Tidak banyak orang awam yang mengetahui siapa Metta Dharmasaputra. Ia adalah pendiri dan direktur PT Kata Data, sebelumnya ia bekerja sebagai wartawan senior Majalah Tempo yang banyak menulis tentang peliputan investigatif.
Sejak tahun 1999, Metta telah berkecimpung dalam jurnalisme investigatif di Tempo. Salah satu kasus menonjol dalam dunia ekonomi dan bisnis yang pernah ia angkat dalam karirnya ialah kasus Asian Agri.
Metta mengatakan berita-berita dalam dunia ekonomi dan bisnis memang kurang seksi jika dibandingkan dengan tema korupsi dan dugaan korupsi para pejabat negara. Jumlah kasus-kasus ekonomi bahkan lebih banyak yang terjadi dibandingkan kasus korupsi pejabat.
Tantangan yang harus dihadapi oleh Metta dan jurnalis investigatif lainnya dalam bekerja ialah mereka kerap kali harus mengandalkan pernyataan-pernyataan lisan seseorang. Ini berbeda dengan persoalan politik yang banyak mengandalkan data yang lebih solid.
Metta ingin mengkoreksi pemahaman “korupsi” dalam kacamata banyak orang. “Korupsi itu tidak cuma dilakukan oleh para pejabat publik, tetapi bisa juga menyangkut sektor swasta,” terangnya. Artinya, para pebisnis swasta juga bisa dikatakan melakukan korupsi dalam perusahaan mereka sendiri yang dampaknya juga tidak kalah luas dengan tindak korupsi pejabat negara. Kita tahu bahwa sebuah perusahaan bisa memiliki banyak karyawan.
“Yang kedua adalah perlunya dukungan dari orang dalam untuk menguak kasus-kasus ini,” ujar Metta. Membuka jalan menuju pihak internal demi mendapatkan bukti-bukti sangatlah menantang. Ini berbeda dengan kasus-kasus korupsi pejabat publik.
Metta membandingkan kondisi jurnalisme investigasi di negeri-negeri maju. Media dan publik di negara-negara tersebut misalnya AS lebih peduli terhadap isu-isu korupsi yang dilakukan oleh kalangan swasta, sehingga tidak heran berita-berita ini menjadi headline yang terus bergulir dan diikuti perkembangannya oleh masyarakat luas. Di Indonesia, tidak banyak orang yang peduli dengan kasus kecurangan oleh pihak swasta. Kalaupun menjadi headline atau cover story di majalah dan media kita, tidak akan bertahan berminggu-minggu, Metta berpendapat. Media AS misalnya membuka ruang besar untuk kasus-kasus korporasi. Ia mengambil contoh mengenai peliputan oleh The Insider yang bermula dari pengakuan whistleblower yang disiarkan secara terbuka. Media juga berperan sebagai whistleblower eksternal, selain karyawan sebagai whistleblower internal.
Menurut Metta, dalam aturan yang menyinggung tentang manipulasi korporasi, ada satu klausul yang perlindungan saksi atau whistleblower. Jika ada satu kasus, whistleblower yang mungkin adalah karyawan yang dikenai sanksi oleh perusahaan yang bermasalah misalnya, bisa meminta perlindungan hukum dan jika si karyawan terbukti benar, ia akan mendapat ganti rugi dari perusahaan tersebut. “Dengan aturan semacam ini, kasus-kasus akan lebih mudah diungkap dan media mendapatkan asupan yang cukup,” ungkapnya.
Di awal, biasanya media mendorong whistleblower untuk menguak kasus dan menyebarkannya hingga menjadi perbincangan publik. Namun, begitu kasus itu mendapatkan ancaman, media perlahan ‘balik kanan’ dan mundur. Bisa jadi karena kehilangan momentum atau karena ada kasus baru lagi yang dianggap lebih menarik, media mulai mengabaikan whistleblower dan kasus tersebut. Media lupa untuk melindungi whistleblower yang rentan terhadap ancaman dari pihak yang dirugikan jika kasus itu terkuak tuntas.
