi. Ada yang mengartikan nama itu sebagai “bunga” dan “dunia”. Jadi artinya dunia yang bermacam-macam. Ada juga yang mengartikan “sekar” sebagai “kart” (peta). Jika dicermati, bentuknya memang mirip peta atau pulau. Ada oranag yang mengartikannya sebagai “kehidupan yang bermacam-macam di dunia ini”.
Neneng kemudian mengambil contoh batik sekar jagad babaran Solo. “Kain sogannya berbeda dari sogan Yogyakarta.”
Inilah hebatnya batik Indonesia, di dalamnya ada banyak kisah dan filosofi hidup. Neneng menceritakan sejarah di balik kain batik yang ia pakai saat itu sebagai jarik. “Ini saat Yogya pertama kali kena gempa, semua tempat pembatikan hancur di sana. Ibu Suliantoro memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi yang namanya Sekar Jagad. Inilah kain batik yang mereka buat di bawah tenda-tenda (pengungsian korban gempa – pen),” kenang Neneng. Sogan ini pucat dan lebih putih, tidak kuning.
Untuk isen, sekar jagad selalu mengambil motif-motif yang sudah dipakemkan di dunia batik. “Misalnya ada kawung, grinsing, truntum, udan liris. limar dan sebagainya. Kawung itu filosofinya dari biji kawung yang artinya subur, selalu akan tumbuh sesuatu. Udan liris itu hujan gerimis, jadi kalau hujan tanah akan subur dan membawa rejeki. Ada truntung, sesuatu yang tentram, yang diwariskan ke keturunan kita. Kembang kenikir bermakna penolak bala, banyak dipakai di upcara siraman. Semua arti motifnya pasti bagus.”
Kain sekar jagad buatan Yogyakarta dan Sllo, kata Neneng, jenis isen-nya hampir sama. Tetapi dari batik sekar jagad pesisiran seperti Pekalongan, warnanya bukan jenis sogan. “Ada kepala (tumpal) dan badan kain dalam sebuah sarung,” terang Neneng sambil menunjukkan batik karya Norma Makarim, seorang perajin batik Pekalongan yang terkenal di dekade 1970-an.
Pengerjaan batik itu harus bolak-balik idealnya, ujarnya. Begitu selesai di depan, harus diteruskan lagi di bagian belakang kain mori. “Harusnya kain batik tulis itu begitu.”
Sayangnya, sekarang ini para perajin terburu-buru mengejar waktu agar bisa menjual lebih banyak ke pasar. Neneng menyayangkan pembatik yang hanya mengerjakan satu sisi kain demi komersialisme. Ia masih ingat dengan nasihat Go Tik Swan:”Batik itu seni dan seni tak bisa dinilai dengan uang.” Karena tidak bisa dinilai dengan uang itulah, pengerjaan batik idealnya tidak tergesa-gesa, apalagi mengejar setoran atau target. Neneng menyebutnya sebagai ‘batik tulis separuh’, bukan ‘batik tulis’ yang sejati. Tak heran harganya jauh lebih murah dari batik tulis yang benar.
Neneng mengambil sehelai kain batik koleksinya, dan mengatakan,” Kalau ini sekar jagad dari Lasem. Mereka mengartikannya sebagai kehidupan, karenanya isen-isen yang dipakai berupa semua kehidupan yang ada di Lasem.” Latohan dalam kain batik Lasem menjadi ciri khas utama. Apa itu latohan? Inilah jenis tumbuhan laut yang hanya ada di Lasem. Neneng bertutur ciri khas lain batik Lasem ialah motifnya lebih klasik dan tradisional. Sangat menaati pakem batik.
Tentang batik sekar jagad Cirebon, Neneng mengatakan ciri khasnya meski putih tetapi agak kekuningan. Kain yang ia tunjukkan beraliran klasik karena mirip dengan kain batik Yogyakarta dan Solo. “Ada kawung, ada parang, ada grinsing, ada truntung, ada kembang kenikir, macem-macem.” Kain panjang Cirebon juga memiliki tumpal, pinggir kain juga tidak ‘diseret’ (dibatasi dengan garis, semacam garis tepi di kain) tetapi diberikan hiasan lagi.
