Perampok Ruang Publik

‎Tidak terhitung kasus yang menunjukkan betapa ahlinya orang Indonesia kebanyakan – termasuk saya mungkin – dalam menjarah ruang publik. Serius. Entah kenapa sepertinya sikap ini mendarah daging tetapi ini sungguh memalukan dan memuakkan.

Lihat saja bagaimana lelaki ini. Sekonyong-konyong ia datang di depan kami. Di jalan gerbong kereta nan sempit ini, ia menggelar peraduan sementaranya. Gila! Lembaran koran itu ia rentangkan di lantai. Tanpa permisi, ia kemudian meletakkan bantal sewaan di lantai juga, yang melengkapi‎ tempat tidurnya yang keras itu. Bantal yang tak terlalu empuk dengan warna sarung bantal biru dari PT KAI. Saat saya melemparkan pandangan ke sepanjang gerbong kereta ekonomi AC ini, ternyata pria tadi tidak sendirian. Ada 3 orang lainnya yang juga tidak malu tidur di bawah bak pengemis dan tunawisma.

Saya anggap ia – dan kita semua yang menganggap ini biasa dan juga menjadi pelakunya – sebagai perampok ruang publik. Jalan di antara tempat duduk di gerbong ini, meski kosong dan tidak setiap saat dilalui orang, tetap milik semua orang yang ada dalam kereta, baik kru PT KAI yang bertugas dan mereka yang sudah membayar tiket dan naik ke dalamnya. Bagaimana bisa kita mengklaimnya begitu saja sebagai tempat ‘leyeh-leyeh’?! Hak untuk berjalan dengan lebih nyaman di gerbong menjadi terampas. Dan yang paling bodoh lagi, dengan tidur di bawah, ia membahayakan diri dengan risiko terinjak oleh mereka yang lewat. Siapa yang salah sebenarnya? Kalau terinjak, apa yang lewat itu bisa disalahkan karena dianggap tidak sopan, atau kurang hati-hati, atau kurang sigap dalam bergerak di kereta yang terus bergerak ini?

Ini sungguh mirip dengan apa yang terjadi dengan trotoar-trotoar kita. Trotoar kita banyak dirampas oleh orang-orang kita sendiri yang menganggapnya sebagai ruang publik dengan fungsi yang fleksibel. Trotoar bisa dipakai untuk ‎berdagang asongan, sebagai tempat membuka warung makan tenda, tempat pembuangan sampah, lajur sepeda motor tatkala kemacetan melanda, tempat strategis untuk mendapatkan banyak uang dengan berakting sebagai orang papa. Sungguh tak ada habisnya. Andai trotoar Indonesia bisa bicara, ia pasti sudah berkeluh kesah, merana karena terus menerus dianaya semua.

Sebenarnya ada dua hal yang bisa dianggap sebagai faktor pemicu yang berada di balik semua kasus perampokan ruang publik ini. ‎Pertama, kebebalan kita sendiri, yang kerap menghalalkan segala cara untuk bisa senang dan nikmat sendiri. Persetan dengan kepentingan orang lain. Asal diri sendiri serta anak istri bisa menikmati meski yang lain harus menangis iri. Saya pikir ada kemunafikan yang membuat mual saat ada orang Indonesia yang memvonis orang Barat itu lebih individualis. Belum tentu. Dalam sebagian kasus, orang-orang Barat yang dikatakan individualis itu mampu menunjukkan kepedulian sosial yang lebih tinggi dari kita yang bangsa Indonesia. Mereka berpikir lebih panjang dalam hal-hal tertentu, terutama yang berkenaan dengan kepentingan bersama, karena mereka sadar bahwa mereka juga bagian dari masyarakat yang lebih besar.

Kedua, desain kursi di gerbong kelas ekonomi ini yang ‎memang kurang nyaman untuk perjalanan jauh sehingga bisa dimaklumi orang merasa tidak betah duduk apalagi tidur sepanjang malam di atasnya. Tetapi bukankah itu konsekuensinya untuk harga termurah?

Published by

akhlis

Writer & yogi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.