Metta pernah membantu seorangwhistleblower yang ia ajak kerjasama menguak kasus Asian Agri. Ia harus membantunya mencari dana bantuan hukum. Kondisi begitu sulit karena belum ada lembaga perlindungan saksi di Indonesia. KPK juga belum bisa melindungi karena itu dianggap kasus pajak bukan kasus korupsi. Saat whistleblower itu tiba di Indonesia, ia harus menghadapi tuduhan hukum dan diseret ke meja hijau. Di sini, sebagai jurnalis ia dihadapkan pada dilema: membantu sang whistleblower atau ‘cuci tangan’ karena toh itu di luar kewenangannya. Ia memutuskan menolongnya.
Kasus Asian Agri yang ia turut tangani memberikannya pengalaman yang tak terlupakan. Metta harus turut menjalani proses pemeriksaan oleh Dewan Pers karena ia sendiri dituduh melanggar kode etik jurnalisme.
Kasus lain adalah lenyapnya 250 juta dollar dalam bentuk deposito milik Semen Cibinong. Uang sebesar itu hilang begitu saja tanpa jejak. Kasus ini menguap begitu saja.
Metta juga menyebutkan kasus lain yang ia namai Dipoinet. Kasus ini ia anggap sebagai kasus terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia. Ia menuliskan laporan tersebut dengan berkolaborasi bersama kawannya dari The Jakarta Post dan Kompas.
Banyak kasus investigasi lain yang ia turut ungkap. Misalnya, kasus Hartati Murdaya yang juga ia sebutkan pernah melanggar kepabeanan dalam kasus Nike. Ada pula kasus impor mobil mewah tahun 2008. Namun, sayangnya kasus-kasus itu tidak ‘meledak’.
Pengalaman Metta lainnya dalam jurnalisme investigasi adalah kasus minyak zatapi. Latar belakangnya ialah naiknya BBM saat tahun 2004. Ia menyelidiki hingga 5 tahun lamanya hingga suatu saat ia mendapatkan informasi bahwa ada kapal tanker berlabuh di Cilacap yang isinya minyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya dan tidak dikenal di pasar minyak dunia. Ia mengirimkan reporter dengan perahu nelayan untuk memastikannya. Dan memang ada.
Sayang seribu sayang, berita tentang kasus itu terkubur “karena dijaga dengan sangat ketat”, ujarnya padahal sudah ditangani KPK dan Mabes Polri.
Usut punya usut ada 4 orang yang terlibat dalam kasus impor minyak itu. Salah satunya menurut Metta adalah Mohammad Reza yang dikenal dengan bisnisnya Kidzania. Nama ini familiar di bisnis perminyakan, terang Metta.
Sosok-sosok ini seperti hantu, karena ada namanya tetapi tidak pernah atau jarang sekali tampil di muka publik karena tinggal bersembunyi di Singapura.
Ia mengaku menyelidiki kasus zatapi yang melanggar sejumlah proses ini dari Jakarta, Cilacap hingga Malaysia, Singapura dan Australia dengan bantuan sejumlah koresponden.
Metta menegaskan pentingnya sebuah tim khusus dalam peliputan semacam itu. “Karena itu saya amat mendorong teman-teman media untuk membuat tim-tim investigasi khusus di dalam medianya masing-masing karena sulit jika ini harus dikerjakan di sela rutinitas sehari-hari.”
Perusahaan pengimpor minyak tadi juga sebenarnya adalah perusahaan yang masuk dalam daftar hitam tetapi cuma berganti kulit. Ini sudah menjadi kelaziman dalam proses tender minyak di Indonesia. Perusahaan yang sudah mengelola miliaran dollar itu juga dijalankan di tempat yang tak mencolok seperti sebuh ruko biasa.
Indonesia masih perlu penataan data bisnis agar pelacakan kasus-kasus semacam ini juga bisa dilakukan lebih mudah, kata Metta lagi.
One thought on “Metta Dharmasaputra tentang Suka Duka Peliputan Investigatif”