Neneng menegaskan,” Semua motif kain batik itu harus ditutup (diseret atas bawah). Kecuali motif parang, karena tak berpenutup. Itu pakemnya. Saya pernah bertanya ke mas Go, karena parang itu dulu yang memakai adalah raja-raja sehingga tak ada batasan seperti yang lain. Sehingga kain batik apapun selain parang harus ditutup atau diseret. Ini yang banyak belum tahu.”
Sejarah kain batik pagi sore juga disinggung di sini. Neneng bercerita bahwa kain batik pagi sore dibuat dari zaman penjajahan Jepang. Saat itu kain mori harganya sangat mahal. Jadi satu helai kain dibagi dua motif. “Satu yang pagi, satu yang sore.”
Neneng juga memiliki sebuah galeri batik, namanya Sri Hana. Karena ia dan temannya menyukai batik tulis, ia hanya mengoleksi batik tulis.
Membedakan Batik Cap, Printing, Printing Duplex dan Tulis
Batik cap memang tak semahal batik tulis, tetapi menurut Neneng masih termasuk kain batik. Di luar itu, banyak orang yang menyebut “batik printing” tetapi Neneng lebih suka menyebut “printing tekstil dengan motif batik”. Batik cap masih termasuk kain batik karena di dalam pembuatannya masih digunakan malam dan menggunakan cap (stamp) dengan malam. Meski pengerjaan batik cap terkesan lebih mudah, Neneng mengatakan ada tantangannya juga. Harus tepat dalam mencap kainnya agar hasilnya bagus dan ini bukan perkara mudah. Perlu presisi yang baik dan mesin tidak dilibatkan dalam proses batik cap. Sementara untuk kain printing tekstil bermotif batik, mesin lebih banyak berperan dan malam tidak dipakai. “Cap itu buatan tangan dan harus bolak-balik dan pengerjaannya sulit. Saya menyaksikan sendiri. Cap tembaga itu berat dan panas juga, dan harus tepat ngecapnya,” tukas Neneng.
Neneng mengimbau para kolektor dan pembeli batik agar lebih jeli, karena sekarang banyak juga printing duplex, yaitu kain yang mirip batik tulis tetapi pembuatannya memakai mesin di kedua sisi kain. Hasilnya mirip kain batik tulis asli.
Alat-alat cap batik dan canting juga makin langka zaman sekarang. “Ternyata di Jawa Tengah itu pembuat canting tidak sampai 10. Sudah makin punah, padahal canting Indonesia terkenal bagus dan berkualitas,” Neneng menjelaskan. Di Polandia, mulai diproduksi canting batik juga tetapi kualitasnya tak sebagus Indonesia.
Karena canting pulalah, Neneng sempat berdebat mati-matian dengan Menteri Ekonomi Kreatif. “Tadinya canting mau dijadikan (canting -pen) listrik. Saya mengatakan,’Tidak bisa! Apa roso-nya saya bilang.’ Seperti orang melukis, kuasnya dilistrikin.” Ia ingin tetap mempertahankan canting tradisional dalam pengerjaan batik. Dengan sang menteri, ia berdebat tentang itu dan ditanya sinis,”Memangnya ibu ini bisa batik?” Neneng menjawab mantap,” Saya ini guru batik! Baru mereka cep (diam, menutup mulut karena kalah debat -pen)!”
Roso atau rasa dalam membatik itu sangat penting bagi Neneng. Dalam membuat, semua emosi dan curahan perasaan itu akan tertuang di kain. Bagi pembatik yang sudah ahli, kain bahkan tidak dipola lagi sebelum pengerjaan. Ia cuma butuh garis dan memberikan isen-isen langsung, tanpa pola.
Batik yang saya pakai saat itu juga batik sekar jagad asal Solo. Neneng yang sempat menyaksikan saya dan Edy bermanuver dengan gerakan-gerakan ekstrim tadi sempat terpikir,” Aduh, dipakai split, jangan sampai sobek kainnya!” (Bersambung)
One thought on “Dari Bincang Batik Sekar Jagad (2)”