PEKERJAANNYA memotivasi orang. Tak cuma satu dua kali aku menyaksikannya di panggung. Pria berkacamata itu selalu tak terlihat canggung. Ia piawai membuat tercengang orang-orang di hadapannya dengan kalimat-kalimat yang merangsang dan ‘menendang’.
Aku bukan penyuka motivasi. Apapun bentuknya. Serasa diceramahi. Cukup sekali sepekan sajalah itu terjadi. Baiklah aku akui. Buku Mario Teguh memang pernah kubaca, tetapi tak sampai habis. Bosan karena teori dan ceramah melulu. Di mana sekarang buku itu, aku tak tahu menahu.
Malam itu, mungkin bertahun-tahun lalu, Tuhan menakdirkan kami pulang dari sebuah perhelatan. Ia menawariku bersama ke Jakarta, dalam mobil pribadinya. Aku mengiyakan saja. Tak mungkin juga menolak ajakannya. Tempat ini di luar kota. Bisa bisa aku tersesat tak tahu ke mana. Mungkin ia merasa bertanggung jawab karena bagaimanapun aku bekerja padanya.
Tugasku menulis untuk mewartakan apa yang kusaksikan. Di bangku depan kubuka netbook kelam itu. Kunyalakan juga tethering di ponsel, sementara pekatnya malam membuat semuanya makin sukar dilihat. Jari jemariku menunaikan tugas, menuangkan informasi itu kepada mereka yang peduli. Dengan sedikit tertatih aku meraba papan ketik. Aku tak ingin menunda pekerjaan. Segera paripurna supaya lega. Itu yang utama, batinku.
Sekonyong-konyong ia berkata,”Kamu mau ngetik ya? Ini pakai saja.” Ia menyodoriku sebuah lampu mungil. Cahayanya berasal dari baterai arloji. Batangnya lentur, supaya mudah dicondongkan sesuai selera ke arah benda yang mau dibaca. Amat berguna.
Ia kemudian bercerita,”Dulu saya juga pernah mau mengetik malam-malam di mobil terus dikasih lampu itu sama teman. Pakai saja dulu.”
“Baik, pak,” aku menurut saja sembari tetap mengolah kata. Beberapa baris kata sudah tertuang di layar.
”Kamu suka sekali pekerjaanmu ya?” tanyanya. Retoris belaka, aku menyangka.
Kilatan cahaya lalu lintas di depan membawaku ke suatu hari di bulan Agustus. Aku bertemu pertama kali dengan pria yang bersamaku ini. Kukatakan dengan menggebu, aku tak suka pekerjaan mengajar di wawancara itu. Ah, bodohnya aku kalau ingat itu! Ia tersenyum mendengarku berkata begitu. Kini aku bergidik, jangan jangan ia akan menjadikanku contoh kasus di ceramah motivasinya yang mendatang.
Aku mengangguk hormat padanya sembari menjawab, “Iya, pak.” Sungguh pekerjaan pewarta yang kudamba karena aku bisa terus bekerja tanpa bertatap muka. Kalaupun harus bicara juga tak akan menjadi pusat perhatian semesta, karena tetap saja lebih banyak mata yang tertarik menyaksikan sumber berita.
Kupikir ia memang motivator. Sejati, bukan cuma lihai basa basi. Sebab pria ini bisa menunjukkan padaku bahwa aku sudah memiliki apa yang motivator lain sarankan padaku untuk dicari. Ternyata, aku adalah sukses itu sendiri.
wow, nice story 🙂 pernah semobil sam Pak Mari Teguh ya, wow
Bukan MT. Haha