Sore yang indah tadi dikotori oleh sebuah insiden. Semuanya karena seorang sekuriti dan aktor sinetron di pusat perbelanjaan premium distrik bisnis ibukota yang megah luar biasa di dekat tempat kerja.
Sekuriti itu tak saya lirik. Sederhana saja alasannya. Mata saya fokus ke depan. Saya melangkah tergopoh-gopoh ke mesin ATM, hendak membayar tagihan kartu kredit di bank pemerintah dengan aset terbesar di negeri ini. Kalau terlambat dan sampai lupa, kena denda berupa bunga, bisa masuk neraka saya. Jadi saya tak mau ambil risiko. Bagi saya kartu kredit cuma sebagai alat penunda pembayaran selama sebulan, tidak lebih. Dan kalau masih bisa bayar tunai, saya lebih memilih tunai saja. Membayar tunai kadang menjadi kebanggaan tersendiri selain juga lebih aman dari peretasan. Kata teman Korea saya, tunai itu untuk orang kaya. Dan kartu kredit untuk orang miskin. Kalau begitu jutaan orang Indonesia yang tak punya kartu kredit adalah orang kaya? Tak berarti begitu pula, sanggah saya dalam hati.
Begitu saya melintas di depannya, saya merasa sekuriti lelaki berambut cepak – ya mana ada sekuriti berambut gondrong terurai – itu mendekati saya.
“Mau apa dia?”batin saya. Detak jantung saya memburu, selain karena berjalan cepat juga karena ia mendekati saya dengan tangan yang seakan siap menangkap saya.
Sekuriti itu menyentuh lengan saya yang kurus dengan tangannya yang besar dan berjari gemuk serta kapalan. Bisiknya,”Mas, fotoin ama itu ya?”
Saya hanya menganga. Tidak percaya. “Bagaimana bisa?!!”teriak saya dalam hati lagi. Sementara sekuriti gagah itu melirik sang aktor sinetron di depan lift yang masih tertutup, tangannya mengulurkan sebuah blackberry seri lama. Saya hapal wajah aktor itu walaupun saya sudah 4 tahun tidak secara rutin menonton televisi. Maklum di kamar tak saya sediakan layar kaca.
Apa yang saya sudah perbuat hingga saya harus diminta menjadi fotografer oleh seorang sekuriti? Karena setahu saya, tamu dan pengunjung itu yang menjadi raja. Saya masih ingat seorang sekuriti hotel tempat teman Korea saya itu menginap. Ia disuruh oleh beberapa tamu memotret di lobi hotel. Tapi saya? Bagaimana bisa raja disuruh membidikkan kamera pada sekuriti dan idolanya saat raja itu sedang punya hajat darurat?! Saya saja belum melepas kartu identitas karyawan saya. Gila! Mungkin Anda mengira saya menderita megalomania. Ya, mungkin saja.
Yang tak saya pahami adalah saat si sekuriti melirik seorang pramuniaga jaringan waralaba kecantikan di sampingnya beberapa meter. Siapa yang mau foto dengan aktor itu? Si pramuniaga perempuan atau sekuriti itu? Kalau memang sekuriti itu yang nafsu mau berfoto, saya makin tak habis pikir. Sungguh tak habis pikir.
Ternyata tidak cuma anak-anak zaman sekarang yang makin gila. Sekuriti juga!
besok2 kalau dimintain foto, kameranya dibalik aja buat selfie; biar keki.
Hahahaa…jadi Mas Akhlis motoin gak?
Haha nggak. Artisnya dah masuk lift
Well…*ngebayangin muka sekuritinya* x)))