Pijat-pijit Bukannya Fit, Malah Bikin Sakit!

indonesian_massage_on_bali
Pijat kadang bukan membuat kita lebih enak tapi menderita! Tuh lihat saja ekspresi mas bulenya di sini. Meringis! Bukan merem melek. [Sumber foto: Wikimedia Commons]
DUA PULUH EMPAT JAM lalu saya seperti meregang nyawa. Sakitnya sungguh luar biasa. Semua hanya karena ingin rasa pegal sedikit mereda. Apa daya malah semakin meraja. Luluh lantak rasanya.

Jelas, lingkungan ini perlu suplai tenaga pemijat panggilan yang lebih terlatih dan profesional. Ini sungguh sangat memprihatinkan.

Yang saya maksud bukan pemijat ‘esek-esek” atau ‘plus-plus’ yang menurut penuturan orang memang sudah bertebaran di Karet Kuningan ini‎. Lagipula tidak mungkin pula memanggil pemijat nakal ke kamar kos yang bersebelahan dengan sejumlah penghuni kos lain di sini. Keriuhan bisa memancing keingintahuan penghuni kos lain (dindingnya saja bukan batubata lapis dua, cuma batako diplester supaya mirip dinding batubata).

Apalagi memasukkan orang lain yang bukan penghuni ke kamar semalaman bisa membuat saya dikenai Rp20.000/ kepala. Belum lagi untuk mandi besar di kos, juga ada ongkosnya. Karena tempo hari saat pasokan air benar-benar tuntas di penghabisan musim kemarau November lalu, biaya pemboran sumur yang dikeluarkan pemilik kos juga tidak sedikit. Jadi musykil sekali ia akan menggratiskan airnya bagi kami ini.

Pemijat pertama yang pernah ‎saya pakai jasanya di sini adalah seorang wanita paruh baya. Inisialnya MD. Kata bu kos, ia sudah terampil memijat berkat pengalaman berpraktik sejak beberapa tahun yang lalu. Saya sudah memiliki firasat buruk dengan tukang pijit wanita paruh baya. Saya risih tetapi apa mau dikata, yang saat itu siap sedia cuma dia. Karena sudah begitu capai, akhirnya saya izinkan ia menjamah tubuh saya. Ini darurat, pikir saya.

Namun, ia berinisiatif terlalu jauh. Sangat berani untuk ukuran tukang pijat, atau entah karena saya yang tidak biasa. MD tidak cuma memijat kaki, punggung dan bahu‎ tetapi juga dada dan perut. Ya, dada dan perut! Saya pikir itu prosedur umum pemijat ibukota. Maklumlah, semua yang versi Jakarta pasti lebih berani, blak-blakan. Lihat saja gubernurnya. Mana ada gubernur yang bisa menandingi kevokalan Ahok yang digandrungi wanita dan waria itu di tanah air? Kembali ke MD, ia sungguh-sungguh mau membuat saya lebih sehat atau bagaimana, jadi ia kerahkan tenaganya memijat perut saya. Geli sekali. Perut saya dipijat seolah saya hendak ingin mengeluarkan janin haram di sebuah tempat dukun aborsi ilegal.

Keberanian MD yang lain adalah menyuruh saya memakai sarung dan pakaian dalam saja. Celana pendek ia anggap menghalangi kinerja. “Dilepas saja,” katanya memerintah saya. Lho, katanya pelanggan adalah raja, kok saya yang disuruh-suruh sih? Alis saya berkerut, orang ini kurang beres. Untungnya saya minta dipijit di kamar kos, jadi kalau MD ‎berbuat di luar ekspektasi masyarakat mengenai perilaku ideal seorang wanita 50-an dengan anak-anak yang sudah dewasa dan seorang suami yang menua yang memijat seorang pria muda lajang di sebuah ruangan tertutup, saya bisa tinggal berteriak meminta bantuan. Meski saya sadar tipis kemungkinan masyarakat menggubris tuduhan pelecehan seorang wanita pada pria. How can a vagina rape a penis after all?!! Yang lebih mungkin mereka yang akan menertawakan saya. ‎Itulah sedikit keadilan bagi perempuan di dunia yang patriarkis ini. Tentu tidak semua memanfaatkan celah itu tetapi siapa tahu? Memang wanita tak punya nafsu?

‎Kualitas pijatan MD juga biasa saja. Tak sampai membuat saya terbuai hingga tertidur pulas tetapi juga tidak sampai membuat saya berteriak kesakitan.

Sebagai perempuan, MD tampak memijit dengan lebih total. Paripurna, begitu istilahnya‎. Dari kepala sampai kaki dia pijat. Dalam waktu 1,5 jam, ia sudah menunaikan tugasnya dengan baik, bahkan menyempatkan diri untuk bertanya,”Yang mana lagi yang masih pegal? Mumpung masih di sini.” Saya hampir tidak percaya dia masih mau memijit saya lagi. Mungkin ia bercanda tetapi ternyata ia masih tidak keberatan memijit bahu dan leher yang saya anggap masih memerlukan pijatan.

MD masih menyempatkan diri mengobrol di sela-sela sibuk memijat. Tanpa saya komando, ia sudah menyebut daerah asal, dan sedikit detil-detil personal‎ yang membuat saya berpikir,”Mengapa Anda pikir saya perlu mengetahuinya?”

