Menyoal “Menjadi Budak Korporat”

Budak korporasi, buruh pemerintah, pekerja kantoran, atau apalah sebutannya di zaman kolonial memang bergengsi tetapi seiring dengan kemajuan zaman, apakah anggapan masyarakat masih begitu? (Sumber foto: Wikimedia)
Budak korporasi, buruh pemerintah, pekerja kantoran, atau apalah sebutannya di zaman kolonial memang bergengsi tetapi seiring dengan kemajuan zaman, apakah anggapan masyarakat masih begitu? (Sumber foto: Wikimedia)

Membaca tulisan Alanda Kariza (23) yang berjudul “Menjadi Budak Korporat“, saya tergelitik memberikan sudut pandang lain. Jika Anda sudah membaca, Anda akan tahu Alanda memberikan sejumlah alasan mengapa bekerja untuk korporasi besar tak seburuk dan menderita yang orang kira.

Alanda dan saya mungkin sama-sama budak korporat. Mungkin juga Anda yang sedang membaca tulisan ini. Namun, kami berbeda dalam hal tujuan masuk ke korporat. Ia ingin memperkaya pengalaman hidupnya dengan menghamba pada perusahaan besar. Sah sah saja.

Namun, mengawali tulisannya dengan kutipan “Kok lo kerja kantoran sih?“, muncul kesan bahwa kerja untuk korporasi itu hina bagi orang seperti Alanda.

Ada beberapa kemungkinan mengapa hipotesis itu muncul. Pertama, ia berasal dari keluarga yang sangat amat berkecukupan. Lihat saja neneknya yang menjadi dokter bedah plastik pertama di Indonesia (sumber: Wikipedia). Dokter, bedah plastik pula. Kedokteran, kita semua tahu, bukan disiplin ilmu yang murah untuk dipelajari. Dibutuhkan dana ratusan juta bahkan miliaran sekarang ini untuk membiayai sekolah kedokteran hingga selesai.

Kedua, Alanda sudah bisa mencari nafkah dan memiliki aset lain yang lebih berharga daripada gaji bulanan dan tunjangan kantor. Intinya, Alanda bukan ditakdirkan sebagai bagian dari dunia perbudakan korporasi modern. Ia sudah mencapai tingkatan yang “lebih baik” bagi mayoritas orang, terutama dalam kacamata pekerja kantoran biasa seperti saya. Dan ia memang sosok yang memiliki keistimewaan. Ia masih muda tetapi telah mencicipi berbagai pengalaman berharga di kancah nasional dan internasional. Di usia 14 tahun ia sudah menjadi penulis yang karyanya diterbitkan penerbit aliran utama alias mainstream. Sebuah pencapaian yang saya saja masih belum bisa lakukan. Tidak bisa disangkal ia amat berbakat dalam bidang penulisan kreatif. Ia seolah ingin membuang kehidupannya yang nikmat itu untuk menjajal sedikit sengsara. Bagai dewa-dewi yang turun kahyangan dan menjelma sebagai manusia biasa untuk mengetahui penderitaan manusia.

Di sisi lain, ada seorang teman yang begitu mendamba menjadi budak korporat. Ia begitu bangga bercerita bahwa dulu ia tinggal di jantung Jakarta, bekerja di gedung pencakar langit, bertemu dengan orang-orang yang berpakaian bagus, berambut penuh gaya, tanpa bau keringat sama sekali karena seharian berada di dalam ruangan berpendingin udara, memiliki gaji di atas Upah Minimum Regional DKI Jakarta meskipun mungkin hanya berlaku selama 6 bulan karena ia hanya seorang karyawan kontrak. Bagi teman saya ini, menghamba pada perusahaan besar membuatnya bisa naik kelas di masyarakat tempatnya berasal yang materialis. Kini ia juga bisa mengajukan permohonan kartu kredit (meski harus sedikit memodifikasi data pribadi dan pekerjaan agar diloloskan).

Saya agak berbeda dari mereka berdua. Saya bukan penulis terkenal seperti mereka yang iseng masuk ke dunia korporasi untuk bereksperimen untuk mengetahui rasanya menjadi bagian terendah dalam roda bisnis perusahaan. Saya masuk ke korporasi untuk belajar agar bisa ‘naik kelas; nantinya. Saya segan menghabiskan usia produktif saya untuk kemajuan perusahaan orang lain. Saya selalu ingin menjadi penulis yang mandiri secara finansial sehingga saya tak perlu lagi menanti gaji bulanan di rekening saya setiap tanggal 25.

Akan tetapi, saya tidak begitu bangga seperti teman saya yang bekerja di korporasi. Perlu Anda ketahui, teman saya itu juga penulis. Ia novelis dan beberapa karyanya sudah diterbitkan. Sayangnya, ia tak seberuntung Alanda. Bahkan saya masih lebih beruntung darinya karena saya berstatus karyawan tetap. Saya tak perlu cemas djelang akhir masa kontrak. Kesejahteraan saya lebih terjamin. Posisi Alanda juga tak kalah rapuh karena ia harus menjalani masa pelatihan selama 3 tahun. Ia bisa tersingkir kapanpun. Posisinya lebih gawat dari karyawan kontrak bahkan. Tetap saja saya tidak begitu bangga. Saya terlihat besar hanya karena saya berada dalam perusahaan besar. Apakah sejatinya saya juga besar? Tidak serta merta begitu. Saya mungkin baru bisa mengetahui sebesar apa diri saya jika saya melepaskan diri dari perusahaan ini.

Tentu saya sepakat saat Alanda mengatakan:”Saya merasa perlu belajar dari suatu institusi yang lebih besar, dari orang-orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu (yang tidak terkenal, mungkin karena mereka tidak memamerkan pengetahuannya melalui media sosial).”Saya juga masih bertahan dengan alasan yang kurang lebih sama di perusahaan ini. Bekerja di sini membuat saya lebih leluasa bertemu dengan sosok-sosok hebat, entrepreneur-entrepreneur gila dan inspiratif, orang-orang baru yang memiliki optimisme yang membuncah.

Kebosanan dengan hal yang selama ini kita lakukan juga ternyata mendorong kita melakukan sesuatu yang di luar kelaziman diri. Alanda yang sudah akrab dengan dunia penulisan kreatif dan suasana kerja yang lebih soliter bosan dengan semua itu. Saya bosan dengan dunia korporasi yang mengharuskan saya bertatap muka dengan orang-orang yang tak saya kehendaki, orang-orang yang lebih banyak mendemotivasi daripada memotivasi saya bekerja untuk mencapai yang terbaik. Saya ingin bekerja sendiri atau setidaknya bekerja dengan mereka yang saya bisa percayai dan memiliki visi dan misi yang serupa. Sebisa mungkin saya ingin bekerja, berkreasi tanpa batas. Di korporasi, banyak sekali kompromi yag harus dilakukan karena terbentur sana sini. Ruang geraknya jelas terbatas. Sebelum melangkah harus ada persetujuan dari atas.

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.