Setelah sekian lama saya tak memanggil MD, saya ingin bereksperimen. Kali ini dengan G, seorang pemijat pria. Pemijat kedua‎ ini katanya bertangan besi. Keras pijatannya. Saya apriori.

Kemarin malam, saya tahu julukan itu benar adanya. Tak dilebih-lebihkan‎. Sangat akurat, menurut saya. Badan saya ‘habis’ dipijatnya. Benar-benar ‘habis’.

H.A.B.I.S.

Saya tahu badan saya lebih banyak didominasi tulang belulang, tetapi G seolah ingin memburu bagian-bagian keras itu. Ia ‘tahu sekali’ bagian tepian tulang-tulang yang jika disentuh akan membuat sensasi ngilu yang hebat. ‎Tulang kering dan tulang rahang saya misalnya diusapnya beberapa kali tetapi sudah seperti 1000 x karena rasanya yang sungguh mengerikan. Ada yang terlalu giat di syaraf-syaraf motorik kasarnya hingga saya sepanjang sesi pemijatan harus memendam umpatan,”Badan saya ringkih tauuu! Can’t you see me?!!!

Dua tangannya itu terlalu perkasa untuk tubuh saya yang bahkan dalam kondisi sehat saja masih tampak rapuh, siap runtuh bila sedikit saja disentuh. Dan saya tidak begitu bugar saat itu. Jadi sungguh ini sebuah cobaan berat bagi saya.

‎Tetapi G tidak seekstrim MD. Saya masih boleh pakai celana pendek. Dan anehnya ia tak memegang dada dan perut. Dari situ, saya mempertanyakan motif MD memijat dada dan perut saya.

Dari 5 bintang yang ada, kualitas pijatan G ‎tak pantas mendapatkan satu cuil bintang pun. Tidak! Ditambah dengan ketidakpekaannya terhadap ketepatan waktu dalam memenuhi janji, saya sangat amat kecewa. Siapa pelanggan yang tidak trauma jika sudah dijanjikan akan dipijat pada pukul 7 malam tetapi pukul 7.10 belum datang dan ternyata ia masih mengantre mandi dan baru bisa muncul 30 menit lebih setelah itu. Tak cuma rugi waktu, jadwal makan juga kacau balau. Yang idealnya makan setelah pijat, karena terlalu lama menunggu, akhirnya saya ajukan dan ternyata ia datang tepat setelah saya memasukkan suapan terakhir makan malam. Akibatnya, saat dipijat di bagian bawah ibu jari tangan, perut saya yang baru terisi makanan seperti diaduk. Saya hampir pingsan karena menahan mual, padahal seharian saya sudah tak merasakan mual. Saat dipijat G, saya malah merasa mual lagi, bahkan lebih hebat. Dan hanya dalam 1 jam 10 menit, ia sudahi pemijatannya secara sepihak tanpa menanyakan apakah masih ada yang pegal. Dan berkatnya, memang saya makin pegal di sekujur badan!!!

Update [15 Mei 2018]: 

Entah kenapa artikel ini mendapatkan banyak kunjungan. Apakah karena makin banyak tukang pijat yang tidak profesional berkeliaran di luar sana? Bisa jadi. Kalau Anda ada pengalaman yang tidak enak seperti saya dengan tukang pijat atau masseuse, baik panggilan maupun kelas spa, tinggalkan saja di kotak komentar.

How to Die Like a Real Poet: Miklós Radnóti Always Had a Notebook with Him

‎I KNOW AN AUTHOR who keeps a private journal every single day for much of his adulthood. Writer and comic David Sedaris loves to jot down every single thing he encounters or experiences mundane yet potentially hilarious and ironic stuff for his audience. He collected not only his own stupidity, emotional and psychological tides and ebbs but also anecdotes of everyday life he read, heard or simply fancied.

But there’re also authors who don’t give it a fuss. Just like JK Rowling. She once said she never is a type of person who writes a personal diary on anything. On her miniscule Portuguese diary his former husband gave her, she instead drafted the very first Harry Potter series.

Catholic Jewish poet Miklós Radnóti might have been mistaken for some unknown male Holocaust detainee unless he had no notebook with him. The ill-fated poet was shot dead in 1944 during a march from Serbia to the center of Hungary because of having been too fatigued and underfed.

His corpse was stacked with many others in a mass cemetery. No one knew a poet was buried there until 18 months later a tiny notebook was discovered in the overcoat he was wearing.

The notebook was an important artefact as it contained 5 last poems Miklós Radnóti wrote approaching the unfitting end of his life.

These could be some of the darkest themed poems in the history as they portrayed the bitter life of a Holocaust detainee.

There’s an adage I somewhat believe out there, saying:”You are not an artist until you suffer enough from your works and dedication.” This might hold true in case of Charlie Hebdo. CH deliberately produced, is still and will be producing more satires in the future. That’s suffering from works. Yet, Radnoti is way different. He didn’t ask to be born a Jewish male, who even after converted to Catholicism was still captured because of his Jewish blood. His unwavering perseverance and dedication to document all his tormented feelings in poems are tragically majestic, making me approve of the statement of a translator:”In Hungary, Radnóti is considered one of the two or three best 20th-century poets, not only for the tragedy of his life but for the lyrical excellence of his poems. His reputation was very high even before his terms of slave labor and his murder.”

His last poems are now published in “All That Still Matters at All” which chronicles Radnóti’s poetry. Here you can see how his world turning from very bright in 1929 to somber in 1940’s.